Terpuruknya parpol Islam dalam popularitas dan elektabilitas serta rendahnya kuantitas pemimpin Islam saat ini, membawa keprihatinan ...
Terpuruknya parpol Islam dalam popularitas
dan elektabilitas serta rendahnya kuantitas pemimpin Islam saat ini, membawa
keprihatinan tersendiri bagi kita. Sebagai tuan rumah dengan mayoritas penduduk
beragama Islam saja kita masih sering kalah dalam kancah perpolitikan,
khususnya dalam kursi kepemimpinan. Beragam evaluasi dan kajianpun digalakkan.
Namun, masih saja menyisahkan belbagai pertanyaan yang terus berkembang. Salah
satunya tentang kriteria pemimpin yang ideal dalam perspektif Islam yang
universal.
Berikut ini wawancara singkat staf redaksi
majalah Al-Bashiroh tentang “Pemimpin yang ideal dalam perspektif Islam“ bersama
KH. Marzuqi Mustamar selaku
Pengasuh PP. Sabilurrasyad Gasek Malang sekaligus Wakil Suriyah PWNU Jatim dan
staf Dosen UIN Malang.
·
Bagaimanakah kriteria pemimpin yang ideal dalam Perspektif Syariat
Islam?
Saya
tidak mengistilahkan perspektif syariat Islam atau bukan, tapi perspektif
secara keindonesiaan. Terserah bagaimana orang menilai, yang terpenting seorang
pemimpin harus memiliki dasar-dasar kepemimpinan.
Pertama,
seorang pemimpin harus memiliki jiwa nasionalis tulen, berwawasan luas,
mempunyai kesadaran dan keyakinan bahwa menjaga keutuhan dan keamanan sebuah negara
adalah suatu keharusan karena keamanan dan keutuhan bagi umat Islam Indonesia
merupakan kebutuhan mutlak agar mampu menunaikan ibadah dengan damai dan
tentram di manapun dan kapanpun dikehendaki.
Berangkat
dari hal tersebut, seorang pemimpin negara, baik presiden ataupun DPR tidak
boleh terindikasi transenasional dari kelompok atau partai asalnya. Tidak
diperkenankan sebuah partai politik mempunyai relasi dengan kekuatan global
yang disetir oleh kekuatan luar negeri dengan mengatasnamakan Amerika maupun Timur
Tengah.
Andai
kepemimpinan seorang pemimpin tidak disertai dengan kesadaran dan tanggung
jawab. Bagaimana bisa dia menjaga keutuhan negara ini mulai dari Sabang sampai
Merauke? sedangkan kriteria yang disandang tidak memenuhi persyaratan dan
kelayakan sebagai seorang pemimpin. Ujung-ujungnya, kepemimpinan hanya
dijadikan dalih menegakkan syariat islam, akan tetapi kenyataannya malah membuat
perpecahan di negeri ini. Sebagai contoh jika tanah Jawa dijadikan sebagai
negara Islam dan Papua sebagai negara Kristen atau lainnya. Hal tersebut akan
menghasilkan bad impact bagi kelangsungan dakwah masyarakat muslim Papua
di masa mendatang. Bahkan, dampaknya bisa jauh lebih buruk dari itu. Masjid dijadikan
sebagai kandang babi apabila Papua telah dilegalkan menjadi negara Kristen
lantaran Jawa dan sekitarnya ngotot supaya menjadi negara Islam. Nau’dzubillah.
Karena
adanya problematika tersebut, perspektif keindonesiaanlah yang harus
dikedepankan sebagai syarat penting untuk membentuk sosok pemimpin yang
tangguh. Tangguh dalam menjaga keutuhan negara dari segala bentuk perpecahan
yang akhirnya membawa keuntungan bagi umat Islam.
Kedua,
Pemimpin harus mempunyai wawasan dan pemikiran yang luas. Kalau yang pertama
mewakili kalimat ukhuwah wathaniah sedangkan yang kedua mewakili kalimat
ukhuwah basyariah. Tidak boleh menjadikan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
sebagai kedok untuk membuat kebijakan dalam bentuk Perda dan Undang-Undang
yang pada akhirnya akan melanggar norma–norma syariat dan nilai-nilai
kemanusiaan.
Kendatipun
orang-orang menyebut Indonesia bukan negara Islam, tapi mayoritas penduduknya
muslim. Kalau pemimpin itu muslim dan memimpin umat yang mayoritas muslim namun
membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Perda dan Undang-Undang,
hal tersebut bisa mencoreng citra Islam itu sendiri. “Itu lho, kalau negara
dipimpin oleh kader yang berbasis Islam, menegakkan HAM aja tidak becus”.
Mungkin opini seperti itulah yang akan menghinggapi telinga kita. Jika memang
demikian, bagaimana cara membuat regulasi secara tidak sembrono. Membuat
pemerataan ekonomi secara adil, padahal faktanya masyarakat masih banyak yang
terlantar?
Bagaimana
bisa menegakkan keadilan politik dan menjanjikan pendidikan yang istimewa, jika
semua itu hanya omong kosong atau sekadar bualan belaka. Kalau sudah seperti
ini, Islamlah yang akan jadi bahan cemohan. Jadi, akan timbul stetmen bahwa
hanya agama yahudi, kristen atau yang lainnya yang mampu mewujudkan keadilan,
bukan Islam. Hanya pemimpin merekalah yang bisa mengangkat nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan. Buktinya, negara dengan basis non Islam mampu
melayani masyarakatnya dengan baik. Beginilah, kalau hablum minallah tidak
memperhatikan hablum minannas, dampaknya akan merugikan hablum
minallah itu sendiri. Islam tanpa didasari dengan ukhwah basyariah akan berimbas buruk terhadap
kredibilitas Islam itu sendiri.
Oleh
karena itu, harus diawali dengan kesadaran untuk mempertahankan keutuhan negara
kemudian diimbangi dengan wawasan luas untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Ketiga, pemimpin itu harus
tangguh, kuat dan amanah atau biasa disebut dengan Qawiyyun Amiin. Apabila
pemimpin tidak mempunyai keberanian maka dia akan mudah goyah. Karena jika ada orang
yang pro kepada seseorang juga pasti ada orang yang kontra dengannya. Pemimpin
tersebut juga tidak boleh cengeng, dia harus accountable dengan segala yang
telah dia perbuat dan berani mengambil keputusan demi keutuhan negara dalam
mewujudkan keadilan tersebut.
Cara
menanggapi dan menangani semua itu, harus dihadapi dengan kepala dingin dan
tidak impruden (gegabah). Karena tidak mungkin semua hal menguntungkan tanpa
ada kerugian, kalau ada yang rugi pasti ada yang untung . Akan tetapi, apabila
semua hal tersebut disikapi dengan kepala dingin maka keuntungan lebih tertuju
kepada khalayak banyak.
Kalau
pemimpin itu was-was, mudah bimbang dan plin-plan dalam mengambil keputusan dan
kebijakan, maka orang demikian itu tidak boleh dijadikan sebagai pimpinan.
Di samping dia teguh secara fisik dan mental,
dia juga harus mempunyai sifat amanah. Selain itu, dia harus mengerti betul
tentang keindonesiaan bukan hanya mengerti teori kepemimpinan dan politik saja
tapi dia harus mengerti seperti situasi dibelbagai daerah. Misalnya saja di
Bali dan Jawa.
Kebijakan
UUD yang umum diterpakan di seluruh nusantara itu, harus dipegang betul oleh
orang yang mengerti kondisi di setiap daerah. Saya kurang begitu senang dengan
segala teori-teori politik hasil impor dari negera lain. Seperti Iran dengan misi
imamahnya dan Timur Tengah dengan konsep khilafahnya yang diusung oleh ikhwanul
muslimin PKS. Kerena teori pemerintahan seperti itu jika dijalankan oleh orang yang
mengerti tentang Al-Qur’an dan Sunnah tanpa memahami situasi dan kondisi negara,
sama halnya memakai pakaian yang tidak terlalu bagus namun dijahit oleh orang
yang benar-benar mengetahui ukuran dan bentuk badan sehingga sesuai dan cocok,
dari pada memakai produksi luar negeri yang harganya mahal dan bermerk tapi
tidak sesuai dengan kondisi badan.
Pemimpin harus mengerti tentang penderitaan
umat dan kondisi yang ada di setiap daerah. Sehingga semua permasalahan bisa diselesaikan
dengan lancar.
Sekuat-kuat orang Islam dia harus hanif.
Hanif itu flexible, lues dan toleran, hanifan muslima dan
hanif yang samhan.
Tidak
menjadikan Islam sebagai alasan untuk memukul rata antara kondisi
di Jawa dan Bali sehingga mengakibatkan semua berantakan.
Yang
tidak kalah penting dari itu, seorang pemimpin harus zuhud yaitu tidak punya
cacat uang (matre). Tidak terjerat kasus keuangan dan korupsi dalam artian dia
itu bersih. Andaikata dia pernah terjerumus dalam kasus keuangan maka sulit baginya
untuk meluruskan orang lain. Tidak bisa meluruskan polisi yang korupsi karena
polisi itu mengetahui kartu traf orang tersebut. “Anda jangan macam macam sama
saya nanti saya buka kasus anda.’’ Kata si polisi.
Dia
harus mempunyai moral yang luar biasa. Maksudnya baik akhlaknya dan ibadahnya.
Baik terhadap masyarakat, dermawan dan tawadhdhu’. Juga mempunyai jiwa
kebangsaan dan kepemimpinan yang mendalam. Biarpun tidak bisa seratus persen
paling tidak mendekati itu.
·
Bagaimana seharusnya sikap masyarakat muslim Indonesia dalam memilih
pemimpin demi kemajuan bangsa dan agama Islam?
Secara umum, saya kira lebih baik kaum
muslimin mengikuti arahan dari ulama. Karena ulama memiliki pandangan luas dan
lebih mengetahui tentang kriteria-kriteria pemimpin yang baik dan benar menurut
ajaran Islam. Juga harus selektif memilih, lebih baik dipimpin sosok yang biasa
agamanya namun nurut dan tunduk pada kyai dan ulama, daripada memilih pemimpin
religi namun sok tau dan merasa paling benar.
·
Bagaimana pandangan kyai tentang masyarakat muslim Indonesia yang
memilih golput dari pada menyalurkan hak suara mereka?
Ketika
non muslim menggunakan hak suara mereka dalam pemilihan sedangkan kaum muslimin
memilih golput. Sikap seperti itu, sama halnya dengan mendukung kemenangan di
pihak lain. Sadar atau tidak, dalam kondisi demikian HTI mengharamkan memilih
dan menganjurkan golput bagi umat Islam karena melihat kondisi para pemimpin
yang tidak lagi mengemban amanah atau tidak sesuai dengan pandangan mereka.
Ketika HTI mengharamkan umat Islam memilih, secara tidak langsung dia telah membuka
bebas harapan bagi umat non Islam untuk menggunakan hak pilih mereka. Itu
berarti HTI memperbanyak suara bagi pihak lain sehingga membuat Islam berada di
gerbang kehancuran.
·
Bagaimana pendapat kyai tentang para calon pemimpin yang terus
memaksa utuk tetap menjadi pemimpin?
Terkadang
sikap ngeyel untuk menjadi pemimpin itu wajib, asalkan tidak mengikuti hawa
nafsu atau karena adanya faktor lain. Seperti ketidakrelaan apabila pundak
pemerintahan negara jatuh ditangan orang yang dzalim atau non muslim sehingga akan
berdampak buruk kepada masa depan negara kita.
Sebagai gambarannya, ketika pemilihan
kepala desa berlangsung dengan dua kandidat atau calon. Calon A tidak shalat,
fasik lebih lagi non muslim. Dia memakai belbagai cara misalnya dengan
membagi-bagikan uang (money politic) dan lain sebagainya, sementara calon B adalah
seorang muslim qana’ah, dia menerima apa adanya. Secara tidak langsung
dia telah mempersilahkan calon A yang non muslim untuk menjadi pemimpin dengan
menyerahkan kemenangan di pihak lawan. Nah kondisi seperti itulah wajib bagi
calon B yang muslim untuk ngotot, kalau mereka memakai uang kita juga harus
memakai uang. Tapi uang tersebut hanya sebatas Daf’ul mudharat atau
Daf’ul mafasid bukan karena kepentingan pribadi. Namun lebih didasari
ketidakrelaan apabila desa tersebut dipimpin oleh pemimpin yang tidak jelas
asal usul agama, shalat dan akhlaknya. red
COMMENTS