“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki padahal hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.”...
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki padahal hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi
orang-orang yang yakin.”
(al Maidah: 50)
Kontroversi panjang soal “Pemikiran
Liberal” rasanya tak pernah habis untuk diperbincangkan. Mulai dari isu
kebebasan HAM, kearifan budaya lokal, sosio kultural dan gender termasuk LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender) yang belum lama ini kembali menghangat dalam
pemberitaan. Yang menarik adalah, bagaimana isu-isu pemikiran tersebut
dipertahankan pada fungsinya sebagai mesin dekontruksi aqidah umat? Dan apa
peran yang bisa dibawakan kaum muslimin menanggapi permasalahan tersebut?
Sekadar gambaran mengenai beberapa
stetmen miring yang dilontarkan oleh kaum liberal, berikut kutipan dari
Islamlib.com (situs resmi Islam Liberal):
Bagi saya, shalat pertama-tama
adalah tindakan personal, bukan komunal. Dia menandai komunikasi pribadi antara
Tuhan dan manusia. A conversation with God, kalau mau meminjam judul buku
“laris manis” karya Neale Donald Walsch. Perbedaan lain: Saya berpendapat,
shalat tidak boleh dipaksakan melalui polisi moral. Di Saudi Arabia, dan
sebagian (amat disayangkan!) juga ditiru di Aceh, seorang Muslim diwajibkan
shalat dan dikontrol oleh polisi moral. Begitu adzan tiba, polisi moral, atau
mutawwi’, akan berkeliling di seluruh sudut kota, mengawasi orang-orang yang
tak shalat.
Menurut saya, pemaksaan shalat
seperti ini hanya akan menciptakan hipokrisi atau kemunafikan massal. Shalat
adalah tindakan sukarela. Tak bisa dipaksakan. Forced worship stinks in God’s
nostrils, kata Roger Williams (1629-1676), seorang teolog Amerika dari daerah
New England. Ibadah yang dipaksakan (melalui aparatus negara), akan bacin di
hidung Tuhan. Shalat yang dilakukan karena takut polisi adalah shalat yang
munafik.
Dasar beribadah adalah voluntarism,
kesukarelaan. Ikhlas, dalam bahasa Quran. Praktek “prayer policing” atau
memata-matai orang yang tak shalat melalui polisi moral, seperti berlaku di
Saudi Arabia, adalah kebijakan yang buruk sekali. Tak layak ditiru di negeri
Muslim manapun.
Menanggapi stetmen di atas. Rasanya
ada beberapa hal yang dirasa sedikit rancu. Kerancuan tersebut perihal anggapan
atau pemahaman sepihak bahwa shalat adalah tindakan sukarela dan tidak bisa
dipaksakan. Memang nampak benar di satu sisi, namun tetap saja tidak memberi
arti pembenaran di sisi yang lain. Apalagi jika stetmen tersebut tiba-tiba
diperkuat dengan pernyataan Roger William sebagai seorang teolog protestan asal
Amerika.
Kerancuan pertama dipicu pendapat
yang menyalahi kesepakatan bahwa shalat merupakan ibadah wajib bagi tiap
muslim. Kalau dalam hal ini pembicara menyampaikan hal tersebut (sebagai
muslim) jika tidak, maka seharusnya dia melepaskan diri dari nama Islam liberal
menjadi liberal (tanpa Islam). Ditinjau dari sisi falasi (kesalahan dalam
logika), gagasan yang disampaikan temasuk jenis argumentatum ad baculum.
Dengan anggapan orang yang shalat bukan karena dasar kesukarelaan namun karena
takut diawasi oleh polisi moral. Dengan kata lain gagasan tersebut didasari
oleh penalaran yang sama sekali irasional dan tidak memperlihatkan hubungan
logis antara premis dan kesimpulan.
Sajian stetmen di atas dirasa sangat
mencolok dalam upaya pemaksaan konsep liberal sebagai nilai universal, terutama
jika harus mengatasnamakan HAM. Inilah kondisi nyata yang menuntut ketegasan
sikap. Di sisi yang lain, masih ada deretan pertanyaan yang harus diajukan umat
Islam sendiri, dan semua itu kembali pada pertanyaan dasar: apakah berarti kaum
muslim kian menyadari selama ini betapa berbahaya wabah pemikiran liberal untuk
umat Islam?
Otoritas akal di balik nama liberal
Penyematan liberal di belakang nama
Islam sebenarnya hanya akan mencoreng wajah Islam sebagai agama moderat. Bisa
dilihat dimana letak kerancuan ideologi ini secara sederhana. Islam yang
bermakna penyerahan atau ketundukan dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’ disandingkan deangan nama liberal yang memiliki artian kebebasan tanpa
batas. Bagaimana kedua makna yang saling kontradiktif itu bisa dipadukan dalam
satu nama?
Lebih lanjut, aktivitas nalar yang kritis harusnya ditopang
dengan kejernihan jiwa dan
akhlak sehingga mampu berdiri di atas nilai-nilai kesucian kian lumpuh karena otoritas
penafsiran yang tumbuh liar.
Di waktu yang sama, semangat
kebebasan yang disuarakan sebenarnya merupakan hal utopis untuk diterapkan. Karena memang hal tersebut terlalu
kontras dengan fitrah manusia sebagai hamba yang butuh akan petunjuk dari Allah
Swt. Kendati demikian, kelompok liberal masih berupaya mendekontruksi[1]
pemikiran umat dengan beragam ide radikal seputar otoritas[2] nalar
untuk mengkritisi wahyu sebagai sumber kebenaran. Akankah hal tersebut bisa ditolerir?
Jawabannya bergantung dengan sikap
kepedulian untuk memerangi wabah pemikiran liberal atau hanya duduk menyaksikan satu persatu
aqidah umat Islam menjadi korban mesin dekontruksi ala liberal. HQ
COMMENTS