Cina, sebuah negeri dengan peradaban yang berkembang pesat. Bahkan Rasulullah pernah menyeru pada kaum muslim untuk menuntut ilm...
Cina,
sebuah negeri dengan peradaban yang berkembang pesat. Bahkan Rasulullah pernah menyeru pada kaum muslim untuk menuntut ilmu di negeri ini dalam salah
satu sabdanya. Betapa tidak?
Begitu memasuki negeri ini, kita akan melihat betapa
indah sebuah kedamaian, sifat kepedulian dan moralitas yang tinggi. Itulah yang membuat peradaban
di negeri ini dapat berkembang dengan baik.
Yisilan Jiao, sebuah istilah yang digunakan masyarakat CIna
untuk menyebut agama Islam. Sebagian dari mereka mempercayai
bahwa Yisilan Jiao adalah sebuah agama yang sesuai dengan peradaban mereka.
Mengajarkan perdamaian, moral yang baik juga sifat kepedulian sosial. Oleh
karenanya, ajaran ini mudah diterima oleh sebagian masyarakat pada waktu itu.
Pada tahun kedua pemerintahan kaisar Yuang Way dari
Dinasti Tang (31H/651M), 15
delegasi muslim yang
diutus oleh Khalifah
Usman bin Affan berhasil mendarat di Kanton (sekarang Guang Zhou).
Kemudian meneruskan perjalanan hingga mereka sampai di ibukota Shang An (sekarang
Sian). Dalam ekspedisi Ta shih
ini, mereka datang ke Cina membawa misi diplomatik. Sang Kaisar pun datang dan
menyambut mereka dengan hangat. Bahkan, mereka diijinkan untuk membangun sebuah tempat peribadatan. Masjid
pertama yang menjulang di bumi Guang Zhou.
Di
akhir pemerintahan Dinasti Tang, tercatat bahwa orang asing yang menetap di
Cina pada saat itu mencapai 120.000 orang.
Delapan puluh persen berasal dari Arab muslim, selebihnya merupakan imigran Persia, Nasrani dan
Yahudi. Karena melonjaknya populasi muslim pada abad
kedelapan, kaum muslim Cina (dikenal dengan sebutan Hui) mendapatkan hak untuk memilih
pemimpin dan mengatur wilayah mereka
sendiri.
Hubungan
antara Islam dan Cina di masa Dinasti Umayyah hingga Dinasti Abbasiyah
berlangsung dengan ramah dan hangat. Baik melalui jalur perdagangan laut, darat
(jalur sutera) maupun hubungan pernikahan dengan suku etnis lokal.
Banyak suku Han (imigran Arab) maupun dari
Persia yang memasuki pelosok negeri tirai bambu ini. Mereka menikah dengan suku
asli Hui, dan membentuk sebuah komunitas muslim di sana. Akhirnya, suku Hui Chi resmi menjadi suku pertama di Cina yang memeluk Islam.
Yisilan
Jiao semakin menyebar luas. Setelah mayoritas dari suku Hui Chi memeluk agama Islam,
mereka semakin giat mengenalkan ajaran murni itu kepada sanak saudara. Berbeda
lagi dengan Kanton. Kota itulah yang menjadi gerbang masuk Yisilan Jiao.
Mayoritas pedagang Arab maupun Persia yang menggunakan jalur laut pasti singgah
di sana. Tak berbeda dengan muslim di Suku Hui Chi, mereka juga menikahi
wanita-wanita pesisir dan membangun keluarga muslim di sana. Memberikan dukungan demografik yang kuat kepada
komunitas muslim pertama di Cina. Sementara sebagian muslim lainnya menyebarkan
Islam hingga sampai di Hung Chu, garis pantai sebelah utara Cina.
Selain menyebarkan ajaran Yisilan Jiao, pengembara-pengembara muslim dari Kanton juga
membangun masjid dan sekolah-sekolah di setiap daerah yang disinggahi. Namun
tujuh tahun setelah penyebaran Yisilan Jiao, sejumlah pemberontak negara
membakar kota hingga menewaskan 100.000 muslim. Kekaisaran Dinasti Tang juga
runtuh pada tahun itu, hingga Dinasti Siung mengambil alih pemerintahan.
Malapetaka itu tidak
menjadikan Islam surut. Justru di awal pemerintahan Dinasti Siung, sebanyak 86 delegasi
khalifah diutus kembali oleh khalifah yang menjabat saat itu. Selain
menjalankan hubungan diplomatik, mereka juga membawa misi keagamaan. Di tahun
itu juga, para imigran muslim semakin bertambah. Mereka singgah di kota-kota
satelit yang berada di dekat pelabuhan. Tak hanya itu, mereka juga membangun
sebuah komunitas muslim hingga sang Kaisar memberikan hak preogratif untuk
memilih pemimpin dan menentukan kebijakan-kebijakan di wilayah mereka sendiri. Seperti
yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Dinasti Tang terhadap Hui.
Eksistensi
Islam dan Tiongkok di masa pemerintahan Mongol semakin kokoh. Dinasti Yuan banyak memberdayakan Hui (muslim Cina) dalam
pemerintahan maupun militer. Salah satunya adalah Saidian
Chi (Say Dian Chih/Sayyid Shini/Sayyid Syamsuddin), seorang muslim yang menempati posisi strategis pemerintahan sebagai gubernur di Yunnan. Pada tahun itu juga, muslim Arab dan Persia semakin
menyebar luas di daratan Cina.
Semakin tahun, Yisilan Jiao semakin
dihormati dan dimuliakan. Sebanyak
5.500 muslim dari Bukhara (sebuah
kota di Asia Tengah) didatangkan oleh kaisar Dinasti
Song untuk tinggal di sebelah
utara Beijing. Semua itu tak lain
karena kesetiaan dan pengabdian pejuang muslim terhadap pemerintahan saat itu.
Bangsa Mongol menggunakan jasa
orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu
itu, banyak Hui yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana muslim mengkaji astronomi
dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek muslim juga membantu mendesain ibukota Dinasti
Yuan, Khanbaliq.
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di
lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal muslim terkemuka, termasuk
Lan Yu Who. Pada tahun 1388, Lan sebagai pemimpin
pasukan dari Dinasti Ming berhasil menaklukkan Mongolia.
Tak lama setelah itu, muncullah Laksamana Cheng Ho. Seorang pelaut muslim yang handal.
Pemerintahan
beralih ke tangan Dinasti Ming (1368-1644). Pada masa itulah Islam mencapai
puncak kejayaannya. Ibrahim Tien Ying Ma (pengamat
sejarah Islam di Tiongkok) menyebutkan bahwa istri kaisar
pertama Dinasti Ming adalah seorang muslimah yang bernama Ratu Ma (Ma
merupakan nama keluarga muslim yang diambil dari kata Muhammad). Empat dari
enam panglima pendukung
proses revolusi yang melahirkan Dinasti Ming juga merupakan panglima-panglima muslim.
Ia juga berargumen bahwa kaisar pertama Dinasti Ming, Chu Yuan Chang dan
kaisar-kaisar Ming berikutnya menganut agama Islam. Walaupun mereka tidak menjadikan
Islam sebagai agama resmi negara.
Kejayaan umat Islam berakhir dengan
masuknya paham komunis di awal tahun 1955. Di era ini, Islam banyak mengalami kemunduran. Tak hanya
itu, muslim Cina juga mendapatkan berbagai tekanan dari para pendukung komunisme.
Masjid-masjid dibakar, para imamnya juga disingkirkan oleh pemerintah komunis.
Hingga hal itu membuahkan Reformasi Keagamaan (1958) dan Revolusi Kebudayaan
(1966-1976).
Menurut para
sejarawan, hanya delapan masjid di provinsi Qinghai yang tersisa akibat
Reformasi Keagamaan. Padahal sebelumnya berjumlah 931 masjid. Jumlah imam dan
staf keagamaan di masjid-masjid pun tinggal 12 orang setelah tahun 1958. Dari
sebelumnya yang berjumlah 5940 orang. Pada masa Revolusi Kebudayaan, masjid dan
para imam di provinsi tersebut sama sekali tidak tersisa. Pelaksanaan kewajiban
Islam seperti shalat lima waktu dan pergi haji tidak diizinkan. Hal inilah yang
menjadi sebab muslim Cina mengalami keterputusan hubungan dengan negeri-negeri Muslim
lainnya dan menjadikan generasi muda mereka mengalami kesenjangan dalam
pemahaman Islam.
Walaupun terjadi berulang kali
kecaman dari rezim pemerintahan pada kaum muslim, tidak berarti semangat dakwah mereka terkikis habis.
Karena mereka yakin bahwa Islam telah hadir sejak awal di Cina dan telah
menjadi bagian integral serta memberikan kontribusi yang sangat penting dalam
perjalanan sejarah bangsa tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, Islam kembali
berkembang pesat. Hingga saat ini, banyak masjid-masjid menjulang di dataran Cina.
Keyakinan mereka serta kebebasan dalam menjalankan kewajiban keagamaan
dilindungi oleh undang-undang.
L_Muhajir
Referensi :
1.
Tien Ying Ma, Ibrahim,
Perkembangan Islam di Tiongkok (diterjemahkan oleh Joesoef Sou’yb), Jakarta:
Bulan Bintang, hlm. 24-27.
2.
Liu Baojun, loc.cit., hlm. 6-7.
COMMENTS