Sebagian dari salafusshalih memikirkan dan membayangkan, seakan berada dalam pikiran tertentu dan dalam kesedihan hingga tidak sadark...
Sebagian dari salafusshalih memikirkan dan membayangkan, seakan berada dalam pikiran tertentu dan dalam kesedihan hingga tidak sadarkan diri, dalam arti tidak merasakan lagi apa yang di depannya, siapa yang di sekitar mereka atau apa yang sedang mereka ucapkan. Ini berkaitan dengan akhlak dan sifat mulia salafussoleh. Mereka sangat takut jika tiba-tiba dicabut nyawa mereka. Takut karena kemungkinan meninggal - naudzu billah- dalam keadaan su’ul khotimah dan hal itu selalu menghiasi pikiran mereka, rahimahumullah.
Salah
satu dari tanda Khouf (takut) salaf kepada allah swt adalah “hilang”nya
kesadaran. Ketika bertemu dengan orang lain atau temannya mereka tidak menyadari
apa yang sedang dihadapi, apa yang dibicarakan, bahkan dalam kondisi kebakaran
di sekelilingnya mereka lupa menyelamatkan diri.
Banyak
orang-orang soleh yang tidak memiliki karangan serupa kitab, padahal ilmu
mereka sangat luar biasa dengan kualitas taqwa yang juga luar biasa. Kenapa?
karena mereka tidak sempat mengarang kitab. Mereka tidak memiliki waktu karena
hati yang selalu fokus kepada Allah. Dikatakan bahwa, mereka yang pernah mengarang
kitab adalah mereka yang sedang dalam keadaan ghoflah anillah (terlupa akan
Allah) meski sebenarnya itu merupakan rahmat allah kepada kita. Kalau bukan karena
ghoflah, mereka tidak akan sempat mengarang kitab, mereka hanya akan menyibukkan
diri mereka dengan beribadah karena takut kepada allah.
Imam
Hasan Basri, sayyidut tabi’in, dalam kesehariannya selalu terlihat
seakan sedang mendapat musibah. Orang di sekitar beliau selalu mendapatinya
dalam kemurungan bagai seorang anak yang baru saja kehilangan sosok ibu yang
sangat ia cinta. Apa yang tampak pada raut wajah beliau yang terlihat murung
itu adalah karena ketakutan yang selalu ada dalam pikiran beliau, takut akan
jatuh pada murkaNya, takut akan melanggar perintahNya. Jangankan Imam Hasan
Bashri yang seorang tabi’in, Rasulullah yang telah mendapat jaminan ampunan
dari Allah saja selalu merapalkan doa, Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi
Ala Dinik, “Duhai dzat yang mengatur hati, tetapkanlah hatiku ini atas
agamamu”. Sebuah permintaan untuk diberi ketetapan hati dalam Islam.
Para
sahabat yang selalu memperhatikan setiap gerak Rasulullah heran mendengar doa
yang seringkali dipanjatkan nabi tersebut. Perasaan herean itu muncul dengan
alasan, kenapa rasulullah masih memanjatkan doa seperti tersebut tadi padahal
beliau merupakan nabi terbaik bahkan makhluk paling mulia. Dengan kesempurnaan
yang ia miliki, tidak serta-merta beliau menyikapi hidup dengan tenang.
Besarnya kualitas taqwa, menjadikan beliau sebagai sosok yang benar-benar takut
kepada Allah swt. Para sahabat pun bertanya, kenapa engkau berdoa seperti itu
wahai rasulullah? Maka rasulullah menjawab, “apa yang membuatku merasa aman
(untuk husnul khatimah)? Sesungguhnya hati seseorang berada dalam genggaman
(kekuasaan) allah. Allah yang mengatur sesuai kehendaknya. Jika ingin, akan
menjadi nasrani. Dan jika ingin akan menjadi yahudi.”
Seorang
waliyullah suatu malam bermimpi dan bertemu Rasulullah. Dalam mimpinya, ia
melihat Melihat Rasulullah dalam keadaan sedih. ia pun berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah gerangan yang membuat mu sedih?” Lalu Rasulullah menjawab, “hari
ini ribuan umatku mati dalam keadaaan murtad.” Mendengar hal itu maka
waliyyullah itu takut dan gemetaran. Menyadari hal itu, Rasulullah berkata pa
waliyyulah, “maukah engkau kuajari bacaaan yang dapat membuat engkau meninggal
dalam keadaan husnul khotimah tidak seperti mereka?”, ia menjawab : tentu saja
wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah berkata, “katakan Alhamdulillah
almaujuud fi kulli zaman, alhamdulillah
alma’bud fi kulli makan, alhamdulillah almadzkur fi kulli lisaan” hingga
akhir wirid yang terkenal itu.
Al-habib
Abdullah bin Alwi al-Haddad di dalam ratib beliau yang masyhur saja sampai
mengulang bacaaan ya dzal jalali wal ikrom amitna ‘al dinil islam sampai
tujuh kali padahal mayoritas bacaaan wirid yang lain hanya dibaca tiga kali.
Beliau berdoa kepada Allah agar dimatikan kelak dalam keadaan islam. Beliau sendiri kadang-kadang terlihat sedih
dan kadang kadang terlihat takut bahkan sampai menangis. Ketika ditanya mengapa
beliau menangis, beliau menjawab, “aku teringat akan siksa kubur, aku teringat
azab kubur.” Mereka menimpali pernyataan habib abdullah dan berkata, “wahai
Habib, engkau adalah waliyullah, engkau telah melakukan berbagai amal
kebajikan.” Maka beliau menjawab, “siapa yang dapat menjamin aku aman dari
siksa kubur ketika aku di dalam kuburan? siapakah di antara kalian yang dapat
menjamin aku akan aman dari azab dan murka Allah.” Hal ini mengindikasikan
bahwa sosok sekaliber beliau pun masih merasa takut luar biasa terhadap siksa
kubur dan azab Allah. Beliau tidak merasa aman kelak diambil oleh Allah dalam
keadaan memeluk agama islam.
Begitulah
memang seharusnya perasaan yang dimiliki orang yang bertakwa kepada Allah. Semakin
bertambah kualitas imannya kepada Allah maka akan bertambah lah takutnya kepada
Allah. Orang yang begitu yakin bahwa dia adalah orang yang pasti masuk surga,
yakin ia akan aman dari azab dan siksa kubur maka ia adalah orang yang paling berpeluang
dicabut imannya. “tidaklah merasa aman seseorang dengan imannya kecuali
dikhawatirkan orang tersebut akan dicabut imannya”. Ingatlah, sesungguhnya
rasulullah sudah mengingatkan dalam hadisnya, bahwa salah seorang dari kalian
akan beramal dan berbuat kebaikan seperti ahli surga sehingga tinggal sejengkal
saja jarak antara ia dan surga, akan tetapi ia melakukan perbuatan ahli neraka
lalu sebab karena perbuatannya tersebut, ia masuk neraka.
Berkata
Al-habib Abdullah bin Alwi al-Haddad: “barang siapa yang ketika umurnya telah
sampai 40 tahun akan tetapi pikirannya masih terikat pada dunia dan kemaksiatan
maka syaithan berkata orang ini tidak akan bahagia dan beruntung selamaya.”
Imam
Hasan al-bashri ketika mendengar hadist yang menerangkan bahwa orang terakhir
yang akan keluar dari neraka adalah seorang dari Bani Juhainah yang keluar dari
neraka setelah disiksa di sana selama seribu tahun, beliau berkata aku berharap
akulah orang tersebut. Orang-orang berkata: mengapa engkau berkata sperti itu
wahai imam? Maka beliau menjawab: “bukankah ia pasti keluar dari neraka?”. Artinya
bisa jadi kita ini masuk neraka dan tidak akan keluar lagi dari sana selama-lamanya.
Kalau sudah begitu bukankah orang dari bani Juhainah tersebut lebih baik dari
kita. Ia mendapat jaminan dari Rasulullah pasti keluar dari neraka, sedangkan
kita, siapa yang dapat menjamin kita akan keluar dan selamat dari siksa neraka?
Setiap
mukmin yang meninggal dalam membawa iman walau seberat biji dzarrah pasti akan
masuk surga, namun apakah ia langsung masuk surga ataukah akan mampir terlebih
dahulu, hal itu tergantung pada amal yang dia lakukan selama hidup di dunia.
Apabila selama hidup di dunia ia melakukan berbagai macam maksiat tetapi ketika
meninggal ia membawa iman, maka ia akan masuk surga pada akhirnya, walaupun ia
harus menjalani hukuman terlebih dahulu di neraka. Seperti halnya tas yang
kotor, tas tersebut tidak mungkin akan langsung dimasukkan ke lemari penyimpanan
akan tetapi akan dicuci terlebih dahulu. Begitu juga seorang mukmin, apabila ia
meninggal dalam keadaaan beriman tetapi
membawa beban dosa, maka ia akan dibersihkan dulu dari dosa-dosanya di neraka,
setiap anggota tubuh yang melakukan maksiat akan dicuci dan dibersihkan sesuai
dengan tingkatan dan macam siksa neraka yang telah disiapkan oleh Allah. Nas’alullah
al-afwa wal afiyah wa husnal khotimah.
COMMENTS