Ponpes Attaroqqi, Sampang Madura Madura adalah sebuah pulau yang dikenal dengan adat carok masyarakatnya. Makna adat itu sendiri ada...
Ponpes Attaroqqi, Sampang Madura |
Madura adalah sebuah pulau yang
dikenal dengan adat carok masyarakatnya. Makna adat itu sendiri adalah
bermain-main dengan nyawa. Mengapa demikian? Karena adat ini melibatkan dua orang
yang bertikai menggunakan senjata tajam sampai merenggut nyawa salah satu dari
mereka. Penyebab pertikaian itu berbagai macam. Seperti perebutan tahta, harta
atau hal lain yang menyangkut duniawi. Tak ayal, hal ini dapat melibatkan pertikaian
antar keluarga atau bahkan kampung.
Di
tengah masyarakat yang masih memegang adat ini, berdiri kokoh sebuah pesantren
di wilayah kota Sampang, tepatnya desa Karongan. Pondok tersebut adalah Pondok
Pesantren At Taraqi.
Cikal Bakal Pesantren
Ponpes
At Taraqi didirikan oleh seorang kyai yang tersohor di tanah Madura. Beliau adalah
KH. Ma’mun Muhammad. Pembangunan ponpes melewati beberapa fase yang pada
akhirnya rampung pada tahun 1963.
Bukan
pekara yang mudah dalam pembangunan ponpes ini, karena tanah bangunan sendiri konon
ceritanya adalah tempat pembantaian dan perampokan. Nama desa Karongan juga diambil
dari cerita tersebut. Karena pelaku memasukkan korbannya ke dalam suatu karung yang
biasa disebut oleh orang Madura dengan karong. Sebab inilah, para warga
menyebut tempat itu dengan nama Karongan.
Pembangunan
ponpes berawal dari penebangan sebuah pohon besar yang berada di area
pembangunan. Mulanya, para masyarakat merasa takut dengan apa yang akan dilakukan
KH. Ma’mun. Mereka mempercayai bahwa pohon besar itu merupakan sarang bagi para
jin. Namun, KH. Ma’mun tak peduli dengan itu semua. Dengan izin Allah,
penebangan pohon itu tetap dilakukan hingga akhirnya pohon itu beliau gunakan
sebagai awal mula pembangunan ponpes.
Kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya sesuatu karena sebab penebangan pohon itu tak
terbukti sedikit pun. Bahkan, dari waktu ke waktu ponpes At Taraqi semakin
berkembang. Subhahanallah.
Sistem Pendidikan
KH.
Ma’mun menatar para santri yang belajar kepada beliau dengan begitu telaten. Bukan
suatu hal yang mudah, mendidik orang-orang yang terbiasa hidup dengan adat
caroknya. Sekalipun demikian, masyarakat Madura tetep mendukung KH. Ma’mun
dalam berdakwah. Mereka mempunyai semboyan yang harus dihormati “Bapak, ibu,
guru, ratoh” yang artinya bapak, ibu, kyai atau ulama, pemerintah. Tak
mengherankan Madura yang dikenal dengan carok juga dikenal sebagai pecinta para
ulama atau kyai oleh masyarakat di luar Madura.
Tak
lama, KH. Ma’mun mendapat seruan Ilahi yang pada akhirnya tongkat estafet
ponpes Attaroqqi diteruskan kakak kandung beliau yaitu KH. Alawy Muhammad.
Pada
masa kepemimpinan KH. Alawy, para santri yang datang membanjiri ponpes bukan
hanya dari daerah pulau Madura saja. Bahkan ada yang dari pulau seberang dan
pulau lain seperti Pontianak. Aktifitas ponpes pun semakin padat. Namun, itu
semua dapat terkondisikan. Hal ini yang semakin meyakinkan para wali santri
bahwa KH. Alawy bukan hanya seorang ulama yang kaya dengan ilmu, tapi juga
seorang organisatoris dan politikus Islam yang handal.
Pada
masa kepemimpinan beliau, ponpes Attaroqqi bukan hanya menyuguhkan pendidikan
agama saja seperti zaman adiknya, KH. Ma’mun. Namun juga menyuguhkan pendidikan
formal tingkatan SD, SMP dan SMA. Tak hanya berhenti di situ, ponpes juga
membekali santri dengan wawasan politik dan berorganisasi yang tentunya tak
lepas dari koridor Islam. Hal ini dilakukan agar para santri saat keluar dari
ponpes dapat membentengi dari politikus yang suka menjadikan ulama wayang dan
juga agar santri dapat memasuki sektor-sektor pemerintah.
Hari
pahlawan 10 November 2014 menjadi saksi kepergian KH. Alawi untuk menghadap
Allah SWT. Masyarakat dari berbagai tempat berdatangan untuk mengantarkan
beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Kepergiannya banyak membuat tetesan
air mata di pipi masyarakat yang hadir pada waktu itu.
Setelah
kepergian KH. Alawy, kursi jabatan sebagai mudir ponpes dilanjutkan oleh putra
biologis beliau, yaitu Kh. Fauroq.
Daily Activity
Aktifitas
para santri ponpes Attaroqqi dimulai sejak waktu subuh sampai larut malam pukul
24:00 WIB. Karena didikan yang demikian, para santri dapat mengatur waktu
mereka agar tidak sia-sia begitu saja.
Selain
para santri mempunyai waktu yang super padat dengan ilmu formal dan non-formalnya
(diniyah), ponpes juga menyuguhkan kegiatan ekstrakulikuler seperti seni hadrah,
seni kaligrafi, seni jahit dan lain-lain.
PP Attaroqqi Dengan Keluarga Al Maliki
Pada musim haji, KH. Alawi menyempatkan diri untuk menimba ilmu pada Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy
al Maliki. Bahkan beliau pernah belajar kepada Sayyid Alawi al Maliki Makkah (ayahanda Sayyid Muhammad). Dari
sinilah beliau mengambil manhaj Mekah untuk dijadikan rujukan di
pesantrennya. Kebanyakan kitab yang dipakai adalah karangan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy
al Maliki, seperti qawaid asasiyyah.
Pernah suatu ketika pemerintah Saudi mencekal Abuya Sayyid
Muhammad bin Alawy al Maliki untuk tidak berkunjung ke Indonesia karena ada
masalah tertentu, hingga pada akhirnya
beliau mengutus Sayyid Abbas, saudaranya ke Indonesia guna berziarah ke
pesantren-pesantren yang memiliki ikatan dengan beliau. Salah satu ponpes yang
beruntung adalah ponpes Attaroqqi.
Sekilas,
apabila kita baca papan nama depan ponpes tertulis “Markazul
ulumid’diniyah wa Siroh An’nabawiyah” seperti ponpes milik Sayyid Abbas bin Alawy al
Maliki di Mekkah. Itu semua atas
permintaan beliau sendiri kepada pihak ponpes Attaroqqi. Karena sebab inilah
pada akhirnya beliau menjadi musyrif ponpes At Taraqi.Bukan
hanya itu, Sayyid Abbas juga meminta ponpes Attaroqqi bersedia dijadikan tempat
haul ayahandanya, Sayyid Alawy bin Abbas al Maliki Mekkah. Kegiatan ini terus
berjalan setiap tahun hingga sekarang.
COMMENTS