“Pada hari kewafatan beliau, tidak hanya putra-putrinya yang merasa dirinya sebagai seorang yatim.Tapi semua anak didik dan para muhibbin...
“Pada hari kewafatan beliau,
tidak hanya putra-putrinya yang merasa dirinya sebagai seorang yatim.Tapi semua
anak didik dan para muhibbin beliau juga dilanda perasaan yang sama”
Selasa 26 Maret 2007, sebuah pemandangan ganjil
terlihat di salah satu ruas jalan tol di Jakarta. Ribuan sepeda motor dan beberapa
mobil tampak berkonvoi mengiringi sebuah mobil jenazah di pintu tol Jagorawi. Mereka
adalah para pelayat yang ikut mengantarkan jenazah seorang
ulama terkemuka ibu kota ke tempat peristirahatanya.
Masa Kecil Habib Abdurrahman Assegaf.
Ulama tersebut adalah Al Walid Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin
Abdul Qodir Assegaf. Beliau lahir pada tahun 1908 di Cimanggu, Bogor. Abdurrahman
kecil adalah seorang yatim yang menjalani masa kanak-kanaknya dalam kondisi
sangat memprihatinkan. Hal itu tercermin dari penuturan
salah satu putra beliau: “Walid
-berarti ayah, red- itu
orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata; ‘Barangkali dari seluruh anak yatim, yang
termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu,
tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”.
Meskipun beliau seorang
yatim yang miskin, Abdurrahman kecil
adalah sosok anak yang gigih dan giat dalam menuntut ilmu. maka tidak mengherankan jika beliau mendapatkan prestasi
cemerlang ketika masih belajar di Madrasah Jami’at Al-Khair. Selain prestasi akademik, akhlaqnya juga menjadi teladan bagi teman-temannya.
Disamping itu,
kemampuan berbahasa yang bagus juga turut serta mengantarkan beliau menjadi
penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya menguasai bahasa Arab, tapi
juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Masa Dakwah Habib Abdurrahman Assegaf.
Habib Abdurrahman adalah seorang guru sejati. Hampir seluruh masa hidup beliau
dibaktikan untuk dunia pendidikan. Setelah menginjak usia dewasa, Habib
Abdurrahman dipercaya sebagai guru di Madrasah Jami’at Al-Khair.
Ketika berusia 20
tahun, beliau pindah ke Bukit Duri Jakarta Barat. Dengan berbekal pengalaman yang cukup
panjang, beliaupun mendirikan Madrasah
Tsaqafah Islamiyyah yang hingga sekarang masih eksis di Jakarta. Madrasah ini menerapkan kurikulum mandiri yang didominasi
kitab-kitab karya sang pendiri sebagai silabus.
Selain itu, siswa yang berprestasi juga bisa loncat kelas.
Habib Abdurrahman Assegaf dan Keluarga.
Di mata putra-putrinya, Habib Abdurrahman dinilai sebagai sosok ayah yang konsisten dan
disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada mereka untuk menguasai berbagai disiplin ilmu dan belajar kepada banyak guru.
“Beliau konsisten
dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau
meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong
anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin
kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan
urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan
sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya…. sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar” kata Habib Umar, salah satu putra Habib Abdurrahman Assegaf merendah.
Dalam memotivasi anak-anaknya, beliau menanamkan kepada
mereka bahwa ilmu yang dimiliki oleh
beliau tidak dapat diwariskan, tapi harus dicari
dan diusahakan sendiri oleh mereka. Berkat kedisiplinan Habib Abdurrahman dalam mendidik putra-putrinya
dan motivasi yang ditanamkan pada diri mereka, putra dan putri beliau sukses menjadi
ulama yang disegani dan berpengaruh di masyarakat.
Sembilan dari
22 orang keturunan beliau yang
masih hidup saat ini (lima putra dan tiga
putri)sukses berdakwah di daerahnya masing-masing. Mereka adalah Habib Muhammad (pemimpin
pesantren di kawasan Ceger, Jakarta Timur), Habib Ali (pemimpin Majelis Taklim
Al-Affaf di wilayah Tebet, Jakarta Selatan), Habib Alwi (pemimpin Majelis
Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri, Jakarta Barat), Habib Umar (pemimpin
Pesantren dan Majelis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri, Jakarta Barat), dan Habib Abu Bakar (pemimpin Pesantren
Al-Busyo di Citayam, Bogor). Sementara itu, tiga putrinya pun mempunyai jamaah
tersendiri.
Karya-Karya Habib Abdurrahman Assegaf.
Habib Abdurrahman adalah sosok yang sangat disiplin, sederhana dan
ikhlas. Kedisiplinan beliau tidak hanya dalam hal belajar dan mengajar, tapi juga dalam soal makan. Habib
Ali, salah seorang putra beliau bercerita: “Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya.
Dimanapun ia selalu makan tepat waktu”. Selain itu, beliau juga selalu siap menolong siapa saja yang
membutuhkan bantuannya.
Habib Abdurrahman adalah sosok alim
yang produktif dalam berkarya. Selain mendirikan
Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, beliau juga memiliki
banyak tulisan. Kitab-kitab tulisan beliau tidak hanya terbatas pada satu macam disiplin ilmu saja, tapi mencakup berbagai macam disiplin ilmu. Selain kitab berbahasa Arab, beliau juga
memiliki karya berbahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab (dikenal
dengan pegon, red).
Karya-karya beliau antara lain; Hilyatul Jinan fi Hadyil Qur’an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu
hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan hanya digunakan untuk kepentingan para
santri di Madrasah Tsaqafah Islamiyyah asuhan beliau.
Karamah Habib Abdurrahman Assegaf.
Sebagai alim besar,
Habib Abdurrahman dikenal memiliki beberapa karomah. Di antara karomah Walid terlihat ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Busyro
di Bogor sekitar tahun 1990. Di
daerah tersebut, sebelumnya
sangat sulit mencari sumber air bersih. Ketika Habib Abdurrahman hendak membuka majlis Taklim itu, beliau bermunajat kepada Allah swt. guna memohon petunjuk lokasi sumber air.
Tak lama kemudian,
datanglah seorang lelaki misterius sambil membawa cangkul dari
tempat yang tidak diketahui asalnya. Tanpa ada komando dari siapapun, lelaki tadi dengan serta merta mencangkul tanah di dekat rumah
Habib Abdurrahman.
Setelah selesai mencangkul, kemudian ia berlalu dan tanah bekas cangkulan tadi ditinggal serta dibiarkan begitu saja. Tidak lama kemudian, merembeslah air dari tanah bekas cangkulan tersebut. Sampai kini, sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh
warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro.
Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki pencangkul tersebut adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Wafatnya Habib
Abdurrahman Assegaf.
Suatu hari, seorang
santri Darul Musthafa Tarim asal Indonesia mendapat pesan dari Habib Abdullah
bin Muhammad bin Alwi Syahab, seorang ulama besar disana. “Saya mimpi bertemu
Rasulullah saw. tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman
bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan,
mulai saat ini jangan jauh-jauh dari walid (Habib Abdurrahman
Assegaf, red)”, begitu isi pesan tersebut.
Mendapat pesan tadi, santri itu kemudian menelepon keluarganya di Indonesia hingga akhirnya kabar dari ulama Hadramaut
itu diterima keluarga Habib Abdurrahman di Jakarta.
Selang seminggu kemudian, pesan tersebut menjadi
kenyataan. Tepatnya pada hari senin
jam 12.45 WIB, tanggal 7 rabiul Awal 1428 H atau
bertepatan dengan tanggal 26 Maret 2007, Al-Alamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman Assegaf wafat dalam usia kurang lebih 100 tahun.
Acara pelepasan jenazah
dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga yang diwakili oleh Habib Ali bin
Abdurrahman Assegaf. Setelah mengucapkan terima kasih dengan nada sendu kepada
para pecinta Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang bertakziah dan
membantu proses pengurusan jenazah, putra kedua Habib Abdurrahman tersebut
mengungkapkan beberapa keutamaan-keutamaan almarhum.”Beliau rindu kepada
Rasulullah saw. Beliau ungkapkan rasa rindu itu lewat sholawat-sholawat yang
tak pernah lepas dari bibirnya setiap hari.” Katanya.
Puluhan ribu pelayat
yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi
ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.“hari ini,
tidak seperti hari-hari yang lalu, kita berbicara tentang bagaimana memelihara
anak yatim. Tapi, kali ini kita semua menjadi anak-anak yatim” kata Habib Ali,
yang mengibaratkan hadirin sebagai anak yatim. Betapa tidak, Habib Abdurrahman
dianggap sebagai orang tua.Tidak hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah.
Jasad mulia Habib Abdurrahman
disholatkan di depan kediaman beliau dengan Imam Habib Abdul Qadir bin Muhammad
Al-Haddad Al-Hawi Condet. Sejurus kemudian, iring-iringan jenazah mulai
bergerak menuju pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang Bogor.
Setelah sampai, jenazah dimasukkan ke liang lahat sambil
terus diiringi dzikir yang tak henti dari para jemaah. Mudah-mudahan Allah swt.
mengumpulkan beliau bersama Nabi Muhammad saw. Semoga Allah swt. memberikan taufiq
kepada kita semua untuk meneladani beliau dan menghadiahi kita
pengganti-pengganti Al-Walid Al-Habib
Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, Amin. (ykf)
COMMENTS