Fakta menunjukan bahwa para sahabat memohon berkah dengan jejak peninggalan Nabi. Memohon berkah ini tidak lain, kecuali memberikan sa...
Fakta
menunjukan bahwa para sahabat memohon berkah dengan jejak peninggalan Nabi.
Memohon berkah ini tidak lain, kecuali memberikan satu definisi, yakni
bertawasul kepada Allah swt dengan jejak peninggalan sebab bertawasul bisa
dilakukan dengan beragam cara bukan satu.
Apakah anda
kira para sahabat hanya bertawasul dengan jejak peninggalan beliau dan tidak
bertawasul dengan sosok beliau sendiri?
Apakah logis
jika cabang (jejak peninggalan) bisa dijadikan objek tawasul, tapi yang pokok
(sosok Nabi) tidak bisa dijadikan objek tawasul?
Apakah logis
bertawasul dengan jejak peningalan beliau, sedangkan kemulian dan kebesarannya
tu disebabkan pemiliknya, yaitu Muhammad saw. Kemudian ada seseorang berkata,
“sesungguhnya beliau tidak bisa dijadikan objek tawasul. “subhaanaka Haadzaa
Buhtaanun’Adhiim.
Dalil-dalil
tentang betawasul dengan jejak peninggalan Nabi sangat banyak jumlahnya dan
kami akan menyebut dalil yang paling popular.
Amirul
Mukminin, Khalifah Umar bin Khaththab ra sangat berambisi untuk dimakamkan
disamping makam Rasulullah saw. Saat ajalnya menjaelang tiba, ia mengutus
anaknya, Abdullah, untuk meminta izin kepada Sayidah Aisyah agar ia bisa
dikubur disamping makam beliau. Kebetulan Aisyah menyatakan keinginan yang
sama, yaitu dikuburkan disamping beliau. Aisyah berkata,”Dulu saya ingin tempat
ini menjadi kuburanku, tapi saya memprioritaskan Umar untuk menempatinya, ”
Abudullah pun pulang memberi kabar gembira kepada ayahhandanya. Umar berkata,
“Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting melibihi hal ini.” Kisah
ini bisa dilihat di shahih al Bukhari. Lalu apa definisi keinginan
besar (ambisi) Umar dan Aisyah?
Mengapa
dimakamkan di dekat makam Rasulullah saw menjadi suatu hal yang sangat
diinginkan oleh Umar? Hal ini tidak bisa dipahami, kecuali semata-mata
bertawasul dengan Nabi saw sesudah beliau wafat seraya mengharap keberkahan
sebab dekat dengan beliau.
Ummu Sulaim
memotong mulut geriba (wadah air dari kulit) dimana Rasulullah saw
meminim dari wadah itu. Anas bin Malik berkata, “Potongan mulut geriba itu
masih ada pada kami.
Para sahabat
berebut mengambil sehelai rambut kepala Nabi saw saat beliau mencukurnya.
Asma’ binti
Abi Bakar menyimpan jubbah belaiau dan berkata, “akmi membasuh jubbah ini untuk
orang-orang sakit dengan harapan memohon kesembuhan berkatnya.”
Cincin
Rasulullah saw sepeninggaln beliau disimpan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Kemudian cincin ini jatuh dari tangan utsaman.
Semua
hadits-hadits ini telah nyata adanya dan bersetatus shahih sebagaimana akan
kami jelaskan dalam kajian memohon keberkahan (tabarruk). Hal yang ingin
saya tanyakan adalah ada apa gerangan dengan perhatian para sahabat terhadap
jejak peninggalan Nabi? (mulut geriba, rambut, keringat, jubbah, cincin, dan tempat shalat).
Apa maksud perhatian mereka terhadapnya? Apakah hanya sekedar kenangan-kenangan
ataukah hanya menjaga benda-benda peninggalan bersejarah untuk disimpan di
museum.
Jika alasan
pertama sebagai jawaban, lalu mereka sangat menaruh perhatian dengannya ketika
berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah swt saat tertimpa musibah atau
penyakit? Jika alasan kedua sebagai jawaban, lalu dimanakah museum itu
berada dan dari mana munculnya ide baru membuta museum itu kepada mereka? Subhanaka
Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
Jika kedua
jawaban itu salah, berarti yang tersisa adalah harapan mereka akan keberkahan
dengan jejak peninggalan Nabi untuk dijadikan objek tawasul kepada Allah swt
saat berdoa. Karena Allah swt adalah Dzat pemberi dan tempat meminta. Semua
mahluk adalah hamba-hamba-Nya dan dibawah kendali-Nya. Mereka tidak bisa
memberi apapun kepada diri mereka sendiri apalagi kepada orang lain, kecuali
atas seizing Allah swt.
Bertawasul Dengan Jejak Peninggalan Para Nabi
Allah swt
berfirman,
tA$s%ur
óOßgs9
öNßg–ŠÎ;tR
¨bÎ)
sptƒ#uä
ÿ¾ÏmÅ6ù=ãB
br&
ãNà6u‹Ï?ù'tƒ
ßNqç/$G9$#
Ïm‹Ïù
×puZŠÅ6y™
`ÏiB
öNà6În/§‘
×p¨ŠÉ)t/ur
$£JÏiB
x8ts?
ãA#uä
4†y›qãB
ãA#uäur
tbrã»yd
ã&é#ÏJøtrB
èps3ͳ¯»n=uKø9$#
4 ¨bÎ)
’Îû
šÏ9ºsŒ
ZptƒUy
öNà6©9
bÎ)
OçFZä.
šúüÏZÏB÷s•B
ÇËÍÑÈ
Dan Nabi mereka mengatakan
kepad mereka, sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut
kepadamu. Di dalamnya ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan
keluarga Musa dan keluarga Harun. Tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya
pada yang demikian itu tardapat tanda bagimu jika kamu beriman.
(Q.S.al-Baqarah:248)
Dalam kitab
at-Tarikh, al-Hafidz Ibnu katsir berkata, “Ibnu Jarir berkomentar tentag Tabut
dalam menafsiri ayat ini, “ Dahulu, Bani Israil jika berperang dengan salah
satu musuhnya, mereka senantiasa membawa Tabutul Mitsaq (peti
perjanjian) yang berada dalam Qubbatuz zaman sebagaimana telah
dijelaskan. Mereka mendapat kemenangan berkat kedamaian yang Allah swt jadikan
di dalmnya serta di dalamnya terdapat sisa-sisa peninggalan Nabi Musa as dan Harun
as. Ketika dalam salah satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan
Asqalan, pasukan musuh berhasil mengalahkan pasukan bani Israil dan merebut Tabutul
Mitsaq dari tangan mereka.
Ibnu Katsir
berkata, “Dahulu, Bani Israil mengalahkan musuh-musuhnya berkat Tabutul
Mitsaq yang di dalamnya ada bokor emas yang digunakan untuk membasuh dada
para Nabi.”(Al-Bidayah vol. II hlm. 8).
Dalam
tafsirnya Ibnu Katsir berkata,”Di dalam Tabut itu ada tongkat Nabi Musa,
tongkat Nabi Harun, dua papan Taurat, dan beberapa baju Nabi Harun. Sebagian
ulama berpendapat di dalamnya ada tongkatdan sepasang sandal.”(Tafsir Ibnu
Katsir vol. I hlm.313).
Dalm versi
Tafsir al-Qurthubi, salah satu profil tentang Tabut adalah bahwa ia
diturunkan Allah swt kepada Nabi Adam as dan terus tetap berada di tangannya
sampai akhirnya berada ditangan Nabi Ya’qub as. Selanjutnya, ia berada ditangan
Bani Israil dan berkat Tabut ini mereka mampu mengalahkan oran-orang
yang menyerang mereka,. Ketika mereka durhaka kepada Allah swt, mereka dikalahkan
oleh kaum raksasa (Amalika) dan kaum ini merebut Tabut tersebut dari
tangan mereka. (Tafsir al-Qurthubi vol.III hlm.247).
Fakta tentang Tabut
ini pada hakikatnya adalah bertawasul dengan jejak peninggalan para Nabi.
Karena tidak ada artinya meletakkan Tabut di depan mereka, kecuali Hanya bisa
dipahami sebagai bentuk tawasul. Allah swt sendiri meridhai tawasul seperti ini
dengan bukti bahwa Allah telah mengembalikan Tabut tersebut kepada
mereka dan dijadikan sebagai indikasi atas keabsahan Thalut menjadi rajadan
Allah swt tidak pernah mengingkari atas perlakuan mereka terhadap Tabut.
Tawasul Nabi Dengan Kemulian Dirinya
Dan Kemuliaan Para Nabi Dan Shalihin
Dalam biografi
Fatimah binti Asad, ibunda Ali binAbi Thalib, terdapat keterangan bahwa ketika
ia meninggal dunia Rasulullah saw menggali liang lahatnya dan mengeluarkan
tanahnya dengan tangan beliau sendiri. Seyelah selesai mengerjakanya beliau
masuk dan berbaring miring di dalamnya, lalu berkata,
اللهُ الَّذِيْ يُحْيِىْ
وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌ لاَ يَمُوْتُ اِغْفِرْ ِلأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ
وَلَقِّنَهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقٍّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ
الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ، وَكَبَّرَ عَلَيْهَا
أَرْبَعًا وَأَدْخَلُوْهَا اللَّحْدَ هُوَ وَاْلعَبَاسُ وَأَبُوْبَكَرٍ الصِّدِّيْقِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.
Allah Dzat yang menghidupkan dan
mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku, Fathimah binti Asad;
ajarilah ia hujjah; lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para
Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah
kemudian menakbirkan Fathimah empat kali dan bersama Abbas r.a. dan Abu Bakar
Asshiddiq r.a. memasukkannya ke dalam liang lahat.
(H.R. at-Thabarani dalam al-Kabir
dan al-Awsath. Dalam sanadnya terdapat Rauh bin Salah yang dinilai dapat
dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini menganndung kelemahan,
sedangkan perawi-perawi selain Rauh sesuai dengan perawi hadits shahih). (Majma’uz
Zawaid vol. 9 Hlm. 257).
Sebagian pakar hadits berbeda
pendapat menyikapi status Rauh bin Salah, salah seorang perawi hadits tersebut.
Namun, Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat
dipercaya). Sedangkan, pendapat al-Hakim adalah ia dapat dipercaya. Ibnu Hibban
dan al-Hakim sama-sama menilainya sebagai hadits shahih. Demikian pula
al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid mengatakan bahwa perawi hadits ini
sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih.
Sebagaiman halnya at-Thabarani, Ibnu
Abdil Barr meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Abbas dan Ibnu Abi Syaibah dari
Jabir. Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur
periwayatan hadits ini saling menguatkan satu sama lain dengan kokoh.
Dalam kitab Ithaaful Adzkiyaa’
hlm. 20, syeikh al-Hafidz al-Ghimari menyatakan bahwa Rauh bin Salah kadar ke-dha’ifannya
tipis bagi ahli hadits yang menilainya lemah sebagaimana dipahami dari
ungkapan-ungkapan ahli hadits. Karena itu, al-Hafidz al-Haitsami menggambarkan
ke-dha’ifannya Rauh dengan menggunakan bahasa yang mengesankan kadar kedha’ifan
yang ringan sebagaimana diketahui dengan jelas bagi orang yang biasa mengkaji
ilmu hadits. Hadits tersebut tidak kurang dari kriteria hadits hadits hasan,
bahkan sesuai dengan kriteria Ibnu Hibban yang menilainya hadits shahih.
Pandangan kami pada persoalan ini
adalah bahwa Rasulullah saw. Bertawassul kepada Allah SWT. Dengan para Nabi
sebab kemuliaan mereka terdapat dalam hadits tersebut dan terdapat dalam hadits
lain di mana tawassul ini dilakukan setelah para Nabi wafat. Oleh Karena itu,
diperbolehkan bertawassul kepada Allah SWT. Dengan kemuliaan (bilhaq)
dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan (ahlul haq), baik masih hidup
maupun sesudah wafat.
COMMENTS