Oleh: Afin Author Arifin Editor: Aryanna Salma Langit tak selamanya cerah saat kaularut dalam tawa, juga tak selamanya ...
Oleh: Afin Author
Arifin
Editor: Aryanna Salma
Langit tak selamanya
cerah saat kaularut dalam tawa, juga tak selamanya mendung saat kauhanyut dalam
nestapa. Adakalanya duka menyapa untuk mengingatkan di antara kita yang lupa.
Mungkin sesekali tawa singgah ketika luka mulai mereda.
Begitu pun Kesha,
seorang gadis yang mengidap leukimia. Meski hidup hanya ditopang selang infus,
keseharian ditemani semerbak obat-obatan, serta jauh dari orang-orang yang dicinta.
Ia berusaha bangkit, meskipun baginya hidup ini tak ubahnya labirin yang
berujung rumit. Mencoba tersenyum di antara detik mundur kehidupan yang
dihadang kematian. Mau tidak mau, suka tidak suka, mati adalah suatu
keniscayaan. Itu yang sering ia dengar
“Kemoterapi hanya bisa
menopang hidupnya, bukan berarti bisa menyembuhkan leukimianya yang sudah
stadium akhir.”
“Saya akan bayar
berapa pun, tolong berusahalah untuk menyembuhkannya, Dok!” Suara percakapan
dokter dengan sang nenek seakan menyeruak dari lubang ventilasi. Seolah memberi
tahu tentang keadaan gadis itu saat ini. Mungkin tinta kehidupan akan segera
berakhir dan buku takdir akan segera ditutup.
Di kursi roda, Kesha
hanya bisa memandang biola coklatnya. Sebuah hadiah dari sahabat karib yang
telah tiada. Senasib sebagai penderita leukimia yang berakhir dengan kematian.
Dulu saat penyakit mematikan ini belum merebut semuanya, ia selalu aktif
sebagai salah satu pemain biola yang mempunyai bakat cemerlang. Mampu
membawakan Bethoven dengan begitu apik. Menggesek senarnya sehingga
menghasilkan suara halus yang mengesankan.
Daun pintu berderit. Nenek
melangkah dari ruangan konsultasi, wajahnya sayu, penuh guratan kesedihan.
“Enggak apa-apa kok, Nek,” lirih Kesha, seraya memandangnya dengan tatapan
sendu. Berusaha tersenyum meskipun terlihat dipaksakan.
Perempuan tua itu tak
bisa menyembunyikan perasaannya, diikuti isakan pilu, tangisnya pun pecah. Dia
memeluk Kesha dengan linangan air mata yang perlahan membasahi kerudung coklatnya.
Kesha hanya membisu, tangannya mencoba menggesek biola perlahan. Sebuh
instrument “obat hati” terdengar mendayu.
“Ayo, Nek.” Perempuan
tua itu kemudian mendorong kursi roda Kesha perlahan, menyusuri koridor rumah
sakit dengan selaksa asa dan harapan.
***
Aroma tanah basah
tercium kala tetes hujan menyentuh hamparan savana. Sesekali kilat menampakkan
dirinya di antara balutan awan hitam yang enggan menjauh dari petala langit.
Kesha menatapnya tanpa daya. Terduduk lemas di atas kursi roda. Membiarkan
rinai hujan membasahi tubuhnya.
“Hujan pertama penuh
barokah,” ujarnya, lirih.
Ah, hujan kembali
membuka kenangan itu. Tentang sosok yang begitu peduli padanya. Seorang pria
tegar di tengah badai kehidupan, yang selalu bisa tersenyum saat nestapa
melanda dan menjadikan tempat sujud sebagai muara batinnya. Susah, senang, tawa
ataupun tangis tak kekal sepanjang usia.
Namun sayang, sebuah
cobaan menggoyahkan biduk rumah tangga. Leukimia yang diderita Kesha menjadi
penyebab hancurnya keluarga. Entah kenapa, ego seorang ibu mengalahkan
semuanya. Usaha kecil-kecilan yang dirintis sang ayah tak mampu membiayai
pengobatan Kesha. Hal inilah yang membuat pria itu dipandang sebelah mata,
dianggap tak becus menghidupi keluarga.
Entah apa yang
mengubah sikap ibunya, hingga tega berbuat demikian. Demi Kesha, ia bekerja siang-malam
di sebuah kantor majalah wanita. Setiap waktunya hanya dihabiskan di depan
laptop dengan mengedit berbagai macam artikel.
Pagi itu senyap tanpa
kata. Ayah lebih senang menyendiri dengan Alquran kecil, dan Ibu sibuk bersiap-siap
berangkat ke kantor, lembur hingga larut malam. Beberapa hari yang lalu Ibu
melayangkan surat gugatan cerai pada Ayah. Ayah menanggapinya dingin, berusaha
mempertahankan keluarga ini demi Kesha. Sudah beberapa kali Kesha mencoba
bicara dari hati ke hati, mencoba memberikan pengertian, namun selalu saja
ditampik dengan halus.
“Yakinlah, Ibu pasti
bisa membiayai pengobatanmu meski tanpa bantuan ayahmu.” ucap perempuan itu seraya
mengecup kening Kesha.
Kursi roda perlahan
berderit saat Ibu mendorong Kesha ke meja makan. Terhidang omelet, secangkir
teh manis dan obat-obatan sebagai menu sarapan pagi yang harus ia lahap setiap
hari.
Suasana kembali hening
saat pintu ditutup dari luar. Sayup-sayup terdengar lantunan merdu. Perlahan
Kesha menghampiri asal suara itu. Sang ayah menghentikan bacaan Alqurannya, sesaat
ia memandang wajah Kesha yang terlihat tirus, lalu tersenyum.
Pagi itu Kesha cukup
terhibur, sarapan dibumbui obrolan ringan. Di tengah suapan terakhirnya,
suasana menjadi hening. Hanya terdengar helaan berat napas Ayahnya yang berwajah
sedih.
“Maafkan Ayah, Nak ... mungkin jalan yang
dipilih ibumu adalah yang terbaik. Ayah sudah mengambil keputusan, dan berharap
Kesha bisa menerimanya. Ayah memang pecundang yang gagal membahagiakan
keluarga,” ucapnya getir, sarat kekecewaan.
“Tapi Kesha tidak
berharap apa pun, Yah! Kalau memang Kesha ditakdirkan mati karena penyakit ini,
Kesha ikhlas! Kesha gak mau keluarga kita hancur hanya karena mengharap
kesembuhan,” Tangis Kesha kembali pecah, dipeluknya pria itu dengan linangan
air mata. Hanya tangisan yang bisa ia jadikan puncak dari emosinya. Tak ada
bedanya rasa sakit dan penyakit.
***
Angin membelai lembut,
bunga-bunga bermekaran menebar aroma. Kesha mendapati dirinya sendirian di
padang savana yang terhampar luas. Rasa takut yang seharusnya melanda tidak
pernah menyapa. Dia bahkan lebih tenang, dibandingkan kemarin. Pun sakit dan
perih, seperti hilang tak berjejak.
Tiba-tiba pundaknya disentuh
seorang wanita jelita. Dia tersenyum seraya menggamit kedua tangan Kesha.
“Ikutlah denganku!” Perempuan itu menarik tangan Kesha dengan lembut, seolah
ingin mengajak ke suatu tempat. Terselip setitik keraguan di mata Kesha, sketsa
wajah ayah dan ibunya terbayang di pelupuk. Perlahan ia menarik tangannya dari
genggaman wanita itu.
“Ikutlah denganku, kamu
akan tenang dan bahagia!”
“Tapi Kesha masih punya
ayah dan ibu.”
“Mereka tak menyayangimu!”
Kesha menelan ludah,
perih terlukis jelas di wajahnya. Perempuan itu menatap iba. “Pergilah pada
mereka, kalau kau sudah bosan dengan penderitaan, aku akan menjemputmu kembali!”
Perempuan itu berlalu, meninggalkan Kesha yang hanya bisa mematung. Sosoknya
hilang di kejauhan, lenyap di antara kabut putih yang entah datang dari mana.
***
Pagi ini masih sama
seperti kemarin, gerimis menebar hawa dingin. Nenek tetap setia menemani, mencoba
menghibur kala pilu menyatu. Perlahan tangan Kesha mengambil sesuatu dari balik
bantalnya. Sebuah foto keluarga yang menjadi kenangan, tanda mereka pernah
bersama.
“Nek, apakah Allah
telah menyiapkan taman surga buat Kesha?” Perempuan tua itu diam, wajah
sendunya menjadi jawaban.
“Mungkin takdir ini
akan segera berakhir … Kesha lelah dengan semua ini, Nek! Berapa hari yang
lalu, Kesha bermimpi dijemput perempuan jelita, diajak ke suatu tempat di mana
Kesha akan bahagia,” Bibir tipisnya yang terlihat pucat bergetar, menahan sakit
yang mendera. Kapan pun, di mana pun, maut seolah menguntitnya dari belakang.
“Tentu! Allah sangat
sayang padamu,” Hanya itu yang keluar dari bibir perempuan tua tersebut.
Didekapnya Kesha erat, disertai tangisan yang tak mampu ia tahan.
“Kesha ingin Ibu dan Ayah
kembali seperti dulu lagi. Bersama, tanpa ada yang menyalahkan atau merasa
bersalah. Jangan menjadikan Kesha sebagai sumber dari pudarnya kebahagian.
Kesha yakin, prinsip Ibu dan maksud Ayah sama. Hanya saja mereka terjebak dalam
benang kusut masalah. Tak ada jalan lain, kecuali memutusnya.” Sang nenek
kembali diam.
***
Sore menggantung di
Lazuardy. Cahaya kemerahan tertutup tirai malam. Kesha masih terbaring lemah
dengan selang infus yang melintang. Nenek masih setia menjaga. Seluruh waktunya
hanya disamping Kesha seraya berdoa demi kesembuhan gadis itu.
Ayah ibunya tak kunjung datang, meski berulang
kali Nenek menghubungi mereka. Ponsel mereka tidak aktif. Sedangkan sore
beringsut malam. Tak ada tanda-tanda kedatangan mereka berdua. Air mata kembali
berurai. Secuil asa di akhir harinya seakan tak berguna, impian keluarga ini
kembali saat garis hidupnya berhenti dan buku takdirnya ditutup. Ingin dengan
akhir bahagia, bukan dengan nestapa lagi dirundung duka.
“Nek, Kesha minta maaf kalau selama ini selalu
merepotkan. Kesha gak tahu harus mengucapkan apa sebagai tanda terima kasih....
Nenek hadir saat Ayah dan Ibu tak ada. Berbagi cerita, motivasi dan selalu
mengingatkan Kesha akan makna kehidupan. Maaf, Nek, mungkin sampai di sini saja
… Kesha mohon pamit ya …,” ucapnya bergetar. Linangan air mata yang sedari tadi
terus mengalir, perlahan berhenti.
Desir angin berhembus
ringan. Senja menyambut gadis yang dirundung nestapa itu saat ruhnya bertemu
Sang Khaliq. Tangis Nenek pun pecah. Dipeluknya cucu kesayanganya dengan
linangan air mata dan rasa sakit.
Hidup adalah cerita
Di mana pena takdir akan berakhir
Lembaran hidup akan ditutup
Dengan ujung tawa bahagia
Ataukah dengan duka dan nestapa
Hidup adalah cerita
Penuh luka, perih dan ratapan
Saat terpuruk dalam kubangan, yakinlah dengan
takdir Tuhan
Raci 08 February 2015
COMMENTS