Banyuwangi merupakan salah satu destinasi panorama wisata alam dan cagar budaya yang eksotis. Belum lagi, kolaborasi ragam warna-war...
Banyuwangi
merupakan salah satu destinasi panorama wisata alam dan cagar budaya yang eksotis.
Belum lagi, kolaborasi ragam warna-warni alam dengan berbagai keunikan kultur
budaya masyarakat seakan memajankan indera siapapun yang memandangnya. Kebudayaan
yang tidak pernah mati, berpadu dengan kekayaan religi dan corak khas dakwah
Islam yang cerdas membuat coretan perjalanan pada rubrik dunia pesantren edisi
kali ini semakin menarik untuk dikaji.

Pondok Pesantren yang dirintis oleh al Habib Sholeh bin
Umar bin Jindan ini, mempunyai kisah sejarah yang penuh dengan perjuangan. Bermula dari
perintah guru beliau al Habib Taufik bin Abdul Qodir as-Segaf Pasuruan untuk mendirikan
Pondok Pesantren di Banyuwangi. Al Habib Soleh bin Jindan mengawali langkahnya untuk mencari sebuah lahan yang akan dibangun
sebagai pondok pesantren. Akan
tetapi, pada waktu itu belum ada cukup dana bahkan
untuk membeli sebidang tanah sekalipun. Hal itulah
yang membuat beliau mencari rumah kontrakan sebagai tempat belajar sementara bagi
para santri.

Sejak dirintisnya Pondok Pesantren Tarimul Ghanna, Al Habib Sholeh bin Jindan
memberikan mandat kepada al Habib Hasyim bin Abdullah as-Segaf sebagai partner seperjuangan
beliau (ketika
menimba ilmu di Rubat Tarim, Yaman) untuk menjadi pengasuh Pondok Pesantren tersebut. Sehingga segala
sesuatu yang berkaitan dengan kemajuan Pondok, tidak lepas dari tanggung
jawab al Habib
Hasyim bin Abdullah as-Segaf.
Seiring
berjalanya waktu, datang seorang dermawan kepada al Habib Hasyim bin Abdullah as-Segaf. Kedatangan
orang tersebut membawa kabar gembira bagi para santri yang masih tinggal di
tempat yang berstatus pinjaman. Karena Kedatangan orang itu tidak hanya ingin sowan
kepada al Habib Hasyim saja, tapi kedatanganya juga untuk mengutarakan niat
baiknya dengan memberikan sebidang tanah hibah yang luasnya kurang lebih lima
ribu meter persegi kepada al Habib Hasyim bin Abdullah as-Segaf untuk digunakan
berdakwah dan kemajuan pesantren.
Setelah membicarakan hal
tersebut kepada al Habib Sholeh bin Jindan. Hasilnya, Al Habib Sholeh merestui penerimaan tanah hibah
tersebut. Maka pondok yang awalnya berada di Pakis, (dengan status tempat
pinjaman) akan dipindahkan ke tanah hibah yang baru sebagaimana yang
diamanatkan oleh dermawan tersebut.
Dengan kegigihan dan kesungguhan yang disertai niatan baik,
beliau mulai membangun bersama para jama’ah majlis taklim yang berada di bawah
asuhan beliau dan segenap dermawan yang mempunyai jiwa dakwah terhadap Islam untuk turut andil
dalam mensukseskan pembangunan pondok pesantren tersebut. Di antara mereka ada yang
menyumabang batu bata, pasir, semen dan bahan material yang lain. Sehingga
pembangunan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada sepeserpun dana bantuan dari
pemerintah. Pada
tahun 2006, Pondok Pesantren ini di resmikan oleh tamu besar dari Tarim, Yaman
yaitu al
Allamah al Habib Salim bin
Abdullah as-Syatiri ketika berkunjung ke Banyuwangi.
Adapun nama pondok
pesantren Sunniyah Salafiyah Tarimul Ghanna sendiri, diambil dari perpaduan dua
nama. Pertama Sunniyah Salafiah, diambil dari nama Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah Pasuruan yang
diasuh oleh al Habib Taufik bin Abdul Qadir as-Segaf, mengingat al
Habib Sholeh bin jindan adalah murid al Habib Taufik bin Abdul Qadir As-segaf.
Kedua Tarimul Ghanna, adalah nama pemberian dari al Allamah al Habib Salim bin
Abdullah as-Syatiri. Sehingga tak mengherankan jika pondok pesantren Sunniyah
Salafiyah Tarimul Ghanna menjadi salah satu pondok pesantren kebanggaan
masyarakat Banyuwangi saat ini.
Pengasuh
Sejak
kecil beliau al Habib Hasyim Kamal bin Abdullah As-segaf tumbuh dilingkungan
keluarga yang berilmu dan berakhlak. Al Habib Abdullah, ayah beliau adalah sesorang da’i
yang berjuang menyebarkan dakwah Islam di Banyuwangi waktu itu. Di samping
kesibukan berdakwah, al Habib Abdullah juga tidak lalai untuk mendidik dan
membimbing keluarganya bahkan lebih keras dari yang lainya. Begitu juga al
Habib hasyim, beliau semenjak kecil mendapat pendidikan yang disiplin dan keras
dari ayahandanya, khususnya pada urusan agama.
Setelah
beliau menyelesaikan pendidikan dasar dan pendidikan menengah di Banyuwangi,
kemudian beliau melanjutkan pendidikan beliau ke Pondok Pesantren Sunniyah Safi’iyah Sukorejo
yang berada di kabupaten Asem Bagus, Jawa Timur. Tidak hanya belajar
untuk pendidikan diniah saja akan tetapi beliau juga mengikuti
pendidikan formal yaitu Sekolah Menengah Atas hingga selesai sarjana S1.
Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Bangil yang
terletak di kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Keberadaan
beliau di Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah hanyalah fokus terhadap pendidikan bahasa
Arab, karena memang pondok pesantren itu mempunyai kelebihan di bidang
bahasa Arab. Tidak begitu lama beliau menimba ilmu di sana, (kurang lebih hanya
satu tahun beliau berada di pondok pesantren Darullughah Wadda’wah) beliau
sudah banyak menguasai dan mendapatkan ilmu bahasa Arab.
Kemudian
beliau mendapatkan izin dari mudirul ma’had Darullughah Wadda’wah abuya al
Habib Zain bin Hasan Baharun untuk safar ke Tarim, Yaman. Abuya Zain mengarahkan beliau untuk menimba
ilmu di Rubat Tarim, Yaman di bawah
asuhan al Habib Hasan bin Abdullah as-Syatiri, kakak dari pada al Habib Salim bin
Abdullah As-syatiri. Setelah kurang lebih enam tahun menimba ilmu di kota wali
itu, beliau kembali ke kampung halamannya Banyuwangi untuk meneruskan
perjuangan dakwah ayah beliau.
Kurikulum
Adapun kurikulum yang diterapkan di Pondok Pesantren
Tarimul Ghanna tidak jauh berbeda dengan
pesantren lain di Jawa. Sebagai pesantren yang masih menggunakan metode salaf (non formal)
pesantren ini menggunakan kitab-kitab klasik dalam proses belajar mengajar,
Seperti kitab risalatul jamiah,
al-Jurumiah, tafsir jalalain dan kitab klasik lainnya. Adapun pelaksanaanya dipimpin
langsung oleh pengasuh pondok pesantren atau santri yang telah mendapat mandat
dari pengasuh (biasanya santri senior). Seperti layaknya pesantren salaf di
Jawa, ada dua metode yang digunakan dalam pengajian kitab kuning, yaitu as-Sam’iyah
dan at-Tatbiqiyah (sorogan). Metode as-Sam’iyah adalah Ustadz membaca dan
menerangan apa yang di dalam kitab dan sang murid mendengar, memahami dan menerjemahkan kitabnya
masing-masing. Sedangkan metode at-Tatbiqiyah (sorogan) adalah murid
membaca kitab dan menjelaskannya dan ustadz mendengarkan dan membenarkan.
Para
santri dalam melaksanakan rutintas belajar tidak menggunakan kelas, melainkan membentuk
halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) yang sesuai dengan kajian kitab mereka
masing-masing. Setiap halaqah biasanya terdiri tidak lebih dari tujuh sampai
delapan santri, yang tujuannya untuk mempermudah proses pembelajaran.
Dalam bimbingan para
ustadz dari dalam dan luar kota, para santri dapat menimba berbagai wawasan
ilmu yang beragam, di samping itu penuturan yang mereka sampaikan sangatlah
ilmiah. Karena mareka adalah utusan dari pondok-pondok besar seperti pondok
Sidogiri dan pondok Sunniyah Salafiyah, Pasuruan yang notabenenya adalah pondok salaf
dengan kualitas sanad keilmuanya yang terjamin sampai ke nabi Muhammad r.
Sang
pengasuh juga tidak lupa mengajari anak didiknya untuk bertaqarrub
kepada Allah I. Beliau mengharuskan muridnya membaca aurad
(wirid-wirid) Ba’alawi. Diantaranya ratib al-Haddad setelah maghrib, wirdul
latif selepas subuh dan wirid-wirid lainya. Sedangkan kegiatan-kegiatan
pondok yang rutin dilaksanakan adalah pembacaan maulid nabi Muhammad r Pada malam Senin, menggunakan kitab
maulid simtut duror, dhiya’ al-Lami’, ad-Diba’I dan yang lainnya secara ber gantian
setiap malam Senin, pembacaan hadrah basaudan pada hari
Selasa sore. Dan pengajian Kamis sore yang dipimpin oleh mudirul ma’had bersama
para santri dan masyarakat umum.
Ketika santri sudah
mampu untuk menerima pelajaran yang lebih tinggi, maka santri tersebut akan
dikirim ke pesantren yang lebih tinggi jenjang keilmuanya seperti pondok
pesantren Sunniyah Salafiyah Pasuruan dan Pondok Pesantren Darullughah
Wadda’wah Bangil. Tujuanya agar mereka mampu berkembang lebih.
Saat ini terdapat
sekitar lima puluh santri yang menetap di asrama pesantren. Mereka tidak hanya
dari kota Banyauwangi saja, melainkan dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti
Bondowoso, Situbondo, Madura dan Jember, bahkan ada yang dari luar pulau Jawa
seperti Bali dan Lombok.
Pondok dengan masyarakat
Keberadaan
pondok pesantren Sunniyah Salafiyah Tarimul Ghanna sangat diterima oleh
masyarakat. Karena mayoritas warga yang ada di sekitar adalah masyarakat yang
awam dari pendidikan agama, bahkan ada sebagian dari mereka yang tidak
beribadah.
Dulunya kampung ini adalah kampung
yang sepi dari penduduk, sebab pada waktu itu aliran listrik belum menjangkau
ke daerah itu. Walaupun dekat kota akan tetapi pada masa itu masih berupa kebun
kelapa yang sepi dari perumahan warga. Ketika berdiri bangunan masjid pondok,
al Habib Hasyim beserta para jama’ah majlisnya mengusahakan agar fasilitas
listrik bisa masuk ke daerah tersebut.
Setelah semuanya terang, jalan sudah diterangi
oleh lampu, perumahan sekitar juga sudah mulai memakai lampu, sehingga akhirnya
banyak warga yang datang untuk membangun rumah di sekitar pondok. Sekarang
tanah yang dulunya perkebunan kelapa itu sekarang menjadi kampungan yang rame
oleh penduduk. Artinya mereka sudah banyak diuntungkan dengan adanya Pondok
Pesantren ini. Sehingga hubungan masyarakat dengan pesantren terjalin dengan
baik.

COMMENTS