Budaya sosial media yang mulai mem- booming Nusantara dan belahan bumi lainnya, menjadi bahan kajian unik untuk perbincangkan. Me...
Budaya
sosial media yang mulai mem-booming Nusantara dan belahan bumi lainnya,
menjadi bahan kajian unik untuk perbincangkan. Meski sudah lama namun budaya
ini tidak pernah mati bahkan selalu berkembang. Pro dan kontra dari berbagai
pihak kian mewarnai masalah ini. Menyikapi hal tersebut, sosok budayawan
kondang Gus Mus kami ajak untuk menyampaikan pandangannya mengenai sosial media
di majalah Al-Bashiroh.
Terlepas
dari huru-hara dan kecemasan sebagian masyarakat kita, Kyai Musthofa Bisri atau yang lebih akrab
dengan Gus Mus mempunyai pola pemikiran tersendiri. Beliau menganggap sosial
media sebagai sebuah keharusan dan hal tersebut sudah menjadi hal yang lumrah
dikalangan masyarakat kita.
Sosial
media sejatinya hal yang netral. Tergantung siapa yang menggunakan, layaknya
seorang penjual pisau atau gantungan kunci. Sosial media dapat digunakan untuk
menyebarkan ilmu atau untuk men-sharing berbagai berita yang sudah ada. Tapi
sebaliknya, sosial media juga bisa menyebarkan hal-hal yang negatif.
Para
pengguna harus pandai menyebarkan kebaikan agar tidak kalah bersaing dengan
orang-orang yang berusaha menyebarkan keburukan di sosial media. Sebab, jika
hal-hal buruk itu telah masuk ke rumah-rumah, maka akan mempengaruhi anak-anak
jika orang tuanya gaptek, dalam artian kurang mengerti dalam penggunaan dan
pengontrolan sosial media. Itulah salah satu pertimbangan Gus Mus menggunakan facebook
dan juga twitter.
Usaha yang harus dilakukan adalah
memperbanyak orang-orang yang menyiarkan kebaikan. Jika tidak, pasti akan
kalah. Sebab, sosial media itu ibarat pasar, segala macam kebutuhan ada di
sana. Untuk itulah, dibutuhkan kepandaian untuk menjual agar barang dagangan
laku keras.
Masyarakat merupakan konsumen sosial media,
maka dibutuhkan sebuah instansi khusus untuk menangani hal tersebut. Sebagaimana
dakwah, harus ada dari kita yang mengisi dakwah tersebut dengan sosial media.
Gus
Mus juga menuturkan bahwa sosial media bisa digunakan oleh siapa saja yang
menginginkannya. Jadi, jika ada seseorang yang melakukan narsis ataupun
khutbah, mengajak kepada kebaikan atau keburukan maka dia punya kebebasan
melakukan hal itu. Dan sekali lagi, sosial media itu bebas dan bisa dikonsumsi
siapa saja.
Gus
Mus menegaskan untuk tidak sekedar khawatir mengenai keburukan sosialmedia
kemudian berpangku tangan, tetapi juga perlu adanya tindakan untuk memerangi
keburukan di sosialmedia tersebut dengan berbagai cara, salah satunya dengan
menyebarkan kebaikan melalui sosialmedia.
“Tergantung Ummat Islam itu sendiri, Apakah
mau diisi atau menjadi pengisi sosial media tersebut?”. Begitu penegasan Gus
Mus ketika ditanya mengenai penempatan posisi Umat Islam dalam sosialmedia. Umat
Islam harus memposisikan diri sebagai pengisi dari wadah tersebut, maka wajib
bagi umat islam untuk memiliki “isi” dari wadah tersebut. Tapi jika hanya ingin
dijadikan sebagai wadah saja, maka umat islam akan kalah dengan musuh-musuhnya
di sosialmedia. Maka dari itu, umat Islam harus siap bersaing dalam sosial
media.
Demikianlah
penuturan singkat Gus Mus mengenai budaya sosialmedia ketika diwawancarai redaksi
majalah Al-Bashiroh Rabu malam
(26/2).
Yang perlu digarisbawahi dari apa yang telah beliau sampaikan adalah bahwasanya
era globalisasi merupakan era kompetitif, segala bentuk modernisasi harus mampu
disikapi secara arif dan bijak (khususnya sosial media). Bukan mencemaskan
dampak negatif yang terjadi dengan berpangku tangan namun perlu aksi nyata dan
terjun di dalamnya untuk membawanya sebagai media dakwah. Wallahu a’alam.
Arfi
dan Rijal.
COMMENTS