Sejuknya hembusan angin yang menyelai dahan pepohonan di taman pondok putri siang itu tidak hanya menjadi teman duduk ...
Sejuknya hembusan angin yang menyelai
dahan pepohonan di taman pondok putri siang itu tidak hanya menjadi teman duduk
bagi Syifa, tetapi ia juga sedikit nakal berani menghelai lembut pipi dan
wajahnya. Yang dihelai menikmati dengan memejamkan mata mengambil nafas
dalam-dalam. Mencoba menyatukan diri dan jiwa bersama sesuatu yang merasuki
tubuhnya secara kasat mata. Tapi hasilnya nihil, bahkan ia melarikan diri
menjauh secepatnya dari tubuh Syifa. Mungkin ia sadar bahwa syifa bukanlah
mahromnya.
Syifa membuka lagi kedua mata indah
itu, dia tidak begitu kecewa ditinggalkan sesuatu yang memang dicarinya karena
hari-hari ini angin juga sering nongkrong ria di taman pesantren bersama santri
putri.
Kitab kuning Fathul Qorib yang sedari
tadi ia peluk di dadanya mengingatkan kembali tentang ujian akhir bulan yang
akan diselenggarakan minggu depan. Dia sama sekali belum siap menghadapi ujian tersebut,
tapi untuk saat ini jiwanya masih gelisah, tidak ada semangat belajar yang
tersisa sedikitpun. Dia butuh motifasi dan pencerah hati dari berbagai masalah
yang sedang ia hadapi.
“Afwan, ana belum ada himmah
membacamu” Syifa memperhatikan kitab yang di pegangnya, sesekali ia elus
lembut kitab yang terlihat rapi dengan sampul plastik itu.
“Iya, its oke! Tenangkan hatimu
Syifa! Sabar ya! Ana yakin Syifa pasti kuat!” suaranya lebih lembut dan
perlahan. Sebuah pertanyaan yang dijawabanya sendiri.
Tidak terasa bola mata Syifa mulai
berkaca-kaca, kalau sudah begini biasanya syifa langsung meluapkan kegundahannya
dengan menuangkan cucuran airmata menangis sejadinya. Ya, bukan karena ia tidak tegar dalam menghadapi cobaan yang
sedang ia alami, tetapi kepuasan hati dengan menangis bisa meringankan beban
bahkan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, ia bisa bersabar dan bersyukur
atas semua cobaan karena sebuah keyakinan yang membuat ia tegar seperti ini.
Jika Allah mencintai hambanya maka
Allah akan memberinya cobaan. Dan juga Allah tidak akan memberi sebuah cobaan
bagi hambanya melampaui kemampuan hamba tersebut. Jadi kenapa harus lari dari
masalah dan menyalahkan takdir? pikirnya. Begitulah kiranya pengetahuan agama
yang selama ini ia serap dari bilik pesantren.
“Syifa jangan menangis di sini, malu
donk sama teman-teman” Syifa mencoba tegar. Masalah syifa kali ini selalu
menyibukkan pikirannya. Syifa ingin menangis tetapi tempat ia berada tidak
mengijinkannya. Di saat seperti inilah ia biasa melakukan Self Talk,
sebagai sarana untuk memotifasi diri pada saat-saat tertentu atau untuk memecahkan
dilema yang ia hadapi.
Self Talk yang sering syifa
lakukan berupa percakapan terhadap diri sendiri dengan menghadirkan nilai
negative kemudian membandingkan dengan nilai positif sehingga ia dapat menarik
sebuah kesimpulan yang meyakinkannya bahwa keputusan yang ia ambil sudah
benar-benar tepat.
“Masih
dipikirin? Al-Quran tuh, Jadikan Displacement dan Sublimation!”Gadis manis
berjilab tiba-tiba duduk tepat di samping Syifa dan menyadarkan kepala syifa di
sisnya.
Syifa mengusap kedua matanya, takut-takut
ada air mata yang tanpa sadar nyangkut di mata tersebut. Dia tidak ingin
sahabatnya khawatir, apalagi mendapati syifa dalam keadaan menangis. Seketika
ia membuang jauh-jauh ekspresi kesedihan dan mengganti dengan gurauan yang di buat-buat sehingga terasa dipaksakan.
“Discmen-Submen, permen kale….Sok
jadi dosen kamu Mar” canda syifa sambil menepuk paha sahabatnya.
“Ha…ha…ha…, biasa, tau sendiri ana
pengen jadi dosen, yah paling tidak bisa menguasai bahasa ilmiah lah, biar
nggak kolot jadi santri”
“Alah, kamu mar! bosen denger ocehanmu!”
Syifa mengangkat kepalanya dari bahu maryam.
“Ya sudah, up to you!” cetus maryam
sedikit kesal.
“Ye, ngambek!”
“Siapa yang ngambek? Sudah ah….
Makan yuk!”
“Boleh, yuk!” jawab Syifa semangat.
Karena selain perut syifa keroncongan dia ingin cepat berlari melupakan masalah
yang sedang ia alami.
Kedua sahabat itu beranjak dari
bangku yang menjadi korban mereka berdua. Kasihan, ia selalu diduduki. Tapi
bukankah dia diciptakan untuk itu? Ya, begitulah mungkin yang seharusnya,
segala sesuatu difungsikan sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Syifa dan Maryam melangkah lemah
menelusuri taman pondok. Langkah mereka pendek sekali. Bagaimana tidak, mereka
adalah wanita, apalagi mereka mengenakan rok panjang.
Jarak mereka baru sepuluh meter dari
tempat mereka duduk. Tetapi beberapa pasang mata memerhatikan mereka berdua. Syifa
mulai rish, beberapa hari ini dia sudah mulai terbiasa menjadi sorotan sekitar
dua ribu santri putri. Suebuah suasana yang tidak pernah diinginkan terjadi
padanya. Tetapi apa boleh buat, semua telah terjadi dan dia harus sanggup
menjalaninya.
Sesampainya di depan rayon asrama,
para santri semakin banyank yang menyempatkan diri melirik tajam kearah Syifa,
bahkan mereka saling berbisik satu sama lain.
Maryam mengelus bahu syifa yang
berjalan dengan keadaan menundukkan kepala, dia sudah tidak sanggup menjalani
semua ini. Kitab di tangannya makin erat ia peluk. Matanya tidak lagi
berkaca-kaca melainkan sudah melelehkan airmata dengan deras.
Seketika, kitab Fathul Qorib
miliknya ia serahkan kepada Maryam. Kedua tangannya ia gempalkan sekuat
mungkin. Dengan tangisan yang ia lepaskan begitu saja Syifa lari kearah kamarnya.
Syifa
telah sampai di ambang pintu kamar, wajah syifa ditutupi dengan ujung jilbab. Ia berhenti sejenak, mengamati
suasana isi kamar dan kemudian meninggalkannya.
Sekuat
tenaga ia berlari, entah tempat mana yang akan ia tuju, karena luas pondok
putri hanyalah satu hektar dan tertutup. Syifa benar-benar tertekan, hatinya tak
karuan dan hanya dapat diekspresikan dengan tangisan. Ribuan pasang mata
mengamati, mengikuti arah langkah kakinya.
Maryam
sahabat dekatnya hanya mampu terpaku durja menyaksikan gundah keadaan sosok
sahabat yang sejengkal lagi mungkin akan mengalami depresi. Begitulah yang ia
khawatirkan sebagai hipotesis analisisnya akhir-akhir ini terhadap
masalah-masalah yang menimpa Syifa.
“Syifa...........”
Teriak maryam tanpa terasa air mata mengalir pelan di kedua pipinya.
‘Ya Allah....Kuatkanlah Syifa’ pintanya
dalam hati.
###
Sebulan yang lalu pondok putri
digemparkan dengan kejadian yang sebenarnya sepele, menggelikan namun menjadi pembicaraan
serius di pondok putri. Siang itu menjelang shalat dhuhur santriwati
berhamburan di sekitar musholla, beberapa diantara mereka terlihat mengantri di
tempat wudhu, sebagian mengantri di depan kamar mandi, bahkan ada yang masih
sempat duduk ngobrol ria di taman, mungkin mereka menunggu antrian sepi. Yang
tersisa di ruang kelas mengkaji kitab Nurul Yaqin hanya kelas 1 Aly di
musholla. Terkadang memang jika Nyai mengajar memerlukan waktu lebih, karena
beliau mengkaji kitab tersebut dengan perbandingan kitab-kitab lainnya.
Akhirnya pengajian beliau selesai
juga, setelah membaca lantunan sholawat dan Ikhtitam madjlis mereka
bubar, para santriwati berdiri takdim membuka jalan bagi Nyai, beliau berajlan
perlahan menuju pintu utama musholla, sesampainya di depan musholla, beliau
terlihat bingung menoleh ke bawah kanan-kiri seakan mencari sesuatu. Nyai
menjadi perhatian para santri, baik yang berada di dalam maupun di luar
musolla, namun tak satupun mendatangi nya. Entahlah, mungkin mereka segan.
Hingga Fina khodimah beliau mendatangi Nyai, ternyata beliau mencari sepasang sandal
jepit miliknya.
Fina menawarkan sandalnya untuk
dipakai Nyai, namun beliau hanya menggeleng dan tetap mencari. Fina bergegas
menuju teman-temannya, barangkali salah satu mereka memakainya.
Para santriwati saling menatap satu
sama lain dan memperhatikan kaki-kaki yang berserakan di sekitar merka. Tak jua
ditemukan sandal itu.
“Fina, sandalnya seperti apa?” tanya
salah seorang santri
“Warna pink, sandal japit merek
ando” sautnya
Syifa
sedang asyik membasuh wajahnya dengan air di kran tempat wudhu, kakinya berhias
sepasang sandal japit ando berwarna pink. Beberapa santri memperhatikan kaki
itu dan saling berbisik. Akhirnya ada juga yang berani angkat suara.
“Fina, mungkin ini sandal Nyai”
teriaknya sambil menunjuk ke arah kaki syifa
Fina mencari asal suara tersebut dan
mendatanginya. Syifa bingung, karena sandal yang dikenakan memang miliknya.
“Ini sandal ana” jawab syifa pelan
Setelah diteliti, fina mengambil
kesimpulan
“Ini sandal Nyai, sandal japit ando
warna pink ukuran 39” fina mengambilnya dari kaki syifa. Syifa hanya pasrah hak
miliknya di bawa fina. Demi sang Nyai, pikirnya.
“Itu bener sandal syifa” maryam yang
mengantri di belakang syifa membela teman akrabnya.
“Ah, mentang-mentang teman dekat
dibela” celetuk salah seorang santri
Agar tidak memperpanjang masalah
syifa dan maryam memilih diam membiarkan sandal hak miliknya dibawa kehadapan
Nyai. Di samping kiri musholla yang berjarak sekitar 10 meter dari tempat syifa
berdiri terdapat kamar mandi. Di depannya terlihat rina baru keluar dari salah
satu pintunya. Sambil merapikan jilbabnya ia memperhatikan Nyai yang menjadi
sorotan para santri.
Rina, Maryam dan Syifa memang teman
dekat. Mereka satu kamar dan selalu diskusi bersama. Keakraban mereka melebihi
saudara, tak jarang jika dalam keadaan darurat mereka memakai barang temannya
tanpa sepengetahuan pemilik, dan mereka bertiga sudah saling memaklumi hal itu.
Tak sengaja syifa melihat rina mengenakan
sandal pink, entah dari mana teman dekatnya itu bisa memakai sandal yang mirip
dengan miliknya. Meski sebenarnya ia memang sering meminjam dari syifa, mungkin
rina salah memakai sandal yang ia pikir sepasang sandal japit itu adalah milik
Syifa. Tanpa memikirkan hal itu syifa spontan angkat suara.
“Mbak fina, mungkin itu sandal Nyai”
teriaknya sambil menunjuk kearah sandal yang dikenakan rina.
Rina menjadi sorotan semua yang
berada disekitarnya, tak terkecuali Nyai dan fina. Sebelumnya fina memang agak
bimbang, namun akhirnya dia juga mendatangi rina dan mengecek sandal yang ia
kenakan. Setelah diteliti, dipertimbangkan dan dibedakan akhirnya dia mengambil
kesimpulan bahwasannya sepasang sandal yang dikenakan rina adalah milik Nyai,
karena sandal Nyai masih terlihat baru daripada milik syifa, dan memang umur
sandal beliau tidak lebih dari dua minggu.
Fina membawa sandal yang dipakai
rina kehadapan Nyai, di pertengahan jalan ada salah seorang santri yang nyeletuk
agak keras “Wah.....ternyata rina malingnya.....”
Spontan sorak santri lainnya
serempak “WUW.........Maling!.....WUW.........Maling!”
Rina menutup wajah dengan kedua
telapak tangannya, Mataya mulai berkaca-kaca, tanpa dapat ditahan lagi pecah
juga tangisnya, air mata mengalir deras. dengan tangisan, hati yang hancur,
tanpa sandal ia berlari mencari tempat yang sepi.
###
“Ana
sudah nggak tahan lagi mar, ini sudah keterlaluan, biar ana saja yang angkat
kaki dari pondok ini” Syifa tidak dapat mengendalikan emosinya.
“Astaghfirulloh
syifa....kamu nggak boleh ngomong gitu, hanya dengan hal sepele begini kamu mengubur
dalam-dalam masadepanmu? Ini hanya sebuah cobaan dari Allah, ana yakin kamu
bisa menghadapinya” maryam menguatkan hati syifa.
“Tapi
kelakuan dia sudah keterlaluan mar, sekarang kasus ini sudah ke Nyai, apa yang
harus ana lakukan?” tanyanya putus asa.
“Jangan
sudzon sama orang lain syifa. Sudahlah, sabar aja, semua ada hikmahnya”
“Syifa,
Nyai sudah nunggu dari tadi”salah seorang petugas keamanan pondok putri
mendatangi lagi kamar syifa setelah meninggalkan kamar itu lima menit yang
lalu.
“Oh
iya, sebentar, masih ganti pakaian” jawab syifa
Malam
itu mungkin malam terakhir syifa di pondok putri. Ia ditunggu Nyai di Ndalem
beliau, kemungkinan besar ia akan diskors atau dikeluarkan dari pondok.
Pasalnya syifa akhir-akhir ini sering keluar masuk pintu keamanan pondok. sudah
empat minggu berturut-turut ia mendapatkan surat cinta dari santri putra.
Prosesnya juga sudah terlalu panjang, hingga keputusan terakhir berada di
tangan Nyai malam ini.
Syifa
sudah berdiri di depan Ndalem, hatinya bergetar, masih belum percaya
tentang musibah yang ia alami saat ini. Bibirnya tak berhenti memantrakan doa
yang ia harapkan dapat menolong dirinya sekarang. Apapun keputusan Nyai malam
ini, ia akan terima dengan lapang dada dan sbar.
“Neng
syifa, silakan masuk, Nyai sudah nunggu” seorang khodimah mempersilakan syifa
memasuki Ndalem
Perlahan
syifa memasuki rumah pengasuh pondok,
jantungnya berdetak semakin cepat, bibirnya masih tetap komat-kamit.
Sampailah ia di ruang tamu. Nyai sudah duduk manis di salah satu sofa.
“Silakan
duduk syifa!” perintah Nyai. Yang diperintah nurut duduk tepat dihadapan Nyai
“Syifa
tau kenapa dipanggil kesini?” tanya Nyai basa-basi. Syifa hanya mengangguk
###
Suasana shalat dhuhur berjamaah di
musholla pondok putri terasa tegang, paembacaan wirid jadi terkesan melelahkan.
Terlihat beberapa santri saling berbisik satu sama lain, topik pembicaraan
mereka tidak jauh beda, dan itu membuat pembacaan wirid menjadi tidak khusu’.
“Assalamualaikum warohmatullohi
wabarokatuh” usai pembacaan wirid Nyai yang masih berada di mihrob membuka pembicaraannya
“Waalaikumsalam warohmatullohi
wabarokatuh” para santri menjawab serentak meski terdengar rendah, tertanda
suasana masih tegang.
Nyai mulai bicara tentang peraturan
pondok, tentang hikmah adanya peraturan. Beliau juga mewanti-wanti santri untuk
tidak melanggar apalagi pelanggaran syariat.
“Syifaul qulub, silakan maju ke
depan” perintah nyai, tanpa pikir panjang syifa berdiri di hadapan jamaah
santri putri
Setelah menjelaskan singkat tentang
kasus syifa, Nyai mengambil keputusan
“Ini adalah pelajaran bagi semua
santri agar tidak jatuh pada lubang yang sama, mulai hari ini, saudara kita
syifa diskors selama enam bulan” kata-kata nyai menggores hati para santri,
syifa dan sebagian teman karibnya terisak menyucurkan air mata.
“NYAI.............” salah satu
santri putri teriak lantang, menyita perhatian Nyai dan seluruh santri, ia
memberanikan diri maju berdiri di samping syifa. Syifa heran dengan apa yang
dilakukan santri tersebut, terlebih lagi ialah seorang yang selama ini dicurigai
syifa menebar fitnah terhadap dirinya. Sayang, ia belum punya bukti kuat untuk
menuduhnya.
Mau apa lagi orang satu ini, batin syifa bertanya-tanya
“Nyai, saya mohon syifa jangan
diskors. Saya yang selama ini telah memfitnah syifa, mungkin karena saya tidak
sengaja dipermalukan di depan umum satu bulan yang lalu, dan semenjak itu saya
menyimpan dendam terhadapnya. Dipermalukan di depan umum memang sakit rasanya,
namun ternyata ada yang lebih sakit dan perih dari itu, yaitu ketika saya
kehilangan seorang sahabat” tangisan rina dan syifa pecah, air mata mengalir
lebih deras, di hadapan halayak santri mereka berpelukan. Membuat haru suasana
dengan tangisan Nyai dan sebagian besar santri putri.
Dibalik
itu, Maryam dengan air matanya tersenyum ceria. Canda tawa persahabatan dengan syifa dan rina yang selama ini hilang,
akan ia temui lagi hari ini, esok dan hari selanjutnya.
COMMENTS