“Assalamualaikum mak” ucapku sebagai ciri khas tanda kedatanganku dengan gaya logat melayu kental, “ngape (kenapa) terlam...
“Assalamualaikum
mak” ucapku sebagai ciri khas tanda kedatanganku dengan gaya logat melayu
kental, “ngape (kenapa) terlambat nak !?,
mana nilai hasil tugas tugas PR-nya” sahut ibuku, “lepas pulang sekolah nawi
main bola sebentar mak, ini nilai hasil PR nawi mak, akupun menyodorkan buku
matematikaku, ibuku memfokuskan penglihatannya seakan kedua alisnya berusaha
keras untuk berpadu padahal ibuku tidaklah terlalu tua, dan belum waktunya
penyakit mata menghinggapi sosok seumurannya, tapi entah kenapa pola tatapan
matanya berubah setiap ia berusaha memeriksa hasil tugas tugas dari sekolahku
“hmmm, ngape pula kau dapat nilai macam
ni ?, kau tada’ belajar keh nak ?” (kenapa kamu dapat nilai seperti ini ?, kamu
tidak belajar nak ?)
seperti itulah pola pertanyaan kritis
beliau, setiap kedatanganku selalu bertanya seperti itu dengan pola &
intonasi yang sama, hingga terkadang terbesit rasa bosan di hatiku untuk
menjawabnya, “nawi Cuma dapat 9 mak, nanti nawi belajar lagi dah biar dapat
nilai 10”, aku bukanlah sosok anak yang pintar dalan menguasai materi
pelajaran, namun cukup cerdas dalam menghadapi tantangan tugas tugas dari Guru,
setiap pelajaran aku anggap hobby, aku hanya tinggal mengubah mindsetku ketika
menghadapi tumpukan tumpukan tugas dari guruku, jika anak SD seumuranku
menganggap tugas tugas dari guruku sebagai “beban”, aku menganggap tugas tugas
tersebut sebagai “tantangan”, jika anak seumuranku menganggap matematika hal
yang “rumit & susah” aku menganggap matematika hal yang “mengasah”
ketajaman otak, begitulah aku selalu mengatur mindsetku dengan berpikir simple ketika
menghadapi beragam tantangan materi pelajaran “Jangan anggap susah nak !, pasti
semuanya akan terlewati & tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat” begitulah
ungkap selipan nasehat sederhana dari ibuku, mutiara mutiara kata selalu saja
aku dapatkan di dapur saat ibuku memasak dan membuat kue untuk dijajakan
Aku harus belajar lebih giat, sebab
pastinya ibuku selalu menanyakan nilai tugas tugasku, bayangan pertanyaan pertanyaan ibuku seakan
berubah menjadi sosok berwibawa yang memantau pola belajarku, keesokan harinya
sepulang sekolah dengan gaya yang sama dariku “Assalamualaikum mak” begitulah
ciri khas kedatanganku selalu terulang, “mak coba tengok hasil tugasku” kataku
dengan senyum sumringah ^o^, “hmmm, ngape pula kau dapat nilai macam ni ?, kau
tada’ belajar keh nak ?” kata ibuku dengan tatapan khasnya, “ehh mak, nawi
dapat nilai bagus mak, “10”, ngape pula emak tanya macam tu ??” sahutku heran,
“gurau ja’ nak, emak Cuma ngetes mulut kau, sabar tada’ kau sama emak” kata
ibuku ngeles, “alasan yang aneh & mengada ngada” pikirku
“Assalamualaikum mak” selalu terulang adegan yang sama dariku,
seakan sebuah film yang sangat gampang diterka endingnya, tapi kali ini ibuku
tidak langsung menanyakan PR atau tugas tugas harian sekolahku, aku langsung
bermain bola, setelah bermain dengan peluh keringat aku pulang ke rumah, dari
dapur ibu memanggilku, “nawi, mana tugas tugas dan PR-nya”,aku pun menyerahkan
nilai hasil keringatku,“hmmm, ngape pula kau dapat nilai macam ni ?” kata ibuku
dengan gaya khasnya, “ehh, ni dah yang
paling bagus mak, ni nilainya 10” ibuku tersenyum dengan kesabaranku untuk
menghadapi pertanyaan yang selalu terulang dari ibuku, “ialah, Belajar yang
rajin nak ?” kata ibuku setengah cuek sambil melempar senyum lalu kembali ke
dapur, hmmm, sedikit sentuhan variasi pola bertanya dalam dimensi kata &
waktu, namun maknanya tetap saja “hmmm, ngape pula kau dapat nilai macam ni
?, kau tada’ belajar keh nak ?”
“hmmm, ngape pula kau dapat nilai macam
ni ?, kau tada’ belajar keh nak ?” kata
kata khas dari ibuku selalu terulang ditelingaku, walaupun terkadang dengan
setting waktu dan tempat yang berbeda, atau sedikit sentuhan gaya kalimat yang
berbeda guna mengikis rasa bosanku, tapi tetap saja maknanya “hmmm, ngape pula
kau dapat nilai macam ni ?, kau tada’ belajar keh nak ? / belajar yang lebih
rajin lagi nak”, walaupun aku terkadang merasa dihantui dengan pertanyaan itu,
tapi aku kini sadar itulah simbol perhatian dari sosok ibuku, hingga akhirnya
aku tidak menganggap pertanyaan pertanyaan ibuku sebagai “beban”, tapi itulah
bentuk perhatian dari ibuku, pertanyaan pertanyaan yang awalnya aku anggap
membosankan, skenario yang sangat mudah ditebak, namun begitulah adanya, pertanyaan
pertanyaan khas dari ibuku selalu menemani hari hariku hingga aku lulus SMP di
desa Punggur Kecil,
Pada tahun 1992 selesai kelulusanku di
jenjang SMP, Aku harus berangkat ke kota untuk lebih dalam menimba ilmu
pikirku, karena tidak selamanya aku akan tinggal di desa dengan kapasitas ilmu
seadanya, aku pun melanjutkan jenjang sekolahku di salah satu SMA Favorite,
ibuku menitipkankanku pada sanak famili, pada kejauhan dimensi, Kerinduaan
mendalam mulai menerpaku, tak ada lagi gema suara setelah pulang sekolah “hmmm,
ngape pula kau dapat nilai macam ni ?,
kau tada’ belajar keh nak ?”,
aku pun mulai merangkai kata tuk ibunda
tercinta, kumpulan serpihan serpihan kata ku padukan hingga menjadi cerminan
isi hatiku, entah mengapa, di tiap kata yang aku rangkai aku merasakan adanya
bobot kekuatan, kata kata sederhanaku terangkai dengan indahnya hingga menjelma
menjadi luapan rindu yang tersusun dalam rangkaian kalimat, terselipkan pula
sentuhan bahasa cinta yang tergambar pada dimensi bahasa yang ku tulis, bukan
maksud hatiku untuk membuat ibuku terkesima dengan bobot bahasaku, juga bukan
maksud hatiku untuk merangkai kata hingga membuatnya terharu rindu, namun
itulah segala yang ingin ku luapkan dari lubuk sanubariku, penaku dengan
gagahnya menemani hatiku untuk luapkan segenap rasa, surat demi surat dengan
lipatan amplop dengan manisnya aku kirimkan, hanya untuk mengabari keadaanku,
walaupun beragam untaian pesona kata aku luapkan namun satu kata yang pasti
“doakan nawi mak” begitulah ending setiap surat yang aku kirimkan,
tiga tahun kemudian setelah kelulusan
aku kembali ke pelosok desa Punggur Kecil untuk menemui ayah dan ibuku, ayahku
memelukku dengan gagah dan bangga akupun menyambutnya dengan luapan kangen, aku
memeluk ibuku sembari mengharu biru, ibuku mengecup keningku serta dua pipiku
dengan penuh nuansa rindu, tanpa malu aku menumpahkan air mata kerinduan hingga
air mataku beroadu dengan gurtan pipi ibuku hingga menodai senyuman ibuku, aku
luapkan segala kerinduan selama tiga tahun, rindu berbaur semerbak wangi dengan
bunga kebahagiaan,
waktu pun mengambil alih peran kebahagiaanku
setelah satu bulan, moment indah melepas rindu hampir sirna, aku harus
berangkat ke pulau seberang untuk mengumpulkan pundi pundi ilmu, “nawi ingin
menimba ilmu di pulau jawa mak, mau melanjutkan jenjang universitas” akupun
meluapkan isi hati untuk meneruskan pendidikanku di salah satu universitas di
pulau ilmu, ibuku menyambut pintaku dengan senyuman air mata, “tak usahlah emak
khawatirkan Nawi, di jawa nanti nawi pandai pandai cari kerja tuk biaya hidup
nawi, insya Allah nawi sering seringlah kirim surat tuk emak” kataku menghibur
hati emak, namun tatapan mata emak mulai berpaling dan mengambil sebuah kantong
pelastik hitam, entah apalah isinya, mungkin akan menjadi bekal utamaku di
pulau seberang nanti bisik batinku, ibuku mengeluarkan isi kantong berupa
amplop amplop yang tertumpuk manis, sambil memaksakan senyum dengan linangan
air mata yang menghiasi pipi ibuku beliau pun mengusap ubun ubunku “nawi !, ni
surat surat yang kau kirim selama ini nak, maafkan emak, emak ni tada bisa baca
nak !,” jantungku tersentak kaget mendengar kata kata beliau, antara tidak
percaya, bingung serta kaget berpadu memaksa memompa jantungku lebih cepat, ku
tatap tangan beliau yang agak keriput kurus mengusap dada beliau, seakan
meyakinkanku bahwa beliau memang sama sekali tidak bisa membaca, entah kenapa
air mataku yang selalu angkuh untuk menanggapi suasana haru tidak kuat untuk
memikul beban angkuhnya, bukan karena aku percaya ibuku tak bisa baca, hanya
karena terbawa nuansa ibuku yang dengan air mata ketulusan mengungkap rahasia
yang selama ini telah ia pendam, “abah ni tada lulus SD, emak kau tu tada’ tau
sekolah” tegas ayahku, “abah ni memang tada’ lulus SD, tapi ngertilah ngaji dan
baca cikit (sedikit), tapi emak kau ni tada tau sama sekali, abah yang ajarkan
emak kau ngaji & doa doa sholat, tu pun payah benar (susah sekali), kalau
ngaji juga doa doa emak kau dah pandai,
tapi sampai sekarang emak kau tu tetap ja’ ta’ tau baca” ayahku berusaha
menghapus lukisan ketidak percayaan di binar mataku, ibuku hanya diam sembari
menyeka air matanya yang bertaburan, namun bercak lukisan kebingungan di binar
mataku tetap saja tidak bisa ku tutupi, “emak kau tu tada tau baca nak !, tau
uang aja dari bentuk dan warna, bukan dari angka” ayahku berusaha meyakinkanku,
aku sadar desa tempat ibuku tinggal jauh dari jangkauan dunia pendidikan, aku
terdiam hening bukan karena tidak bisa percaya, namun aku hening terpana dengan benang merah
yang aku genggam, dibalik kekurangan beliau yang tidak pernah ku sadari sungguh
betapa wibawanya sosok beliau, tidak pernah beliau berucap “belajar yang rajin
ya nak, jangan jadi macam emak ! (jangan menjadi seperti ibu), emak ni tak tau
apa apa” kata yang tidak memberikan sosok figur dan tidak pula membimbing itu
sama sekali tidak pernah ku dengar, tapi
sebaliknya bagaimanapun nilaiku ibuku
selalu berucap “hmmm, ngape pula kau dapat nilai macam ni ?, kau tada’ belajar
keh nak ? belajar yang lebih rajin lagi nak”, tanpa menyiratkan dusta, ibuku
merangkai kata pamungkas yang penuh wibawa, hingga sosok wibawa itulah yang
dulu selalu menemani pola belajarku, begitu menyadari sosok wibawa benang merah
yang ku genggam, air mataku semakin berbondong bondong membasahi guratan pipiku
yang gersang, aku seka air mata ibuku, aku kecup kening beliau, beliau kemudian
memelukku erat seakan tidak ingin melepaskanku tuk menimba ilmu di pulau jawa,
COMMENTS