Sekolah merupakan faktor utama pembentuk kepribadian. Setiap materi pelajaran, nilai dan teladan yang didapat di sekolah akan diserap ...
Sekolah merupakan faktor utama pembentuk kepribadian.
Setiap materi pelajaran, nilai dan teladan yang didapat di sekolah akan diserap
oleh siswa dan mempengaruhi karakter secara signifikan. Baik teladan itu ia
dapat dari guru maupun teman satu sekolahnya. Kualitas dan tingkah laku
seseorang selalu dikaitkan dengan di sekolah mana ia menempuh jenjang
pendidikan. Hal inilah yang mengharuskan untuk memberi perhatian khusus pada
sekolah yang menjadi lingkungan utama anak belajar. Minimnya perhatian orang tua terhadap
perkembangan anak semakin menambah dominasi sekolah terhadap perkembangan dan
pembawaan anak. Agaknya, teori lama ???? yang menomorduakan peranan sekolah
dalam pengaruhnya terhadap perkembangan menyeluruh pada
anak setelah faktor kelurga perlu ditinjau ulang. Apalagi orang tua belakangan ini cenderung menyerahkan
kepercayaannya dalam pendidikan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan. Secara
selektif orang tua menunjuk satu lembaga pendidikan agar bisa lebih
berkonsentrasi total terhadap pekerjaannya.
Fenomena inilah yang patut diwaspadai oleh seluruh
kalangan khususnya para orangtua, pemerhati pendidikan dan tokoh masyarakat.
Sudah sepatutnya sekolah mendapat perhatian lebih dalam segala aspeknya. Kapabilitas
guru sebagai orang paling didengar dan diikuti pemikirannya serta teman sebagai tolok
ukur pandangan. Terutama lagi adalah materi pelajaran yang diajarkan di
sekolah. Para pemangku sekolah harus memberi perhatian lebih terkait hal-hal
tersebut.
Terkait dengan
materi pelajaran yang menjadi
muatan kurikulum, beberapa aliran dalam Islam mulai bergerak menyisipkan
ideologi eksklusifnya ke dalam kurikulum nasional melalui mata pelajaran
berbasis agama. Beberapa doktrin
“tidak benar” berhasil masuk menjadi bagian dari materi esensial mata pelajaran
akidah akhlak edaran kementerian agama pusat 2009 lalu (Pusdiklat Tenaga Teknis
Pendidikan dan Keagamaan Kemenag). Artinya, doktrin tersebut merupakan bagian
dari materi yang wajib dikuasai anak-anak didik yang menempuh jenjang
pendidikan dalam sekolah. Karena sudah menjadi materi pelajaran, implikasinya adalah
doktrin ini menjadi materi ujian yang akan dihapalkan dan tidak menutup kemungkinan
akan “dianut” siswa karena dianggap sebagai kebenaran yang harus diyakini. Naik
dari ranah kognitif yang hanya menitikberatkan pada penguasaan materi dalam
otak ke taraf ?????? dan menjadi kepercayaan.
Sejak berlakunya otonomi pendidikan pada tahun 2001 dengan dijalankannya
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, pemerintah daerah
diberi kewenangan dan kesempatan untuk memberdayakan segala hal dalam penyelengaraan
pendidikan, baik itu muatan kurikulum, proses pembelajaran dan sistem penilaian
hasil belajar, guru dan sekolah, fasilitas dan sarana belajar. Meski begitu,
pemerintah pusat tetap menetapkan standar isi dan kompetensi yang harus
dijadikan acuan dalam pengembangan kurikulum. Inilah yang berpotensi memicu problem
dalam tataran lebih lanjut. Standar isi yang ditetapkan diyakini tidak –akan
mampu memenuhi kemauan beragam aliran Islam khususnya dalam aspek akidah karena
masing-masing aliran secara spesifik memiliki karakteristik yang tak bisa diintegrasikan untuk mencapai
konsensus. Sebagai contoh, ahlussunnah tentu berbeda dengan wahhabi dalam
pendekatan masalah tauhid. Mereka mengenal konsep tauhid dengan tiga macamnya,
yaitu uluhiyyah, rububiyyah
dan asma’ wa shifat sedangkan ahlussunnah mengingkari konsep yang
digagas ibnu taimiyyah ini. Jangan harap akan ada kompromi menyikapi perbedaan prinsip
dalam masalah ini.
Pada mulanya, macam-macam tauhid
khas wahhabi yakni tauhid uluhiyyah, rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat
belumlah menjadi standar isi mata pelajaran pendidikan agama islam nasional.
Hal ini terlihat dari kritik yang disampaikan oleh Prof. Dr. Muhaimin, MA pada
acara workshop penilaian pendidikan agama islam pada sekolah di Bogor, 2007
silam. Seperti tertulis dalam artikelnya yang berjudul “Analisis
Kritis Terhadap Permendiknas no. 23/2006 &
no. 22/2006 Tentang
Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam di SD/MI, SMP/MTS &
SMA/MA”, Muhaimin mengkritik
rumusan Standar Kompetensi Lulusan aspek akidah yang tidak mengadopsi tauhid
berkarakter wahhabi. Ia pun melayangkan kritik terhadap pendidikan agama Islam
nasional secara umum seraya berusaha menyisipkan materi tauhid ala wahhabi ke
dalam materi pendidikan agama. Guru Besar UIN Malang untuk Ilmu Pendidikan
Agama dalam artikelnya ini menyebutkan perlunya menjadikan tiga macam tauhid
itu sebagai bagian dari standar kompetensi lulusan dan kompetensi dasar aspek akidah
untuk mata pelajaran akidah akhlak. Selain menyebutkan keunggulan model tauhid
ala ibnu taimiyyah tersebut dalam artikelnya, beliau juga menuturkan kekurangan
konsep tauhid madzhab al-asy’ari yang membagi sifat allah menjadi dua puluh,
dan lain sebagainya.
Secara runtut dan ilmiah khas
seorang akademisi, Muhaimin mengemukakan argumennya dan mengkritik model lama
pelajaran akidah. Dia berkeinginan untuk
mengeliminasi konsep tauhid asy’ari seperti sifat wajib allah yang 20 lalu
mengisinya dengan asma’ul husna. Alasan yang dipaparkan pun cukup menarik dan
rasional. Dia beranggapan bahwa model lama sifat dua puluh dirasa kurang tepat
dan mengena sesuai tujuan pelajaran akidah, yaitu lebih menyentuh dimensi hati
dan memberi dampak kejiwaan pada kualitas iman seorang muslim. Asma’ul husna dipandang
lebih mampu menyentuh perasaan seorang muslim dan memiliki efek yang lebih
nyata dan praktis daripada sifat wajib yang dua puluh. Hanya rumusan rasionalistik.
Usaha gigih wahhabi itu pada
akhirnya membuahkan hasil. Tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan tauhid asma’
wa shifat berhasil masuk menjadi bagian modul pelajaran akidah akhlak standar
nasional. Secara eksplisit, memang tidak disebutkan pembagian tauhid menjadi tiga
macam ke dalam muatan pelajaran. Hanya saja, dengan cerdik materi itu mereka sisipkan
bebarengan dengan sifat wajib allah yang dua puluh itu. Dengan praktek yang
halus ini, tentu saja anak didik dikhawatirkan akan mengira bahwa ragam tauhid
ini adalah satu paket wajib hapal bersama sifat wajib 20 yang sudah familiar
dan biasa dilantunkan sebelum shalat.
Jika dilihat sekilas, penyisipan
tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah ke dalam mata pelajaran pendidikan agama
islam aspek akidah seakan tidak berbahaya dan berpengaruh signifikan. Apalagi
menilik alasan yang dikemukakan Muhaimin seperti di atas. Terlihat logis dan
lebih masuk akal. Padahal sebenarnya dari konsep tauhid macam inilah jurang
lebar antara dua komunitas besar muslim berpotensi tercipta. Tidak main-main. Dengan
bepijak pada mainstream tauhid macam ini, wahhabi bisa-bisa mengkafirkan
mayoritas muslim Indonesia sebab praktek ibadah yang biasa mereka amalkan
seperti membaca burdah, manaqib dan semisalnya.
Bila ditinjau
dalam spektrum yang lebih luas, kekakuan wahhabi dalam berislam bisa dilihat
dalam kehidupan beragama di Arab Saudi. Di Indonesia, dinamika perbedaan masih
bisa ditolerir dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, namun tidak demikian halnya
dengan di Arab Saudi. Implikasi dari konsep tauhid inilah yang menciptakan
perbedaan karena menjadi legitimasi bagi beberapa sikap mereka yang
kontroversial di mata umat Islam. Larangan mengadakan maulid dan beberapa
kegiatan kebaikan seperti istighotsah bahkan sikap mengangkat kedua tangan
ketika berdoa di Makam Rasulullah adalah beberapa dampak serius dari perbedaan
dalam memahami konsep tauhid yang benar. Yang paling fatal, fanatisme pada
konsep tauhid tiga macam ini akan berujung pada sikap saling mengkafirkan antar
sesama muslim. Hal apa pula yang lebih besar dari tidak diakui sebagai sebagai
muslim?
Implikasi konsep
tauhid uluhiyyah rububiyyah dalam praktek keislaman di Indonesia berpotensi
memicu friksi tajam antar umat islam. Apalagi ini berhubungan dengan dua
komunitas muslim dengan kuantitas terbesar di Indonesia. Jika dipaksakan, peluang
untuk ke sana akan semakin terbuka lebar.
Ahlussunnah
yang merupakan mayoritas di Indonesia harusnya tanggap menyikapi hal ini. Jika
tauhid model lama dianggap tidak akomodatif terhadap minat masa sekarang,
bukankah itu hanya masalah pendekatan dan cara penyampaian saja yang tidak
menarik? Jika diperbaharui dan dikemas lebih menarik sesuai selera penyampaian
pendidikan kontemporer yang kreatif, bukan tidak mungkin anak Sekolah Dasar pun
bisa menjangkau dan menikmati materi tauhid ahlussunnah semacam 20 Sifat Wajib
Allah yang oleh Muhaimin dikatakan “kurang mengena”. Sepertinya itu hanya
masalah penyajian saja yang kurang menarik dan kurang penjabaran makna. Tentu
saja ini menjadi tugas umat muslim seluruhnya khususnya yang berkecimpung di
dunia pendidikan Indonesia. Bila terus-menerus tidak mendapat perhatian, lubang
yang “kecil” ini akan semakin meluas dan boleh jadi akan menggerus habis jejak
Ahlussunnah pada Pendidikan Agama Islam di Indonesia. AF
COMMENTS