Sebagai salah satu agama terbesar di dunia, Islam tidak hanya berisi ajaran tentang ritual ataupun ibadah, namun juga mencakup berbagai a...
Sebagai salah
satu agama terbesar di dunia, Islam tidak hanya berisi ajaran tentang ritual
ataupun ibadah, namun juga mencakup berbagai ajaran dan pemikiran untuk
kemajuan peradaban. Seperti sistem
interaksi sosial (fiqh al Muamalat), ekonomi (al Iqtishadiyat), pendidikan
(tarbiyah) bahkan sistem politik kenegaran (fiqh al Siyasat). Para tokoh
dalam sejarah Islam pun telah memberikan teladan sebagai pemerintah atau
penguasa yang berhasil menjadikan negara dan rakyatnya unggul serta sejahtera. Juga
banyak ancaman bagi pemimpin yang dzalim dalam
literatur Islam.
Dunia tak dapat memungkiri prestasi Islam
dalam melahirkan pemimpin-pemimpin unggul. Sebut saja Khulafa’ al Rasyidin,
beliau-beliau adalah pemerintah yang bergemilang harta dan wilayah, tapi hati
mereka tak pernah terpikat dengan kenikmatan dunia. Siapakah tokoh dunia yang
patut disejajarkan dengan mereka?
Islam
mempunyai Piagam Madinah sebagai bukti kegemilangan prestasinya di bidang
administrasi kenegaraan. Dalam buku Islam,
Liberalisme, Demokrasi dinyatakan bahwa Piagam Madinah adalah dokumen
politik pertama dalam sejarah dunia yang meletakkan dasar-dasar toleransi antar
umat beragama. Bahkan, seorang pakar politik seperti Robert N Bella menganggap
bahwa sistem pemerintahan pada zaman Nabi Muhammad terlalu modern untuk
setingkat masa beliau hidup.
Contoh lain yang menunjukan
Islam sebagai pelopor ilmu politik adalah Imam al Mawardi. Beliau adalah salah satu ilmuwan muslim yang mumpuni
dalam bidang fiqh al Siyasat (politik kenegaraan). Ulama yang
lahir di kota Basrah ini mempunyai karangan berjudul al Ahkam al Sulthaniyah, yang
merupakan salah satu Masterpiece
Islam di bidang pemikiran politik kenegaraan. Beliau
menulis kitab ini saat Eropa masih dikecamuk zaman kegelapan (sekitar tahun 500
M–1000 M). Padahal, kitab ini membahas permasalahan yang masih relevan untuk
kasus pemerintahan zaman modern ini.
Secara rinci,
beliau membagi kitab ini menjadi 20 bab. Diawali dengan bab tentang mengangkat
pemimpin (aqdu
al Imamah) dan diakhiri dengan bab tentang hisbah.
Pada bagian awal dari
kitabnya, al Mawardi menyebutkan bahwa imamah/khilafah dibentuk untuk
menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan
dunia. Sementara mayoritas ulama’ dan pemikir politik Islam telah
sepakat atas wajibnya keberadaan pemimpin yang mengatur
jalannya umat. Yang dimaksudkan oleh al Mawardi dengan Imam adalah khalifah,
raja, sultan atau kepala negara. Dalam hal konsep
imamah, selain memberikan baju politik kepada jabatan kepala
negara, al Mawardi juga memberikan baju agama. Menurut beliau, Allah
mengangkat seorang pemimpin sebagai pengganti nabi (khalifah) untuk mengamankan
negara, disertai dengan mandat politik. Dengan demikian, seorang imam adalah pemimpin
agama sekaligus pemimpin politik.
Sedangkan prosedur
pengangkatannya, menurut al Mawardi terbagi menjadi dua. Pertama, pemimpin
diangkat oleh dewan pemilih yang disebut ahlu al Aqdi wa al Hali. Kedua,
pemimpin diangkat oleh pemimpin sebelumnya.
Proses
pengangkatan sahabat Abu Bakar al Shiddiq merupakan dasar bagi prosedur pertama. Karena
beliau diangkat atas dasar hasil musyawarah para sahabat setelah wafatnya Nabi. Sementara proses
pengangkatan sahabat
Umar
sebagai dalil bagi prosedur kedua. Karena sahabat Umar diangkat
menjadi khalifah atas wasiat Abu Bakar.
Tentunya
ada syarat yang mengikat bagi para ahlu al Aqdi wa al Hali. Selain adil, mereka harus memiliki ilmu
yang memungkinkan
mereka mengetahui calon yang memenuhi syarat
sebagai imam. Mereka juga wajib bijaksana dalam menentukan
pilihannya. Menurut al Mawardi, syarat menjadi pemimpin sangat
ketat. Calon imam harus berasal dari keturunan Quraisy, bersikap adil dan
memiliki ilmu yang cukup untuk berijtihad. Calon imam pun disyaratkan memiliki
indra dan anggota tubuh yang masih lengkap dan sehat. Mempunyai wawasan dalam mengatur
kehidupan rakyat serta mampu mengelola kepentingan umum. Tentunya calon imam harus berani untuk
melindungi rakyat dan
menghadapi musuh.
Setelah membahas persoalan imamah, al Mawardi melanjutkan dengan
pembahasan tentang wazir. Menurut beliau, wazir (pembantu
pemimpin) ada dua macam. Pertama, wazir tafwidh. Yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas
memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Wazir ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri. Karena besarnya
kekuasaan wazir tafwidh ini, maka
orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah.
Kedua, wazir tanfidz. Yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai
pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tafwidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijakan sendiri.
Bab setelah pembahasan
tentang wazir mempunyai garis besar seputar hukum-hukum fikih seperti had, jihad, ta’zir,
dll.
Dalam kitab al Ahkam al Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji
dengan cukup terperinci. Ala kulli hal, kajian-kajian terhadap karya
para ulama kita seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam
kaya dengan khazanah pemikiran yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan
di zaman sekarang. Sayangnya peninggalan Islam seperti ini kini
dianggap tidak penting (sebagaimana warisan keilmuan Islam lainnya) bahkan sering dianggap
tidak bernilai ilmiah. Sehingga jarang diperkenalkan kepada para siswa dan
mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran jika banyak sarjana ilmu
politik yang buta dengan khazanah politik Islam.
Referensi :
1. al ahkam al sulthoniyah
2. www.arrahmah.com
3. Islam, Liberalisme, Demokrasi
judul : al Ahkam al Sulthaniyah
pengarang : al Imam al Mawardi
Penerbit : Dar al Fikr
COMMENTS