Nafisah menyeka air mata. Setiap inci hatinya terbalut lara. Ia merasa haknya telah dijajah logika setiap orang. Terkalahkan...
Nafisah menyeka air mata. Setiap inci hatinya terbalut lara. Ia
merasa haknya telah dijajah logika setiap orang. Terkalahkan argumen tak
berdasar.
“Kamu memerlukan
seorang pria yang mapan, Nafisah … anakmu masih kecil. Perlu biaya yang tak
sedikit untuk pendidikannya kelak.” ucap bibi Karla pelan hampir tak terdengar.
Nafisah diam.
Sudut matanya tak cukup menggambarkan perasaannya.
“Kamu dan Farhan tidak
hanya membutuhkan sosok seorang suami dan ayah, Percayalah!” lanjut perempuan
itu beranjak meninggalkan Nafisah di atas tempat tidurnya. Diaduk-aduk perasaan
tak menentu. Menjadi single parent bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu
pengorbanan, perasaan dan keteguhan hati.
***
“Beli semangka ya,
Mi …” rengek Farhan. Kedua tangannya erat menggenggam lollipop berwarna jingga.
“Insya Allah,
Ummi nggak janji loh.” Nafisah mempercepat langkahnya seraya menarik
tangan Farhan, memasuki toko pinggir jalan.
Setiap Minggu
sore, Nafisah selalu mengajak buah hatinya tersebut untuk sekadar melepas penat
setelah seminggu penuh tidak keluar rumah. Sekaligus menenangkan pikirannya
yang beberapa hari selalu dibelenggu dilema. Tentang bibi Karla, lamaran tempo
hari dan status dirinya. Ditambah tumpukan
jahitan yang belum dikerjakan.
***
“Semangka, Mi …
semangka!” Anak kecil berumur lima tahun itu kembali merengek, menarik-narik abaya
umminya. Nafisah kembali menghela nafas, sisa uangnya tak cukup untuk membeli
semangka.
“Sayang, beli
semangkanya nanti saja ya, Ummi lagi nggak punya uang. Lagian kan Farhan udah
beli apel?” Nafisah mengangkat sekantong plastik apel merah segar.
Farhan tetap
cemberut. Namun, anak kecil seperti Farhan tak kehilangan akal. Di saat Umminya
sibuk dengan plastik-plastik belanjaan, ia menghampiri pria berjanggut tipis yang
duduk di meja kasir. Entah apa yang diucapkan Farhan, pria itu memberi sebiji
semangka sebesar helm.
“Ummi …!” teriak
Farhan memanggil Nafisah seraya memamerkan kantong plastik berisi semangka
dengan senyum bangga. Bukan main kagetnya Nafisah melihat kelakuan putranya.
“Nakal kamu ya!”
ucap perempuan itu, geregetan.
Nafisah segera
menghampiri pria berjenggot tipis yang sudah lama ia kenal dari mendiang
suaminya itu. Menjelaskan dan meminta maaf atas kelakuan nakal putranya. Pria
itu seperti yang dulu. Menggeleng pelan dengan bahasa isyarat yang dimengerti
Nafisah.
“Ambillah, gratis
untuk kalian berdua.” Begitulah tangannya bicara dengan bahasa isyarat. Nafisah
agak sangsi. Kembali pria itu mengangguk
pasti.
Sejak awal membina
rumah tangga, Nafisah dan sang suami sering membeli buah di sana. Sikapnya yang
ramah membuat siapapun puas berbelanja di tokonya. Ia pria yang baik, murah
senyum, dan selalu menutup tokonya saat adzan berkumandang.
“Rezeki itu Allah
yang mengatur, bagaimana kita akan diberi kalau kita lengah saat ia memanggil?”
jelasnya dengan bahasa isyarat beberapa tahun lalu, saat Nafisah dan suaminya
memasuki toko tersebut, tepat ketika adzan Ashar mulai menggema.
***
“Om tadi baik ya,
Mi.” celetuk Farhan di sela-sela menikmati potongan buah semangka, buah
kesukaannya. Nafisah hanya diam. Tangannya sibuk mengiris-ngiris semangka.
“Coba Farhan punya
abi kayak dia, pasti dapat semangka setiap hari.” lanjutnya sambil tetap asyik
mengunyah.
Nafisah tertegun
lama mendengarkan celotehan anaknya.
“Iya kan, Mi?”
“Kamu mau punya
Abi bisu?” Tiba-tiba Bibi Karla muncul di depan mereka berdua. Farhan melongo
tak mengerti, sedangkan Nafisah semakin tidak nyaman dengan keadaannya
sekarang.
“Sudahlah Nafisah,
terima saja lamaran itu. Hidupmu akan bahagia dan Farhan akan mendapatkan
pendidikan yang layak.”
Diam membungkus
suasana beberapa saat. Hanya ada butiran air mata yang menjadi jawaban dari
seorang perempuan muda beranak satu tersebut.
“Kamu tidak bisa
berharap dari orang yang tak sempurna, Nafisah.” cecar Bibi Karla lagi.
“Kenapa selalu
mereka yang berharta yang selalu Bibi sebut cocok untuk kehidupan Nafisah?
Nafisah tak memerlukan harta yang berlipat-lipat, Bi. Nafisah memerlukan
seseorang yang bisa menjadi imam dan menuntun Nafisah menuju kehidupan yang
hakiki.” bela Nafisah dengan linangan air mata yang semakin deras. Farhan yang
tak tahu apa-apa juga ikut sedih ketika melihat umminya menangis sesenggukan.
“Keteguhan dan cara berpikirmu sangat bagus, Nafisah. Tapi cobalah
berpikir sekali lagi … apakah kamu akan membiarkan psikologis anakmu terkungkung
dalam realita? Tertekan karena ejekan teman-temannya?”
Nafisah tak menjawab apa-apa.
”Ah, sudahlah … aku memang
tak berhak untuk memaksamu.” Perempuan tua itu berlalu dari hadapan Nafisah dan
anaknya.
***
“Om! Om!” teriak Farhan.
Anak kecil itu kemudian berlari kecil menuju tangga masjid,
memanggil-manggil pria yang beberapa hari lalu memberinya semangka. Nafisah
hanya memandang mereka dari kejauhan.
Dengan balutan koko putih, pria itu menuruni anak tangga dan
langsung memeluk Farhan, hangat. Mencoba berinteraksi meski Farhan tak begitu
mengerti isyaratnya.
“Ayo, Nak! Jangan ganggu Om.” ucap Nafisah membujuk Farhan.
“Farhan boleh ke toko Om lagi kan, Ma?”
“Boleh.” jawab Nafisah.
Sebelum mereka berpisah, Farhan
sempat meraih dan mencium punggung tangan pria tersebut. Sebentar, namun cukup
menggetarkan hati Nafisah.
Adzan Maghrib memisah pertemuan mereka. Sebelum siluet Nafisah dan
Farhan menghilang di ujung jalan, pria itu sempat membalas lambaian tangan Farhan.
***
Dua minggu berlalu dengan cepat. Toko buah itu selalu tutup
akhir-akhir ini. Senyap tak ada kabar. Terakhir kali Nafisah dan anaknya ke sana,
seorang perempuan paruh baya yang selalu membersihkan toko itu menghampirinya.
Menyerahkan kartu undangan berwarna merah muda.
“Siapa yang nikah,
Bu?” Nafisah bertanya dengan kalut.
“Dibuka saja mbak,
nanti juga tahu.” ucap perempuan itu seraya berlalu.
Perasaan tak mudah
dikekang dan disembunyikan. Semakin dipendam, semakin sakit layaknya tertusuk
seribu sembilu. Dan Nafisah bukanlah seorang perempuan yang bisa menyimpan
perasaannya dalam-dalam. Jauh di dasar ruang hatinya, ia berharap pria itu bisa
menjadi imamnya kelak. menjadi figur untuk putranya yang tak pernah mengenal
sosok seorang ayah.
Penyesalan selalu
datang di akhir cerita. Menjadi bumerang yang menghancurkan segalanya. Tepat di
atas lipatan kartu undangan, nama pria itu bersanding dengan nama mempelai
wanita.
***
Aroma laut tercium
pekat. Sesekali debur ombak menyentuh ujung kaki Nafisah dan anaknya, Farhan. Hamparan
pasir pantai terlihat begitu indah kala matahari menjemput senja dengan cahaya
pendaran jingga. Beberapa ekor burung camar terbang rendah mencari mangsa.
Ibu dan anak itu
menikmati senja dengan beberapa potong semangka sembari duduk di atas batang
kayu yang perlahan lapuk. Sesekali mereka tergelak. Melupakan kemelut hati yang
telah menyobek-nyobek impian mereka.
Tak jauh dari
mereka duduk, sepasang pengantin baru yang telah mengikrarkan cinta mereka
berjalan beriringan menyusuri pantai. Pria itu dengan perempuan yang bersedia
melengkapi hidupnya yang tak utuh.
Sebening embun
pagi, air mata Nafisah kembali berurai saat menyaksikan mereka bergandengan
tangan. Halal seutuhnya.
“Ummi kok nangis?”
ucap Farhan polos.
Perempuan itu
tersenyum kecut.
“Cinta bukan
sepotong semangka yang bisa menghilangkan dahaga dan laparmu. Cinta juga bukan
sepotong semangka yang bisa kau dapati dengan mudah di toko buah. Tapi, cinta
adalah rasa. Di mana ia menyempurnakan sesuatu yang tak seutuhnya sempurna.”
gumam Nafisah dengan suara rendah yang diredam angin laut.
Cinta adalah rasa, bukan sesuatu yang dipaksa
Dan cinta adalah pelengkap, terpilih dari hati yang tersingkap.
Raci, 09 Agustus 2015
Oleh : Afin Author Arifin
COMMENTS