Tak merah juga tak putih, namun abu-abu jika ku kataka n cintaku padamu. Merah bah mawar yang merekah, tapi itu salah , sebab cinta yan...

Jika akan kusebut cinta ini putih, suci, murni bah melati. Itu bohong belaka, sebab putih itu tulus. Mengharap yang dicinta bahagia meski bukan
denganku. Sedangkan aku tak bisa seperti itu. Aku masih dirulung ragu atas warna cintaku padamu, merah ataukah putih? Hari ini jawabannya….
Dua bulan yang lalu, saat kemacetan menyumbat deras arus kendaraan, kukendarai motor dengan emosi
menyala. Rasa sakit yang meraung dan meliliti lorong usus, membuatku
tak mampu berkompromi dengan kendaraan yang berjejal berebut ingin mendahuluiku.
Tin…Tin…Tin!! beberapa jerit kendaraan
tatkala terik matahari terus memancarkan panasnya secara konduksi, merambah hingga
membakar kemeja di tubuh. Panas dan peluh keringat mengucur dari kening, berhenti di dagu lalu
menetes membasahi lengan.
Tin… Tin…Tin! “Hey mbak!!”, bentakku pada gadis berjilbab dengan warna
biru lembut saat berusaha melintasi motorku, mencoba untuk mencari celah, sepertinya ia ingin
menyebrang jalan.
Gugup bercampur terkejut ia berucap,
“maaf..maaf..” Tapi aku hanya mendengus kesal.
Sementara rentet kemacetan
tak kunjung selesai, dalam diam aku menunggu, ujung mataku menangkap bayangan
sang gadis, ternyata ia mencoba menyibak jalan, bukan untuk menyebrang. Ia
menjongkok, mengambil bungkusan plastik putih hitam yang tergeletak persis
disamping roda Honda jazz merah metalik.
Kemudian ia
berjalan ke arahku, melewatiku dan… “ini yang ibu cari?” tanyanya kepada wanita
paruh baya yang tampak diliputi cemas di wajahnya. “iya nduk….matur nuwon
ya…”sahut wanita itu.
Aku tertegun, mungkin begitu juga dengan beberapa
pasang mata yang telah mengumpatnya. Kami sama-sama takjub, dalam keadaan
seperti ini masih ada yang mengenyampingkan dirinya untuk orang lain.
Ia bingkiskan
senyum indah untuk wanita itu, kemudian dengan anggun ia kembali berlalu ke dalam
angkot biru yang berada dua baris di belakangku. Padahal, jika ia mau, ia takkan
memilih turun untuk menolong ibu itu. Entahlah.
###
Pertemuan itu, awalnya
kurasa hanya sepintas angin lalu, sebelum akhirnya takdir mempertemukanku lagi
dengannya. Saat aku berhenti di sebuah masjid untuk mendirikan shalat ashar
sekaligus mengganjal perut sebelum lambung ini kembali bangkit meronta-ronta. Sebagai
dokter, aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Alunan al-Qur’an
terdengar sayup-sayup bersama hembus udara, dari satu halaqah ke halaqah
lainnya. Di zaman seperti ini masih ada orang–orang lanjut usia yang ingin
belajar membaca kalam ilahi, sebagai persiapan pertanggungjawaban di hari esok nanti.
Lagi-lagi mataku merekam sosok gadis berjilbab itu, pelan menuntun para lansia
agar mengikuti bacaannya.
Ku bertakbir,
mengucap salam, namun suara itu lebih menguasai pikiranku dan membuyarkan
kekhusukanku, hingga setelah doa kupanjatkan, aku kembali menoleh kearahnya
yang berada di lantai dua, dibelakang sana.
“Siapa dia?”sontak
kutanya kepada marbot masjid yang kebetulan lewat. “Aku sering singgah ke
masjid ini namun tak pernah sekalipun kudapati gadis itu”.
“Ustadzah Lien? setiap ahad sore mengajar
disini” Aku mengangguk. ya, memang pada hari ahad aku tak pernah kemari.
Sesuatu telah menyeretku untuk banyak berkabar
tentangnya. Dia, Lien. Namanya Yasmine namun
entahlah, adiknya memanggil begitu. Ia anak sulung dari empat bersaudara yang
tak lagi mendapati kedua orang tuanya. Rumahnya tak jauh dari persimpangan
jalan tempat pertama kali kami bertemu. Ia gadis muda yang telah dituakan
ditempatnya tinggal, tempat rujukan ibu-ibu sekitar untuk bertanya seputar
hukum Islam. Sebab akhlaknya pula, ia
kerap dijadikan sebagai tolak ukur para orang tua terhadap putri-putrinya.
Tak banyak hal yang
Yasmine bisa lakukan untuk ketiga adiknya, ia hanya gadis yang lebih banyak
duduk di depan mesin jahit yang bertumpukan buku-buku tebal. Aku terdiam
terpaku, membisu diantara rasa gaduh. Antara kekaguman pada makhluk istimewa
bernama wanita dengan kenyataan siapa dia? siapa aku? Bagaimana dia? dan
bagaiman aku?.
Hari ini hari ahad,
sengaja aku tak pulang lebih awal sebab aku ingin shalat ashar kembali di masjid
itu. Menengok pantulan cermin bidadari langit yang tak bisa kusentuh. Lama aku
menunggu, sampai sosok itu keluar dari angkot biru dengan tergopoh-gopoh, hampir
saja gamis panjangnya membuatnya terjatuh. Lima menit berselang, lantunan merdu
itu kembali singgah dipendengaranku.
“ia hafal?”tanyaku pada marbot yang lagi–lagi
mengambil duduk di sebelah tempatku sholat.
”Tumben mas, hari ahad kesini…”godanya mecoba
lari dari tanyaku.
“Dia hafal ya?!”
“Iya, iya mas….santai. Hafal 30 juz, sempurna,
cantik, anggun pula, kurang apa?”
“kamunya….kurang
kerjaan” timpalku bercanda lalu meneruskan doa yang tertunda
“Amin ya Robb, qobul,
qobul….jodoh jodoh”
”Bisa berhenti
menggoda?!”. Ucapku pada marbot.
Empat minggu berlalu, Ahad menjadi hari yang
sangat kunanti, untuk sekedar duduk ditempatku shalat ashar berjama’ah sampai
menjelang maghrib tiba. Tendegar samar-samar untaian merdu dari pribadi yang
menambatkan hatinya di rumah Tuhan Yang Pengasih.
“Aku tak puya
keberanian lebih dari ini, yaa Rob!” Bisikku dalam hati. Meski sebagai manusia
biasa, aku tak bisa mencintai dengan putih, tanpa mengharap balasan, namun
sebagai manusia yang tahu diri aku juga tahu bagaimana denganku yang hanya
memenuhi kewajiban padaMu. Hanya sebatas mendirikan shalat Lima waktu, kesunnahan?
apalagi pengetahuan lebih dari itu. Aku benar-benar tak tahu, aku berbeda dengannya,
sangat berbeda.
“Mas, nunggu apa? wong
sampeyan yo ngganteng, mapan, dokter pula…”ujar marbot yang belakangan aku ketahui
bernama Jaka.
“Ini” kusentuh pelipis kiriku.
Aku tahu, gadis
sepintar dan secerdas itu menuntut pendamping yang lebih darinya “Mas, memang
ini penting,”Jaka menunjuk pelipisnya.
“Ini jauh lebih
penting” kemudian ia menunjuk dadaku ”hati, mas”.
###
Aku tak lagi kuasa
membendung perasaanku, terlebih gejolak kerinduhanku. Sudah tiga minggu aku tak
lagi menangkap sosoknya di masjid ini. Setiap kali ku ingat dia, setiap kali
itu juga aku ingat akan Yang Maha pencipta, Sang Pemilik syafaat, juga ingat
akan dosa yang menumpuk dipundak. Tak cukupkah hal itu menjadi tanda bahwasanya
ia gadis yang dicinta Tuhan dan Nabinya? sehingga sampai mengantarkan
pengagumnya untuk lebih dekat denganNya hanya dengan mengingatnya…
“Wes toh mas…ini alamatnya…” Jaka
menyodorkan secarik kertas padaku “Datangi Mas..”
“Aku tak punya
keberanian untuk itu”.
“Sama aku wes…”. Ucap Jaka.
“kamu mau?”
“Ya Allah mas, tenan
iki…” Aku mengangguk,”baiklah…”
Jl. Kenanga No. 22 kutarik napas dalam, ini
kali ketiga kuayunkan tangan untuk mengetok pintu, namun selalu kuurungkan
niatku. TOk tok tok…Jaka rupanya tak sabar melihat sikapku “Assalaamu’alaikum….?!!”
Pintu dibuka, dua gadis usia belasan tahun diikuti anak laki-laki berseragam
merah putih menyembul dari balik pintu
“Ya, cari siapa?”tanya
gadis tertua yang kutaksir masih usia awal SMA
“Ustadzah Yasmine.
Ada??” tanya Jaka
“oh, kak Lien”
serentak ketiganya menyahut
“Iya, Lien…?”ucapku.
Mungkin hanya aku yang dapat mendengar suaraku “Ada?”Tanya Jaka tak sabaran
“dokter Ahmad
ya….”aku tertegun, lebih tepatnya terkejut, ketiganya menunjuk ke arahku, dari
mana mereka tahu namaku. Aku menjongkok, menjajari anak lelaki yang tampaknya
begitu antusias melihatku
“Kok bisa tahu?” tanya ku pada anak yang dari seragamnya
kuketahui bernama Dihya.
“Telat!”sahut gadis berpipi tembem.
“maksudnya?” Dihya
menepis tanganku, lalu berlari kedalam. Sejurus kemudian ia keluar dengan
secarik kertas kusut untuk kemudian disodorkan padaku. Aku berdiri, mengambil
duduk dikursi kayu di teras rumah. Ku buka perlahan, menahan guritan penasaran
yang mulai mencengkram denyut nadi.
Aku bukan khodijah yang berani untuk menyuarakan
cinta. Aku juga bukan Fatimah yang memiliki ayah tempat mencurakan segala keluh
dan asa. Aku juga tak ingin menjadi Layla dan Lubna, yang bisa terpisah dari
kekasihnya, Qays. Aku hanyalah aku, yang sempat menatap berkas cahaya sayup mata
elok coklat itu dipersimpangan jalan. Awalnya ucapan kasarnya membuatku takut
dan menganggapnya jahat, tapi tidak untuk kini.
Aku hanyalah aku
yang kemudian tahu bahwa ia adalah satu dari segelintir penyelamat, berjas
putih yang sangat dekat dengan pasien tak beruang. Yang menjadi tempat singgah
dan tempat meminta bagi pengelana. Aku hanyalah aku, yang sempat melihatnya
melilitkan tangan diperutya, menahan sakit sebab lambung yang tak lagi sehat,
sementara ia terus menomorsatukan orang lain diatas hak dan kepentingannya.
Aku hanyalah aku,
yang terpana dengan bagaimana ia menjaga sholatnya, khusuk menangis pelan dalam
penghambaannya kepada Sang Kuasa. Aku hanya aku, yang merasa ia memilihku sebab
dihari yang tak biasanya ia datang, ia berada di sana sebelum aku datang,
sampai aku beranjak pulang. Aku hanyalah aku, yang terlalu percaya diri dengan
menganggap ia merasakan apa yang aku rasakan. Aku hanyalah aku, yang menanti
dan menunggu apa benar ia akan datang padaku.
Sekali lagi, aku bukan Khodijah, yang berani
menyatakan cinta pada Muhammad, wahai Ahmad Jika kau tahu akan itu. Aku
hanyalah aku, yang ketika datang laki-laki lain, sementara aku butuh tempat
untuk berlabuh, demi masa depan adik-adikku. Aku tak kuasa untuk mengeraskan
suara yang kuteriakkan hanya dalam hati. Tapi, apakah kau akan datang kemari?
apakah kau merasakan hal yang sama? Ataukah semua hanya kebetulan saja?. Kau
berada disana dan kegeeranku, merasa kau telah memilihku….
Sekali lagi, aku bukan
khadijah yang melamar Muhammad. Wahai Ahmad….. Aku hanyalah makhluk lemah
bernama wanita. Yang pernah mengharap bahwa aku adalah potongan sulbimu, namun
ternyata aku hanya menelan ludah keluh.
Empat pasang mata menatap sorot mataku, nanar undangan
perkawian dengan tanggal yang telah lewat tergeletak di atas meja. Aku menatap
langit, mendung kelabu, mencoba mengadu kehancuran kalbu kepadaNya, Yang
menciptakan segalanya. Cintaku tak bisa putih. Ada ruang yang terus mengangah
dengan sayatan luka di sini, dihati. Cintaku juga bukan merah yang berusaha merebutnya
dari tangan yang telah halal baginya. Cintaku abu-abu. Aku tak tahu apa
maknanya itu. Allah,… jangan siksa hatiku… Dan kau Yasmine, aku hanyalah aku, yang
awalnya menganggap kau takkan mau memilihku…..
Oleh : Nurul Laily Malang
COMMENTS