(وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ)) “ Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta...
(وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ))
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya’ : 107).
Menurut
Ibn Mandzur dalam lisanul ‘Arab, rahmat secara etimologis adalah al
Riqqotu wa al Ta’athuf yang berarti kelembutan yang berpadu dengan rasa iba
atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Secara global, ayat ini
menjelaskan bahwsanya Nabi r adalah bentuk kasih sayang Allah I kepada seluruh manusia.
Sebagaimana ayat al-Qur’an lainnya, interpretasi dari
frase rahmatan lil ‘alamin tersebut haruslah bersandar kepada
terminologi syariat sesuai dengan konteks ayat yang diturunkan. Dalam prakteknya,
interpretasi dari rahmat yang disebutkan dalam ayat tersebut nampaknya masih
ambigu di kalangan masyarakat muslim sendiri, apalagi di
kalangan non
muslim.
Rahmatan lil ‘Alamin Dalam Persepsi
Rahmat atau kasih sayang dalam
persepsi masyarakat umum adalah kasih sayang tanpa diskriminasi, tanpa
memandang agama, suku, ras dan sejenisnya. Namun dalam prakteknya, rahmat atau kasih sayang
tersebut acapkali diinterpretasikan melewati batas koridor yang digariskan
dalam agama.
Banyaknya kekerasan atas nama
agama, sejarah perang antar agama terutama Islam vs Kristen selama berabad-abad
dalam perang salib mengantarkan beberapa kaum intelektual dari kedua pihak
untuk mulai berdialog dan mencari titik temu antar agama agar terjadi
kesepakatan damai di kedua belah pihak. Namun sayangnya, terkadang usaha-usaha
perdamaian tersebut menabrak batas-batas aturan agama bahkan membuat
karakteristik beberapa agama menjadi kabur. Sebut saja faham liberalisme dan
sekularisme yang menjamur di kalangan pemuda muslim yang cinta damai, namun
kurang memiliki dasar yang kuat dalam akidahnya. Ayat di atas termasuk ayat
yang sering dijadikan legitimasi terhadap pandangan-pandangan mereka. Rahmat
yang diartikan secara tekstual tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam
tafsirnya kemudian dijadikan tendensi atas berbagai kritik terhadap hal-hal
yang dianggap “tidak rahmat”. Dengan ayat tersebut, kewajiban
jihad dengan mengangkat senjata dipertanyakan, nahi munkar dianggap ekstrim,
menyinggung ekslusifitas ajaran agama dianggap menyulut api sara, bahkan toleransi
dikatakan tidak sah jika tidak ikut serta dalam upacara seremonial agama lain.
Konsep rahmatan lil ‘alamin
Mengenai diksi ‘alamin,
Imam Abdul
Jarir al-Thabari meriwayatkan kontroversi pendapat ulama dalam memahami hal tersebut
dalam tafsir beliau, apakah termasuk kalimat universal (al ‘Am) yang
mencakup muslim dan non muslim ataukah kalimat general dengan maksud spesifik (al
‘Am urida bihi al khusus). Menurut Sa’id bin Jubair t, sebagaimana diriwayatkan
dari Sayyidina Abbas bin Abdul Mutthalib t bahwa diksi tersebut bersifat general. Dalam
hal ini, Sayyidina Abbas t berkata :
من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف
“Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan untuknya rahmat di dunia dan akhirat.
Namun barang siapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak ditimpa
adzab sebagaimana yang menimpa umat terdahulu, seperti ditenggelamkan atau di dihujani
batu (sebagai rahmat bagi mereka)”.
Dalam riwayat lain :
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن
به عوفي مما أصاب الأمم قبل
“Rahmat yang sempurna bagi
orang-orang yang beriman kepada Rasulullah di dunia dan di akhirat. Sedangkan
bagi orang-orang yang enggan beriman, (bentuk rahmat bagi mereka adalah) dengan
tidak ditimpa adzab sebagaimana yang menimpa umat terdahulu”.
Sedangkan menurut ibn Zaid,
diksi lil ‘alamin tersebut adalah kalimat general dengan maksud
spesifik, lil ‘alamin meskipun menggunakan kalimat yang general, namun
cakupannya terbatas hanya kepada kaum muslimin saja. Dalam hal ini beliau berkata:
فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة ، وقد جاء الأمر مجملا
رحمة للعالمين ، والعالمون هاهنا : من آمن به وصدقه وأطاعه
“Maka beliau (Rasulullah r) bagi sebagian manusia adalah
cobaan sedangkan bagi sebagian yang lain adalah rahmat. Perkara ini (walaupun)
disebutkan secara general dengan redaksi ‘alamin (sekalian alam), (namun) yang
dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada beliau (Rasulullah r), membenarkan beliau dan
menaatinya”.
Kesimpulannya, menurut
pendapat versi ke dua, rahmat dalam ayat tersebut ekslusif untuk orang mukmin
saja. Sedangkan menurut versi pertama, rahmat yang dimaksud adalah dengan
ditiadakannya adzab secara langsung di dunia sebagaimana yang menimpa umat
terdahulu.
Jika dikorelasikan dengan ayat
lain, ayat di atas juga memiliki penafsiran lain yang akan mementahkan beberapa
interpretasi menurut persepsi masyarakat umum. Rahmat dalam ayat
tersebut sebenarnya merupakan salah satu dari beberapa misi diutusnya
Rasulullah r di muka bumi. Dalam ayat lain
disebutkan :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا
وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ [سبأ:28]
“Dan Kami
tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28).
Berdasarkan
ayat di atas, misi lain dari diutusnya Rasulullah r
ke muka bumi adalah sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
termasuk segala syariat beliau seperti amar ma’ruf dan nahi munkar,
jihad dan sebagainya. Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang muslim dalam interaksinya
dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-’alamin, juga bertanggungjawab
menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-’alamin.
Namun begitu, bukan berarti
Islam adalah agama perang yang disebarkan dengan darah dan teror sebagaimana
yang diisukan oleh kalangan Islamophobia. Tidak pula dengan memicu
tindakan sparatis disertai rentetan kalimat takbir dengan menyerang pihak lain
seperti yang difahami kalangan yang ekstrim dalam beragama. Konsep toleransi
dan tanpa harus mengorbankan akidah masing-masing ummat beragama telah secara
konkrit dijelaskan dalam surah al Kafirun yang intinya untuk saling membiarkan
dalam menjalankan agama masing-masing tanpa saling mengusik satu sama lainnya.
Sedangkan konsep rahmatan lil ‘alamin tergantung kebijaksanaan kita
dalam berdakwah sesuai dengan situasi dan kondisi objek dakwah. Dalam kondisi
normal, usaha dakwah diprioritaskan menggunakan jalan hikmah. Namun dalam kondisi terpaksa,
perangpun adalah “rahmat” sebagai opsi terakhir agar non muslim yang
mendapat hidayah tidak terhalangi oleh sikap orang kafir.
Poin
terakhir adalah hal yang sangat urgen untuk menjelaskan konsep yang benar
mengenai interpretasi dari rahmatan lil ‘alamin, agar tidak terjadi
interpretasi “ngawur” dengan menabrak rambu-rambu agama dalam penerapannya,
juga untuk menepis asumsi kalangan non muslim tentang kontradiksi ajaran rahmatan
lil ‘alamin dengan realitas yang diterapkan kaum muslimin. Wallahu a’lam
(SY)
COMMENTS