Al-Insan al-Kamil Muhammad r , adalah sosok panutan dalam segala hal. Tidak hanya dalam peribadatan, akan tetapi seorang muslim dip...
Al-Insan al-Kamil Muhammad r, adalah
sosok panutan dalam segala hal. Tidak hanya dalam peribadatan, akan tetapi seorang
muslim diperintahkan untuk menempuh jejak nabinya mulai dari tata negara sampai
sikap dalam berumah tangga. Oleh karena itu, sebagai muslim sudah semestinya
kita memahami sikap beliau dalam berbagai keadaan agar kita dapat melangkah di jalur
beliau r.
Al-Mushthofa r adalah suami terbaik
dalam sejarah. Beliau selalu memperlakukan istri-istrinya dengan sangat baik. Banyak
tokoh besar yang mempunyai loyalitas tinggi dalam memainkan banyak peranan,
namun mereka tidak mampu menjadi suami yang baik bahkan tidak sedikit istri
yang mengalami tekanan batin luarbiasa karena suaminya.
Sayyiduna Muhammad r sangat berbeda,
meski sangat berwibawa, beliau selalu memperlakukan istri-istrinya
dengan penuh kelembutan dan romantisme. Hal itu tercermin melalui perkataan
Sayyidatuna Aisyah ra yang diriwayatkan oleh Ibn Sa’d t, ketika Ummu al-Mu’minin ditanya tentang sikap Rasul r dalam kelurga, beliau berkata:
“Rasul r adalah orang yang paling lembut, selalu tersenyum, penuh tawa“.
Dalam
konteks ini, al-Imam at-Turmuzi dalam sunannya meriwayatkan bahwa Rasul r bersabda:
“sesungguhnya termasuk orang mukmin yang paling sempurna imannya, mereka
yang paling baik akhlaknya dan paling lembut terhadap istrinya“. Hadits ini menunjukan bahwa romantisme dan
perlakuan yang baik dari suami terhadap istri merupakan tanda kesempurnaan iman
seseorang.
Mecium istri saat berpuasa
Salah satu bentuk romantisme yang dianjurkan
syariat adalah mencium istri. Tentu, dalam keadaan tidak berpuasa mencium istri
merupakan hal yang dianjurkan. Namun, bagaimana hukum mencium istri bagi orang
yang berperpuasa? al-Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan, bahwa Sayyidatuna Aisyah ra berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقبلني وهو صائم و أيكم يملك إربه كما
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يملك إربه
“Rasul r menciumku dan beliau dalam keadaan berpuasa dan siapa dari kalian yang
mampu mengontrol dirinya sebagaimana Rasul r mengendalikan dirinya”.
Al-Hafidz Abu Zar’ah al-Iroqi al-Ibn dalam
kitabnya Thorhu at-Tastriib menyebutkan bahwa hadits ini merupakan dalil
diperbolehkannya al-Qublah (mencium) bagi orang yang berpuasa dan hal tersebut
bukan hal yang dimakruhkan. Jika diteliti dengan seksama, ada perdebatan yang
cukup sengit antar ulama dalam masalah ini, sehingga lahirlah beberapa pendapat
sebagai berikut:
Pendapat pertama,
bahwa mencium istri saat berpuasa hukumnya boleh dan tidak makruh dengan dalil hadits
Sayyidatuna ‘Aisyah ra dalam Shahih Muslim. Ibn al-Munzir meriwayatkan pendapat tersebut dari sejumlah pembesar
sahabat, seperti: Sy. Umar bin Khaththab t, Sy. Abu Hurairah t, Sy. Ibn
Abbas dan Sayyidatuna ‘Aisyah Ra. Ibn Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Sy. Ali
bin Abi Thalib t, Sy. Abi
Sa’iid al-Khudri t dan Sy.
Sa’id bin Jubair t. Hal ini
juga merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal t, Ishaq t dan Hasan
al-Bashri t sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Hafidz Abu Zar’ah al-‘Iroqi.
Meski bertentangan dengan pendapat terkuat
dalam mazhab Malik, Pendapat ini justru diunggulkan oleh Al-Imam Ibn Abdilbarr
al-Maliki, di samping hadits yang telah kita sebutkan, beliau menguatkan
pendapat ini dengan hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwattho’ dari ‘Atha’ bin yasar t:
bahwa seorang pria
mencium istrinya saat berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian lelaki itu
mendapatkan kejanggalan yang luar biasa dalam jiwanya atas apa yang ia lakukan.
Iapun mengirim istrinya kepada kepada Ummu Salamah Ra untuk mengkonsultasikan
hal itu. Ummu salamah Ra memberitahunya bahwa Rasul r mencium dan
beliau dalam keadaan berpuasa. Sesampainya di rumah,
wanita itu mengabarkan suaminya tentang hal tersebut, namun hal itu justru
membuat kejanggalannya makin menjadi-jadi, ia berkata “kita tidak seperti
Rasul r! Allah
menghalalkan untuk Rasul-Nya apapun yang beliau inginkan”. Kemudian wanita itu
kembali lagi pada Ummu Salamah Ra, dan pada saat itu Rasul r ada di sisinya. Beliau r bertanya kepada Ummu salamah ra “ada apa dengan wanita
ini?“. Ummu Salamah ra menceritakan kepada
beliau apa yang terjadi, lantas Rasul r berkata: “ tidakkah kau memberitahu padanya bahwa aku melakukan hal itu?”. Ummu Salamah Ra menjawab: “aku telah memberitahunya
Wahai Rasul” namun wanita itu kembali lagi kepada suaminya dan mengabarkan hal
tersebut. Lagi-lagi hal itu memperburuk keadaanya, ia kembali berkata “kita
tidak seperti Rasul r!, Allah
menghalalkan bagi Rasul-Nya apapun yang ia inginkan“. Mendengar hal itu, Rasul r marah seraya bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling bertakwa kepada Allah di antara kalian dan paling mengetahui aturan-aturan-Nya“.
Mengomentari hadits ini, al-Imam Ibn
Abdilbarr berkata “Rasul r tidak
menanyakan kepada wanita itu, suamimu masih muda atau sudah tua? jikalau
syari’at membedakan antara keduanya dalam masalah ini. Tentu Rasul r tidak akan diam akan hal itu, karena beliaulah yang menjelaskan hukum Allah
kepada umat”.
Pendapat kedua, bahwa
hal tersebut dimakruhkan secara mutlak. dalam artian, hukum makruh dipukul rata
untuk semua golongan, baik pemuda atau pria lanjut usia, (mereka yang khawatir
mencium dapat membangkitkan syahwatnya) atau pria yang merasa aman dari hal
tersebut. Pendapat ini merupakan pendapat terkuat (mu’tamad) dalam mazhab Imam Malik, sebagaimana dikutip al-‘Allamah
Khalil dalam mukhtasharnya.
Ibn Abi Syaibah dalam mushannafnya juga meriwayatkan pendapat ini dari Sy. Abdullah bin Umar t, Syureih al-Qadhi, Muhammad bin al-Hanafiyyah dan lainnya. Bahkan al-Imam Malik dalam
al-Muwattha’ meriwayatkan bahwa ‘Urwah bin Zubeir t dalam konteks ini berkata: “aku tidak melihat sisi baik pada mencium
(istri saat puasa)“. Menurut mereka, bolehnya mencium istri saat berpuasa
merupakan perkara yang dikhususkan untuk Rasul r, hal ini dilandasi perkataan Sayyidatuna ‘Aisyah ra dalam hadits di
atas: “siapa dari kalian yang mampu mengontrol dirinya sebagaimana Rasul r mengendalikan dirinya?“ dan pada realitanya tak ada satupun
orang yang menyamai Rasul r dalam menjaga
dirinya dari gejolak nafsu.
Realita ini sudah sepatutnya menjadikan alasan diperbolehkannya
mencium istri bagi orang yang berpuasa merupakan perkara yang dikhususkan untuk
Rasul r. Namun gagasan di atas terbantahkan dengan hadits yang diriwayatkan
Imam Muslim dalam shahihnya. Dari Umar bin Abi Salamah t:
bahwasanya beliau
bertanya kepada Rasul r tentang hukum mencium
istri bagi orang yang berpuasa, Rasul r menjawab: “Tanyakan hal ini kepada Ummu salamah!“. Ummu Salamah Ra
memberitahunya bahwa Rasul r melakukan
hal tersebut. Sahabat kembali bertanya kepada Rasul r: “Wahai Rasulullah r, sungguh Allah I telah
mengampuni seluruh dosamu, baik yang lampau maupun yang akan datang”. Rasul r berkata kepadanya: “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling bertakwa kepada Allah I di antara kalian dan paling takut kepada-Nya”.
Mengomentari
hadits ini, al-Hafidz Abu Zar’ah al-Iraqi menegaskan bahwa hadits riwayat
Muslim di atas merupakan dalil yang kuat bahwasanya diperbolehkannya mencium
istri saat berpuasa bukan perkara yang dikhususkan untuk Rasul r.
Pendapat ketiga, pendapat ini membedakan antara pria muda dan
lanjut usia. jika suami masuk kategori
pemuda, maka hal tersebut dimakruhkan. Beda halnya jika sang
suami sudah tua, maka diperbolehkan. Ibn al-Munzir meriwayatkan pendapat
tersebut dari sekelompok ulama, termasuk Sy. Ibn Abbas t. Al-Khathhabi meriwayatkan pendapat ini dari al-Imam Malik,
akan tetapi pedapat terkuat dalam mazhab beliau adalah pendapat kedua yang
telah penulis sebutkan.
Pendapat keempat, mencium istri saat puasa dimakruhkan bagi orang yang melunjak syahwatnya
akibat mencium istri. Adapun pria yang tidak bangkit syahwatnya akibat mencium istri maka diperbolehkan,
hanya saja, meniggalkan hal tersebut lebih baik. Gagasan hukum ini merupakan
pendapat terkuat dalam madzhab Hanafi dan Syafi’i, namun al-Hafidz al-‘Iroqi
memandang bahwa tingkatan makruh dalam masalah ini bagi mazhab hanafi hanya
sebatas karahah tanzih, sedangkan al-Imam an-Nawawi dalam minhaaj
at-Thaalibiin menegaskan bahwa makruh dalam hal ini telah mencapai
tingkatan karahah Tahrim menurut versi terkuat dalam madzhab Syafi’i.
Al-Hafidz Zainuddin Abdurahim al-‘Iraqi
al-Abb dalam syarah al-Jaami’ as-Shahiih li at-Turmudzi berpandangan
bahwa pada hakikatnya tidak ada perbedaan secara substansi antara dua pendapat
terakhir, namun perbedaan yang ada hanya bersifat tekstual. Dalam syarh
Shohih Muslim, redaksi al-Imam an-Nawawi juga mengindikasikan hal yang sama
dengan al-‘Iroqi. Karena, Pada umunya pria muda memiliki gairah seksual yang
tinggi dan namun cenderung menurun drastis pada
masa tua. Pertimbanganlah ini yang melatarbelakangi penetapan usia
sebagai tolak ukur dalam pendapat ketiga.
Bertolak dari sudut pandang ini, apabila
pada kancah realita ada beberapa kasus yang tidak lumrah -dalam artian- ada pria
lansia yang syahwatnya kuat atau pemuda yang lemah syahwat, maka secara
otomatis hukum akan berbalik seiring keadaan yang ada.
Dua pendapat terakhir bisa dikatakan sebagai
pandangan yang menengahi dua pendapat sebelumnya. Alasan Syafi’yyah, hanafiyyah dkk
dalam masalah ini sangat logis dan bijak.
Berbeda dengan dua pandangan sebelumnya, mereka menempuh jalur tengah
dalam menyikapi riwayat Sayyidatuna Aisyah ra. Mazhab ini memandang bahwa Rasul
r dapat mengendalikan dirinya dengan baik, sehingga ketakwaan beliau r menempatkan beliau dalam posisi aman dari gejolak syahwat. Hal ini
berarti, siapapun yang dapat mengendalikan dirinya dengan baik sehingga aman
dari gejolak syahwat yang mengundang persetubuhan atau orgasme maka ia diberi
hukum yang sama dengan Rasul r dalam
masalah ini, begitupula sebaliknya.
al-Hafidz
Abu Zar’ah al-‘Iraqi dalam tarh at-Tastrib memilih pendapat terakhir
sebagai arjah al-aqwal (pendapat paling unggul), disamping karena tajamnya
penafsrian mereka terhadap hadits Sayyidatuna ‘Aisyah Ra dll,
pengklasifikasian hukum dalam dua pendapat terakhir juga dikuatkan dengan
hadits yang diriwayatkan al-Imam Ahmad dalam musnadnya dan at-Thabrani
dalam karya beliau al-Mu’jam al-Kabiir, dari Abdullah bin ‘Amr:
bahwasanya beliau berkata “ dahulu saat kami bersama Rasul r, datang seorang pemuda bertanya kepada Rasul r “ wahai Rasulullah, apakah aku boleh mencium dalam keadaan berpuasa?“.
Rasul r menjawab: “ Tidak “, kemudian datang seorang lelaki tua bertanya
kepada Rasul r : “Wahai
Rasulullah, apakah aku boleh mencium dalam keadaaan berpuasa?“. Rasul r menjawab: “ ya ”. (mendengar dua jawaban berbeda dari pertanyaan yang
sama) maka kami saling melihat satu sama lain, kemudian Rasul r bersabda: “Aku mengerti mengapa kalian saling melihat satu sama lain, sesungguhnya
pria tua dapat mengendalikan dirinya!“.
Setidaknya
riwayat ini dapat menguatkan pandangan Syafi’iyyah, Hanafiyyah
dkk dalam menafisiri hadits Sayyidatuna ‘Aisyah ra dengan
mengklasifikasi hukum sesuai kondisi, meskipun Al-Hafidz al-‘Iroqi mengatakan
bahwa dalam rangkaian sanadnya ada Ibn luhai’ah yang masih kontroversial dalam
status ketsiqahannya.
Sebelum menutup tulisan ini, ada dua hal
penting yang harus digaris bawahi. Yang pertama, al-Imam Ibn Abdilbarr
mengungkapkan bahwa sejauh jangkauan beliau, tidak ada satupun ulama yang
memperbolehkan mencium istri bagi orang yang berpuasa, kecuali dengan syarat terhindar
dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Beliau memberikan contoh,
jika ada suami mencium istrinya kemudian
keluar madzi (cairan putih - bukan mani-
yang keluar saat syahwat) maka puasanya tidak batal menurut mazhab as-Syafi’I,
Abi Hanifah, At-Tsauri dan Al-Auza’i. Akan tetapi, menurut mazhab Malik
puasanya batal dan ia wajib qadha’. Al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali
menyebutkan bahwa mazhab Hanbali sama dengan mazhab Malik dalam masalah
ini.
Kedua, mungkin
sebagian bertanya-tanya, sejauh mana batasan berciuman yang dimaksud dalam
masalah di atas? apakah hanya sekedar mencium pipi? kening atau mencakup bibir?
dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzzab, Al-Imam an-Nawawi menjelaskan
bahwa yang dimaksud mencium di sini mencakup mencium pipi, bibir dan lainnya. Wallahu
a’lam.
COMMENTS