Kata motivasi memiliki definisi berbeda dari banyak ahli, namun kamus induk istilah menulis, motivasi sebagai pemberian inte...
Kata
motivasi memiliki definisi berbeda dari banyak ahli, namun kamus induk istilah
menulis, motivasi sebagai pemberian intensif atau tujuan untuk menimbulkan
tindakan ; dorongan. Dipandang dari segi sumbernya, motivasi terbagi menjadi
dua, intern dan ekstern. Secara garis besar, motivasi intern timbul dari
kesadaran dan kesengajaan pribadi untuk membuat perspektif sesuai dengan apa yang
diinginkan. Berbeda dengan ekstern yang merupakan hasil dorongan dari orang
lain atau lingkungan untuk mempersuasi pemikiran sehinga melahirkan tindakan
yang dimaksudkan.
Menilik
begitu besarnya peran motivasi, maka dapat dilihat dari banyaknya orang yang
mempunyai figur yang diidolakan, dijadikan panutan dan tolak ukur serta juga
inspirator dalam bersikap dan menentukan langkah ke depan. Sampai saat ini Nabi
Muhammad saw dan pasti untuk seterusnya tetap menjadi tokoh panutan nomor wahid,
seterusnya para sahabatnya dan ulama’. Tidak menutup kemungkinan orang-orang
terdekat pun dapat menjadi motivator, karena motivasi yang dimiliki dan
dibutuhkan masing-masing individu beragam sesuai dengan karakter dan sejauh
mana pandangannya untuk mencapai titik tertentu.
Ingin menjadi seperti ini,
ingin sampai menguasai itu, dan seterusnya. Hanya yang membedakan antara
individu satu dengan lainnya adalah sikap cerdas dalam menilai dan mengenali
dirinya, sehingga tahu apa motivasi paling tepat untuk
dirinya.
Setiap orang masing-masing
mempunyai 24 jam dalam sehari namun berbeda dalam menyisihkan sebagian waktu
untuk diri sendiri, membuat dialog internal (percakapan dengan diri sendiri)
sehingga tahu what’s a real goal ?! apa yang sebenarnya dicari,
seberapa lama waktu yang tersisa, masihkah ada kesempatan, apa saja langkah
yang mesti dilakukan dan apa saja yang mesti ditinggalkan juga apa yang
dibutuhkan untuk itu.
Dialog di atas sesuai dengan
penuturan baginda Nabi saw.
اغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ،
وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ[1]
“Pergunakanlah lima sebelum (datang) yang lima: masa mudamu sebelum
(datang) masa tuamu, sehatmu sebelum (datang) sakitmu, kayamu sebelum (datang)
fakirmu, dan hidupmu sebelum (datang) matimu.”
Kematian
Sebagai Motivasi Klimaks Bagi Yang Beriman
Sekali lagi,
tiap individu mempunya karakter motivasi yang berbeda-beda tergantung
sejauh mana pengetahuan, pengalaman juga tentu
pandangannya terhadap apa yang dianggap terbaik untuknya dan terhadap pemanfaatan kesempatan secara efisien (sebaik-baiknya)
yang tidak mungkin datang dua kali.
Namun tetap,
kematian adalah satu dari sekian motif motivasi yang dinilai mutlak, titik puncak di mana seseorang bisa berpikir jutaan kali untuk melakukan satu pekerjaan
saja, sebab kematian menjanjikan kehidupan yang tanpa batas, akhir dari
keputusan yang dibuat di dunia tanpa ada pengulangan apalagi dispensasi (keringanan).
Ada dua golongan
berbeda dalam memandang fenomena kematian, golongan yang pertama golongan yang
pesimis, yang meyakini kehidupan hanya ada di dunia saja atau yang meyakini
setelah kematian seseorang hidup lagi didunia dengan adanya reinkarnasi. Mereka
memandang hidup sebatas pergantian hari, sebagai sesuatu yang berat, terbeban,
penuh kekhawatiran, kesulitan yang kemudian berakhir dengan kematian yang
berarti kepunahan, reinkarnasi pun hanya akan mengulang beban yang sama.
Yang optimis tentu
mempunyai
pandangan berbeda. Sebagaimana perkataan imam Hasan al Bashri r.a. :
يَا بنَِي آدم
إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، فَإِذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai anak Adam sesungguhnya engkau adalah (kumpulan) hari-hari,
jika telah berlalu sehari maka telah hilang sebagian dirimu.”
Menilik dari umur yang kita
punyai, memang modal kita sangatlah terbatas dan minim, bahkan relatif singkat
sebagaimana riwayat bahwasanya malaikat Jibril A.s. pernah berkata kepada Nabi
Nuh A.s.: “Wahai nabi yang paling panjang umurnya, bagaimana engkau
mendapati dunia?” nabi Nuh A.s. menjawab: “Seperti sebuah rumah yang
mempunyai dua pintu, sedangkan aku masuk pintu satu dan keluar dari pintu yang
yang lain”.[2]
Hal ini menjadikan kematian motif motivasi tertinggi yang tak terelakkan. Mengutip
Komaruddin Hidayat yang berkata bahwa “Merenungkan makna kematian tidak
berarti lalu kita pasif, sebaliknya justru lebih serius menjalani hidup,
mengingat fasilitas umur yang teramat pendek, ibarat lomba lari, manusia
seharusnya berpacu karena adanya batas waktu dan garis finish.”
Mementingkan
yang Terpenting
Sering orang
disibukkan dengan sesuatu, bahkan kadang sampai seakan tak punya waktu. Namun
jarang merenungkan tentang apa yang sebenarnya mereka cari. Sekedar sibuk tanpa
tahu tujuan apa yang dicari dengan terlalu banyak mengorbankan pikiran, waktu,
dan materi. Sekalipun banyak dan sering terpikirkan bahwa semua itu penting,
namun seyogyanya mengetahi apa yang terpenting.
Memang tak
mudah untuk fokus pada sesuatu yang dituju, banyak godaan yang memanipulasi seakan yang
lain juga penting, padahal itu tidak seberapa atau bahkan sama sekali tidak
penting.
Jika seseorang sudah
menjadikan kematian sebagai motivasi hidupnya untuk melangkah dan mendapatkan
yang terbaik bagi kehidupannya setelah kematian maka dia pasti dapat mengenal apa yang ia cari dan ia butuhkan. Dia akan selalu
tetap memfokuskan diri terhadap apa yang seharusnya diprioritaskan, merumuskan
semua langkahnya agar tidak membelok dari tujuan awal. Tentunya tetap fleksibel
terhadap hal lain yang menunjang dan dapat memberi pelajaran serta pengalaman yang
berharga, selanjutnya dia akan mendapatkan predikat “cerdas” dari
baginda Nabi Muhammad saw.
الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ ... الحديث
“Orang cerdas adalah yang (selalu)
introspeksi diri dan beramal untuk sesuatu setelah kematian ....” (H.R.
Tirmidzi)[3].
Wallahu a’lam bishshowab. )EL/AM)
COMMENTS