By : Nurul Laily Aku pandangi langit yang kemerahan, rupa-rupanya matahari masih tersipu malu tuk keluar dari peraduan, ind...
Aku pandangi langit yang kemerahan,
rupa-rupanya matahari masih tersipu malu tuk keluar dari peraduan, indah. Pagi
yang jelita.
Perlahan
kubuka daun jendela hingga seberkas cahaya dapat masuk dengan leluasa. Lima
langkah ke belakang dari tempatku berdiri, belahan jiwaku tengah terlelap, namun
silau cahaya yang masuk sama sekali tidak mengusik nyenyaknya.
Kucium
keningnya lembut, perlahan kemudian ku bisikkan beberapa kalimat pada
telinganya yang entah ia dapat mendengarnya atau tidak.
“Hari ini ulang tahun pernikahan kita yang
ke 40, Abuya…”.
Butiran
bening jatuh dari ujung matanya yang terpejam, lembut mengalir melewati pipi
dan rahangnya yang kuat untuk kemudian mendarat di atas bantal bersarung putih
kebiruan. Ia mendengar suaraku rupanya.
Abuya…cepatlah bangun….
***
Masih
jelas dalam chip memoriku gambaran juga kenangan 23 Januari empat puluh tahun
silam, saat dimana cincin emas bertahtakan berlian merah jambu ia sematkan di
jari manisku setelah kalimat sakral ia ucap dengan gagahnya dihadapan Penghulu,
Saksi juga tentu Ayahku. Hari itu, mahar istimewa hafalan Surat an-Nurnya terdengar syahdu dan menggema.
Hari-hari
kemudian berubah menjadi harmoni nada yang indah. Laki-lakiku yang sebelumnya sama
sekali tak kukenal itu telah sempurna menjadi imamku, sempurna menjadi petunjuk
arah langkahku, sempurna menjadi punggung tempatku bersandar dan sempurna
menjadi tambatan kalbuku.
Dua
bulan berselang, kesehatanku mulai terganggu, wajah pucat pasi, lemah dan mual hebat membuatku hanya
bisa terbaring lelap. Namun, itu adalah hari terindah bagiku karena telah sempurna
sudah kodratku menjadi wanita.
“Terimakasih karena aku akan jadi seorang
Ayah….” bisik suamiku ketika sang Dokter keluar dari ruangan selepas
memeriksaku. Aku tersenyum penuh syukur, sementara ia telah terlebih dahulu sujud
syukur begitu kabar itu ia dengar. Allahu Akbar…Alhamdulillah Yaa Rabb….
***
Bulan
demi bulan berlalu seiring gugurnya rerantingan kaku, kandungan yang makin hari
semakin berat kini telah berhasil membuatku terkapar, lemah di atas ranjang
berseprai putih di ruangan yang juga putih. Suamiku erat menggenggam tanganku
dan terus membisikkanku kalimat-kalimat penguat sampai akhirnya suara tangisan
seorang bayi laki-laki memecah ketegangan dan bergantian dengan gemuruh takbir,
tahmid serta shalawat pada Sang Thaha, Nabi Muhammad r.
Ali
kecil melengkapi keluarga baruku, membuatku sempurna menjadi seorang wanita.
Pahlawan kecilku itu tumbuh dengan begitu cerdasnya.
Ali
kecilku kebanggaan keluarga, tingkah lakunya tak jarang membuat air mata
keharuan menetes dari ujung mata kami berdua.
“Ummah, kalo Abuya belum pulang, Ali jadi imam
ya…”.
Selorohnya ketika adzan maghrib berkumandang. Kalimat ringan yang membuat
terbang hati seorang Ibu.
Usia
lima tahun Ali sudah menjadi seorang kakak, bayi cantik bernama Fatimah Azzahra
menjadi teman barunya meski sempat ia protes karena ‘kenapa bukan laki-laki’.
Si Batul yang berambut keriting dan pipi yang tembem itu tumbuh dengan sehat
dan begitu ceria. Suka menghabiskan waktu dengan buku-buku cerita bergambar dan
mainan masak-masakkannya.
Tahun
demi tahun berganti, lahir si tampan Ja’far. Ia, at-Thayyar tumbuh
dengan gagahnya. Lebih banyak diam dan menghabiskan waktunya dengan peralatan
elektronik sang Buya.
Lalu
saat Ja’far genap berusia empat tahun, kembali aku dianugerahi seorang putra,
Abdullah namanya. Menyusul empat tahun kemudian si bungsu Amirah. Lengkap sudah
tiga putra dan dua putri kami tumbuh dengan sehatnya, dengan kelebihan
masing-masing yang tak jarang membuat kami tersedu bangga. Meski tak jarang
kebingungan sebab biaya membuat malam-malam kami tak bisa tenang.
Biaya
saat mereka sakit
Biaya
obat
Biaya
perawatan
Juga
tentu pendidikan
“Bagaimanapun keadaannya, mereka amanat. Kita
harus perkenalkan mereka tentang siapa Allah dan Rasul-Nya”. Begitu ucap
suamiku saat kami benar-benar tak ada rupiah untuk si bungsu masuk Ma’had.
Allah…tapi
semua itu telah berlalu. Dalam benakku, serasa baru kemarin kuusap tangis
mereka saat terjatuh, kuraih dan ku peluk saat mati lampu, namun sekarang satu
persatu buah hatiku telah melangkahkan kaki keluar rumah, membangun rumah
tangga baru dengan pasangan hidup mereka.
Anak-anakku
Pelipur
laraku, Ali, Fatimah, Ja’far, Abdullah dan Amirah…
***
Ku
usap peluh suamiku yang belum juga terjaga, sesekali ku benahi letak kacamataku
agar dapat dengan jelas melihat layar telepon genggamku, takut-takut ada sms
masuk atau jangan-jangan ada panggilan yang tak terdengar.
Tapi,
NIHIL, kecemasanku tak terjadi rupanya. Kemana anak-anakku…..?
Jam
lima sore, senja mulai menjelang. Matahari mulai merayap lambat ke peraduan
sementara siluet merah indah tergambar. Jemari tangan kanan suamiku bergerak
menyentuh pipiku ketika aku tertidur duduk di samping ranjangnya. Aku terkejut,
“Allahu Akbar” pekikku tertahan.
Syukur yang tak dapat ku lukiskan membuat aku gugup dan bingung, berkali-kali
kucium kening dan punggung tangannya.
Saat
sang dokter dan perawat datang, tergopoh aku raih tongkat dan telepon genggamku
keluar ruangan.
Anak-anak…
Anak-anak harus tahu kabar bahagia…
Ayah mereka sudah sadar…
Ku
telepon kontak bertuliskan ‘walady Ali’, 1 detik, 5, 10, 15…tak ada jawaban
sama sekali.
Tak apa, mungkin ia sedang menghadiri suatu
undangan.
Ku
telepon kontak bertuliskan ‘binty Fatimah’, Sama tak ada jawabnya, sampai
beberapa detik kemudian datang sms, “Ummah,
Fatimah masih di perjalanan”.
Kutelepon
kontak yang bertuliskan ‘walady Ja’far’, kini, sama. Tak ada jawaban. Sampai
akhirnya mulai terdengar suaranya yang kabur, sepertinya sedang ada dalam
sebuah keramaian.
“Ummah, nanti Ja’far
telepon, ini sedang di zuwad-an teman”.
Tak
apa, Abdullah pasti ada.
1, 2, 6, 10 lagi-lagi tak ada jawaban, “Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar
jangkauan”. Hanya itu yang terdengar.
Amirah,
ini harapan terakhir, namun sebelum kuhubungi, smspun masuk. Tepat dari Amirah.
‘Ummah, doakan ya…si kecil sedang ikut
lomba adzan, lucu deh. Bentar lagi ku kirim videonya. Besok ia ultah, Ummah
datang ke rumah ya…?’.
Aku
hanya bisa menelan ludah dan mengelus dada, sakit dihantam kenyataan. Seorang suster
mengambil tongkatku yang jatuh.
“Nek…, suaminya sudah bisa ditemui,
anak-anak dan cucunya boleh diajak masuk”.
Aku
tersenyum, kemudian perlahan aku berjalan memasuki ruangan. Kutelan ludah
berkali-kali, berusaha sembunyikan gugup, kuangkat wajah, ku tatap
langit-langit, berharap tak ada butiran bening jatuh.
“Mana anak-anak?”. Tanya suamiku lirih,
kuusap keningnya sayang.
“Ada, di depan, sejak 3 hari mereka di sini,
terus berdoa meminta kesembuhan untuk Buya-nya”.
Ia
tersenyum.
“Makanya cepat pulih, kalau sudah pindah
ruangan, baru mereka boleh menjenguk”.
“Semuanya disini?”. Sahutnya.
“Ya, semuanya. Mereka tak akan rela
berjauhan dengan Buya dan Kakeknya”
“Suara gaduh di luar itu…?”.
“Ya, itu mereka”. Lekas jawabku.
Aku tersenyum dalam jerit pahit kurasakan.
“Maafkan aku
Buya…,
Senja ini, tak
ingin aku membuatmu merasa masa senja kita kelabu…”.
COMMENTS