“Termasuk kesalahan besar jika dirimu meyakini bahwa kau dilahirkan dari orang tertentu yang tidak mendukung untuk menjalani perubahan....
“Termasuk
kesalahan besar jika dirimu meyakini bahwa kau dilahirkan dari orang tertentu
yang tidak mendukung untuk menjalani perubahan. Sungguh kau dapat lakukan
perubahan setiap waktu.”
[Jordan
Bayern}
Aku
ingin semua orang yang mengenaliku melupakan tentang siapa orang tuaku,
setidaknya agar aku merasa sama dengan anak-anak lain atau paling tidak dengan
melupakan hal itu mereka tidak membunuh karakterku. Berayahkan laki-laki yang
menghabiskan usia dalam buih, jelas bukan inginku dan beribukan wanita lemah
yang memilih mengakhiri hidup sebab lilitan hutang juga jelas bukan mimpiku.
Setiap bayi tidak pernah punya pilihan untuk lahir dari rahim siapa, termasuk
juga aku, hingga kumohon jangan pernah cerca seorang anak sebab kesalahan orang
tuanya…Tuhanku mewujudkanku atas kasih sayang-Nya, mengapa kalian justru yang mencerca.
Kupeluk
lengan nenek erat, air mataku mengalir menembus kain tipisnya, ia menoleh,
menatapku nanar, pedih, mungkin sepedih ketika aku dulu berlarian tanpa melihat
jalan, sebuah bus berdecit setengah meter tepat di depanku, seluruh tetangga
mengutukku dengan berbagai umpatan sebutan, supir bus meracau tak karuan, sementara
wanita tua dengan derai air mata terseok berlari ke arahku, memelukku erat
dengan bibir takhenti ucap hamdalah, kalimat syukur tiada terkira.
“Kenapa?” tanyanya lembut,
tangannya membelai rambutku.
“Nenek..ayo pindah..”
pintaku terisak, saat itu aku belum cukup dewasa untuk mengerti bagaimana cara
agar aku tak membebani wanita paruh abad itu. Yang kutahu aku hanya ingin pergi
sejauh tempat yang tak ada seorang pun yang mengenal kami. Tak mengenal
putrinya yang menanggung banyak hutang atau menantunya yang disebut-sebut
sebagai bajingan.
“Iya..kita akan pindah”
begitu ujarnya.
Aku menyeka air mata lekas,”benarkah?”
Nenek mengangguk
mengiyakan, diraihnya tubuhku dan dipeluknya erat.
@@@
Tempat
tinggal baruku bukanlah lebih baik dari rumah berukuran 3 x 4m dulu, hasil
menjual sepetak sawah dan 2 anak kambing hanya cukup untuk membeli rumah dengan
atap yang menyilaukan mata saat matahari tepat berada di atas atau memaksa
basah kuyup di musim penghujan pada akhir bulan Juli. Egoku untuk jalani hari
lebih tenang rupa-rupanya justru membuat wanita tua itu tidur tak tenang.
Aku
menyeka air mata, bukan sebab panasnya irisan bawang goreng atau uap minyak
yang tampak sudah memanas. Di usiaku sekarang, hal yang terpenting adalah siapa
aku, apa yang ku bisa dan apa yang kumiliki.
“Kenapa?” tanya nenek,
sementara tangannya lincah memasukkan bawang goreng ke dalam plastik-plastik kecil. Aku menggeleng pelan, dalam
hati berjanji aku akan berusaha merubah semua.
Pagi
ini masih sama dengan pagi–pagi kemarin, sebelum berangkat ke sekolah,
kusempatkan untuk mampir kepasar, menitipkan telor-telor ayam juga beberapa
bungkus bawang goreng. Hanya yang berbeda, pagi ini usiaku genap 17 tahun,
angka yang diidamkan oleh banyak remaja terkecuali aku. Aku tak seperti remaja
lainnya, yang miliki masa-masa penuh ambiguitas,
lakon, pengalaman, rasa, apalagi cinta. Aku tak mengenanl perawatan tubuh,
koleksi baju, acara-acara menyalurkan hoby, juga waktu untuk terbahak dalam
lingkar persahabatan apalagi manis asam cinta yang membuat kadang tertawa gila kadang
menagis penuh ratapan.
Aku tak miliki semua itu. Aku
tak seberuntung mereka, dia atau bahkan kalian rupanya.
Beruntungkah? kurasa
kecerdasan memaknai hidup itu baru keberuntungan.
@@@
“Satu jam 5000 kan ya?”
tanyaku.
“Ya” jawab bapak-bapak
berkumis tipis seraya memberi nomor komputer yang kosong. Aku mengangguk-angguk
kemudian melirik list harga yang terpajang di triplek pembatas antara satu
komputer dengan yang lainnya, print out 200 perlembar. Baiklah..cukup.
“Bismillah,” tanpa
menghabiskan banyak waktu aku mulai berlayar menjelajah dalam sebaris kalimat BEASISWA
DALAM DAN LUAR NEGERI 2014. Memilah bidang yang ku suka, dari yang mungkin
tembus sampai yang menurutku itu mustahil. Segera copy paste sebelum
waktu melebihi satu jam, sebab hanya recehan ini yang kumiliki.
“Ini bisa dibaca?” tanya
laki-laki yang sama, matanya tak beralih dari layar computer server, PDF dengan
multyple per sheet mencapai 6. Aku
tersenyum malu-malu, “Biar
hemat mas..” jawabku. Ia menggeleng-geleng.
“Multyple 2 aja..harga sama dah..beasiswa ya, tapi janji harus bisa tembus
salah satunya” aku mengangguk–angguk dengan mata berbinar. Bapak-bapak itu
tersenyum melihat ekspresiku.
“Terima
kasih…Insya Allah…doakan ya pak..”
“Doa orang tua itu yang
terpenting” ucapnya kemudian menekan tombol on pada printer.
Aku menelan ludah kelu. “Berapa pak?”
“7000 semuanya” kurogoh
saku dan 7 lembar seribuan kusodorkan.
“Hati-hati..hujan, nanti
luntur, naik apa?” tanyanya lagi sementara aku sudah akan beranjak keluar ,”..lari
pak”
@@
Setibanya di rumah, sejak
dari rental aku benar-benar sering tak berselera untuk tidur, kepikiran? Tentu.
Tapi aku tak ingin nenek tahu akan hal ini, setidaknya jika nanti aku gagal,
biar beliau tak ikut bersedih. Jadilah tiap malam, selepas memastikan nenek
tidur aku mulai mempelajari satu persatu persyaratan, mengumpulkannya dan tentu
berdo’a. Tetesan sisa hujan yang masih menyisakan bunyi pada kaleng hitam tak jauh
dari tempat tidur nenek jadi semangat tersendiri, bahwa hidup bukan untuk
berpangku tangan apalagi menengadahkannya.
Bismillah..
@@
“Nek..” ucapku lirih, masih
sama dengan beberapa tahun silam, air mataku lagi lagi membasahi lengan
bajunya.
“Kenapa?” tanyanya lembut, kusodorkan amplop
putih tebal padanya, yang sudah pasti ia tak bisa membaca apa isinya.
“Apa ini?”
Aku
menundukkan kepala, tak kuasa ku angkat wajah menatap wajahnya, sementara kerudung
lebarku sudah terlalu lusuh sebab air mata.
”Beasiswa..”jawabku lirih,
tenggorokanku bak menelan sebongkah batu, sakit. Apa yang bisa kau perbuat saat
nama anak orang ‘tak benar’ dan ‘tak punya’ terdafdar dalam list penerima
beasiswa Universitas ternama? Sesuatu yang awalnya ku anggap mustahil, justru
tidak dalam kuasa-Nya.
Dalam
sedu sedan yang panjang, nenek terus menciumiku, mengucap syukur tak terkira
dan pujian tak berujung seakan akan aku adalah cucu terpintar di dunia ini. Sementara
ia sibuk berfikir bagaimana cara mengurus semuanya ke Jakarta, aku justru
bingung apa aku akan meninggalkannya sendirian di rumah dengan atap yang
berlubang .Atap yang membuat silau mata saat matahari tepat berada di atasnya,
juga memaksa untuk berbasah kuyup di musim penghujan
di akhir bulan Juli.
“Berangkat nduk…berangkat..” paksa nenek begitu mendapat keraguan di mataku,
uang simpananya ia sebut sebut akan digunakan untuk mengurus semuanya jika
perlu. Aku menatapnya nanar, pahit benar nek untuk merubah keadaan….
“Nenek sendirian?” tanyaku, suaraku beradu dengan sedu sedan. Nenek
tersenyum, telunjuknya menunjuk ke atas. Aku tak bisa menepis kekhawatiranku,
juga perasaan ‘egoiskah aku?’ Meski aku tahu benar, di usianya yang telah senja
ia masih kuat bahkan untuk berjalan mengantar sendiri bungkusan berisi bawang
goreng pada pelanggan.
Kucium
keningnya lama, dalam hati berdoa dengan nada memaksa agar sentuhan ini bukan
kali terakhir dalam sisa usianya dan semoga sosoknya masih dapat kutemui dalam
selang 4 tahun ke depan nanti...ya,
semoga.
Dengan
mata berderai air mata, kumasukkan beberapa helai baju yang kumiliki, di sampingku
duduk nenek yang bunyi degupan jantungnya dapat jelas kudengar, dingin tangannya juga bisa kurasakan.
Hanya, aku tak pernah dapati setetes air matapun jatuh dari pelupuk matanya.
Aku
memang tak seberuntung kalian yang sempat nikmati apa itu remaja,bergurau dan
bersenang-senang di dalamnya,punya banyak pengalaman dan cerita. Namun setidaknya
aku punya mimpi, punya tujuan, cita juga asa..
Aku
yakin, fasilitas yang memadai, keluarga yang utuh dan ekonomi yang lebih dari
cukup tak justru membuat kalian tumbuh sebagai pribadi stagnan atau yang lebih
buruk dari itu…
“Universitas
Naura Madinah, aku datang..!!!!”
COMMENTS