Oleh :Novianti Mawardiany Aku memperhatikan setumpuk buku dari berbagai jenis __ sastra, politik, kitab-kitab kuno, yang tersusu...
Oleh :Novianti Mawardiany
Aku memperhatikan setumpuk buku dari berbagai jenis__sastra,
politik, kitab-kitab kuno, yang tersusun teratur di atas meja. Entah, aku harus
memulainya dari mana. Entah, aku harus membacanya dari tumpukan yang mana.
Perpustakaan ini semakin lama semakain ramai saja. Para pelajar, bapak-bapak, karyawan kantor, dan
mahasiswa-mahasiswi yang sepertinya sedang kebingungan mencari buku yang tepat
untuk referensi.
Tanpa sengaja, mataku terpaku pada deretan buku-buku yang berbaris
teratur di lemari pojok paling belakang perpustakaan ini. Sampul biru dan
hitam, tebal bukunya, dan ukurannya yang seperti novel. Aku membaca papan di
atasnya yang bertuliskan Alkitab.
Ya, tiba-tiba saja aku teringat seseorang. Seseorang yang jauh
kutinggalkan dulu__kira-kira dua tahun yang lalu sebelum aku
menyelesaikan kuliah. Ya, masih sangat nyata di dalam memoriku tentang matanya
yang cokelat berkilau, rambutnya yang panjang kemerahan.
* * *
Dia berdiri tepat di depan pinus-pinus itu. Sesekali angin
mengacak rambutnya yang panjang kemerahan. Tak berapa lama kemudian, dia mulai
duduk di bawah salah satu pinus yang cukup rindang__yang terlihat
kemuning dengan daun-daun yang sudah banyak rontok ke tanah. Dia mulai
mengaduk-aduk isi tasnya, yang entah berisi apa. Kemudian dia mengeluarkan
sebuah note kecil bersampul hitam dan
sebuah pulpen pilot.
Dia mulai menarikan jari-jemarinya yang lentik di atas kertasnya.
Sesekali dia menyelipkan penanya di telinga kiri__entahlah, mungkin
sedang mencari inspirasi atau mungkin sedang asyik terhanyut dalam
angan-angannya. Yang jelas aku tak tahu persis apa yang dia lakukan. Menerkanya
pun, sungguh terlalu sukar bagiku.
Terkadang ia memejamkan matanya yang cokelat berkilau seraya
menghirup wangi angin yang mengelilinginya bagai pusaran.
Sungguh, pemandangan yang sangat apik dari tempatku berdiri. Aku
tak pernah bosan berdiri berjam-jam hanya untuk memandangnya dari balik
pinus-pinus yang lain. Entahlah, mengapa aku tak pernah lelah melakukan hal
konyol seperti ini.
Ya, aku memperhatikannya setiap hari. Setiap sore, dimana sinar
matahari tidak menusuk-nusuk dan membakar kulit ari.
Aku mengeluarkan kamera dari ranselku yang sudah mulai lusuh dan
sepertinya harus segera diganti karena kain pelapisnya yang mulai menipis__entahlah,
mungkin sebentar lagi akan jebol.
Aku mulai mencari-cari angle
yang tepat sebelum mengabadikan keindahannya. Setelah kurasa cukup, aku
langsung memotretnya beberapa kali. Sungguh, aku heran mengapa tak pernah bosan
melakukan hal ini.
Hasilnya cukup menakjubkan. Sebuah potret yang indah dan
mengagumkan. Berkas cahaya yang samar menerobos ke permukaan wajahnya yang
setengah menunduk. Sementara rambutnya yang lurus, berkibar teratur mengikuti
arah wajahnya. Kakinya yang langsing, tersilang sangat anggun. Pesonanya
benar-benar membuatku tak mampu memalingkan wajah walau seper seratus detik
sekalipun.
Dalam posisi seperti itu, dia terlihat bagai bidadari tak kasat
mata. Entahlah, mengapa aku menyebutnya seperti itu. Mungkin karena aku belum
terlalu bisa melihatnya sebagai bidadari yang nyata. Aku tak tau pasti,
mengapa. Aku juga tak mengerti mengapa ada sesuatu yang menghalangi mataku
untuk melihatnya secara kasat mata. Benar-benar asumsi yang membuatku sangat
bingung.
Ya, mungkin saja dia berbeda. Mungkin dia dari jenis bidadari yang
lain. Terkadang, ada sesuatu yang aneh dalam diriku. Sesuatu yang mungkin
berasal dari otak, syaraf, atau mungkin hatiku, aku tak tau pasti, yang jelas
sesuatu itu selalu meneriakkan kata ‘tidak’ setiap kali aku berkeinginan untuk
mendekatinya. Aku tak tau apa itu. Aku terlalu bahkan terlampau bingung untuk
mengerti perihal diriku sendiri.
* * *
Aku berjalan menyusuri jalan sempit yang sepi. Bukannya apa-apa,
hanya saja aku sedang malas berada dalam kerumunan apalagi keramaian.
Hiruk-pikuk suasana kota
hanya membuatku tambah stress dengan
segala kondisinya yang selalu berubah-ubah dan membingungkan.
Jalan ini memang biasa kulalui ketika jalan raya sedang
macet-macetnya. Aku sengaja meninggalkan motor kesayanganku di kos-kosan
temanku yang memang dekat dengan kampus kami. Dan aku lebih memilih berjalan
kaki melewati jalan setapak atau gang-gang sempit, ketimbang harus terjebak di
tengah-tengah mobil-mobil besar maupun kecil yang satu sama lain tidak ada yang
mau mengalah.
Dari kejauhan, sepertinya aku melihat seorang wanita yang tengah
dikepung beberapa pria bengis. Wanita itu terlihat ketakutan sambil berusaha
mencari sela untuk bisa melarikan diri.
Dengan sigap, aku berlari menuju pemandangan itu. Mereka semua
tampak terkejut. Terlebih aku.
“Allena…”
Dengan kemampuan bela diriku yang minim, tapi kenekatan yang super
maksimum, aku mengepalkan tangan kemudian mendaratkannya di perut salah satu
dari mereka. Tapi malang
sungguh tak bisa dihindari. Mereka semualah yang malah menghabisiku, hingga aku
benar-benar jatuh terkulai.
Aku memejamkan mata untuk menahan rasa sakit. Perlahan kudengar
langkah mereka yang mulai menjauh, disusul suara motor yang bising, dan
akhirnya hilang sama sekali. Hanya saja, sepertinya ada langkah kaki lain yang
menghampiriku perlahan. Kemudian, sebuah tangan menyentuh bahu dan pipiku
dengan sentuhan yang lembut.
Tak berapa lama, aku tersentak karena sadar seorang wanita telah
menyentuhku. Dia kaget saat melihat reaksiku yang tiba-tiba menjauhkan
tangannya dari tubuhku. Bukannya apa-apa, hanya saja aku tahu batasan seorang
laki-laki dan wanita__setidaknya, itulah yang kutanamkan dalam
diriku. Agama yang kuanut belum menyetujui hal itu.
“Maaf atas reaksiku… Hanya saja, kita bukan muhrim”
Dia mengerutkan alisnya sejenak, kemudian wajahnya kembali normal.
“Kau baik-baik saja?”
“Apakah mereka…”
“Tenang saja, mereka belum sempat melakukan apa-apa padaku,”
katanya lembut. Kemudian dia tersenyum seraya memandangku. Aku langsung
menundukkan wajah, melihat tatapannya yang aneh. Dia benar-benar cantik.
Wajahnya halus seperti boneka keramik yang di gosok berpuluh-puluh kali. Mata
cokelatnya benar-benar berkilau.
Ya Allah, hindarkan aku dari godaan-godaan ini…
“Apakah kau perlu kuantar ke rumah sakit? Kulihat tubuhmu terluka.
Apakah kau kesakitan?”
“Tidak, aku baik-baik saja. Sepertinya kau terburu-buru. Lebih
baik kau pergi saja..”
“Ya, aku memang terburu-buru. Tapi aku tak mungkin meninggalkanmu
sendirian disini”
“Sudahlah, aku baik-baik saja”
“Trima kasih”
Ia bangkit berdiri, kemudian melenggang pergi. Mataku menyapu
lantai di sekitar tubuhku yang terkulai. Ada
sesuatu yang menarik perhatianku. Aku mengambilnya sembari mencoba untuk
berdiri.
“Allena, tunggu!”
Dia menghentikan langkahnya yang belum terlalu jauh, kemudian
menoleh ke arahku dan langsung berjalan menghampiriku.
“Barangmu terjatuh”
Kemudian aku menyerahkan kalung emas berbandul salib itu padanya.
Dia tersenyum sambil mengulang-ulang kata terima kasih padaku. Aku hanya mampu
tersenyum pahit, sambil sesekali menelan ludah dan menundukkan kepala.
Dia adalah seorang nasrani.
* * *
Aku meneguk teh hangatku yang tinggal setengah gelas. Kemudian
kembali melanjutkan pandangan untuk menyapu barisan-barisan kata yang berjejer
rapi pada buku tua yang baru kupinjam di perpustakaan pagi ini.
“Hei…”
Tiba-tiba seseorang menghampiriku dengan senyum cerianya.
Rambutnya yang kemerahan tergerai begitu saja. Matanya bersinar bagaikan
pendaran cahaya yang terbias di atas air. Sementara tangannya yang putih mulus
memegang setumpuk buku yang entah buku-buku apa saja yang sedang dibawanya.
Yang kutahu persis hanya satu, sebuah buku di tumpukkan ketiga dari atas, yang
berbentuk seperti alkitab. Sekali lagi aku menghela napas.
“Allena…”
“Bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanyanya seraya mengernyitkan
alis bingung.
Terang saja aku tahu. Mana mungkin aku tidak mengetahui nama
seorang gadis yang mampu menyita hari-hariku dengan sangat sadis. Yang mampu
mengiris-iris dadaku setiap kali aku melihatnya memegang alkitab. Yang selalu
membuatku harus menundukkan kepala karena pesonanya yang membutakan mataku.
“Aku selalu mendengar temanmu memanggilmu Allena. Kurasa, mungkin
itu namamu. Apakah aku salah?”
Allena tertawa dengan kekhasannya. Matanya menyipit, tulang
pipinya tertarik ke atas, memperlihatkan dua buah cekungan tipis yang
bersembunyi di pipinya yang merona.
“Kenapa kau tertawa?”
“Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja, ekspresimu lucu sekali. Kau
benar, aku Allena. Bolehkah aku tahu namamu?”
Aku menimbang-nimbang sebelum menjawab. Sebenarnya aku ingin
mengakhiri ini secepatnya. Aku ingin menghentikan rasa ini secepatnya. Aku
ingin melupakannya secepatnya. Tapi bagaimana aku bisa?
“Hatsby”
“Salam kenal,” katanya sembari mengulurkan tangan padaku. Aku
melipat kedua tanganku dan menariknya ke depan dada. Ekspresi Allena terlihat
berubah. Kemudian dia menurunkan tangannya yang tidak kubalas dengan jabatan.
“Maaf, sepertinya aku harus pergi,” kataku mohon diri, saat ia
akan mengambil tempat di sampingku. Sungguh, aku tak akan tahan berada di
sampingnya cukup lama. Bisa-bisa ia membakar kesabaranku.
* * *
Aku kembali ke duniaku saat ini. Kukira aku sedang terdampar dalam
memoriku dua tahun silam. Ternyata aku masih di sini. Di tempat yang sama.
Masih di dalam sebuah gedung perpustakaan__duduk di tengah-tengah
sambil memandangi tumpukan buku yang masih setia menemaniku. Tiba-tiba saja aku
merasa tak bergairah sama sekali untuk membaca buku-buku itu.
Aku bangkit, kemudian berjalan mengitari lemari-lemari cokelat
yang berisi tumpukan buku sastra. Yah, siapa tahu saja ada sesuatu yang menarik
perhatianku.
Aku melihat seseorang yang tengah kesulitan mengambil buku paling
atas. Aku mendekatinya, kemudian kujulurkan tanganku untuk mengambil sebuah
buku sastra yang lumayan tebal, kemudian kuserahkan pada wanita itu.
Sungguh, aku tak pernah menyangka hal ini sebelumnya. Menerkanya
pun nihil bagiku. Tapi aku melihatnya. Kedua mata cokelat itu. Kini tepat di
depan mataku. Bagaimana mungkin?
Ia tersenyum padaku, dan aku membalasnya dengan tulus. Ada sesuatu yang hilang.
Rambut kemerahannya yang lurus berkilau, kini bermetamorfosa menjadi balutan
kain putih satin yang teduh menyelimuti kepalanya. Subhanallah…
“Allena…”
Dia tersenyum sekali lagi. Wajah itu, kini teduh. Aku mampu
melihatnya. Benar-benar mampu. Bidadari yang sesungguhnya. Aku mampu melihatnya
dengan nyata. Tak lagi kasat mata.
“Bunda…,” tiba-tiba saja seorang gadis mungil berlari ke arah
Allena dan memeluknya. Allena menyambutnya, kemudian menggendong gadis
mungilnya dan mencium kedua keningnya dengan kasih sayang. Aku terperangah tak
percaya. Sekali lagi, dia mengiris hatiku dengan sadis.
* * *
COMMENTS