Salah satu ciri mental pemimpin yang baik adalah amanah. Maksud amanah adalah pemimpin itu seorang pekerja bukan sekedar penguasa. Peke...
Salah
satu ciri mental pemimpin yang baik adalah amanah. Maksud amanah adalah
pemimpin itu seorang pekerja bukan sekedar penguasa. Pekerja yang baik adalah
yang kuat mengendalikan ego pribadinya. Namun, pemimpin juga ‘penguasa’ dalam
arti, penguasa terhadap nafsru pribadinya sendiri. Sebagaimana Allah Swt
berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja, ialah orang yang kuat dan juga dapat dipercaya (amanah).” (QS. al Qashash :26)
Karena
itu dalam konsep Islam, seorang pemimpin sejati adalah yang kuat dalam pemimpin
bagi dirinya sendiri. Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan pemimpin itu
pertama-tama harus bisa memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu. Bagaimana ia mampu
mempimpin masyarakat jika tidak mampu mempimpin dirinya sendiri. Kepemimpinan
dalam perspektif Islam bukan sekedar bagaimana seseorang itu memanage
organisasi, tapi lebih penting dari itu bagaimana ia memanage konsepsi kehidupan
(Wan Mohd Nor Wan Daud dan Syed SM Naquib al Attas,The
ICLIF Leadership Competency Model: An Islamic Alternative, hal. 6).
Amanah
juga artinya kemampuan untuk menjaga dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Menjaga untuk rakyatnya dan menempatkan dirinya sebagai khalifatullah. Karena
itu, amanah sebenarnya merupakan pengamalan adab. Sedangkan adab, lahir dari
mental tauhid.
Imam al Ghazali menasihati bahwa yang pertama-tama harus dipahami seseorang sebelum
memimpin adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al Wilayah) dan bahaya-bahayanya jika tidak amanah. Inilah syarat
utama membangun mental dan mindset pemimpin Islami.
Kepemimpinan
akan menjadi sebuah kenikmatan jika ia bekerja untuk kemaslahatan manusia. Maka apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam
hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru
sebaliknya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya,
maka pemimpin yang demikian, menurut imam al Ghazali telah menempatkan
posisinya sebagai musuh Allah.
Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh
Allah sebagai Penguasa Sejati, maka inilah titik bahayanya seorang pemimpin.
Sebagaimana peringatan Rasulullah bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan
tiga perkara, pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka
sang pemimpin wajib berbagi kasih kepada mereka, kedua, apabila menghukumi
mereka maka berbuatlah adil, ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan
(tidak menyalahi janji) (Imam al Ghazali, al Tibr al Masbuk fii Nasihat al Muluk, hal. 4).
Berarti, mental pemimimpin yang adab itu harus alim
(berilmu). Seperti kisah Nabi Yusuf dalam firman Allah: “Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga
(amanah), lagi berpengetahuan (alim)." (QS:
Yusuf Ayat: 55)
Jadi, pemimpin yang menjaga adab adalah yang amanah, berani
menanggung resiko (syaja’ah) dan berpengetahuan (alim).
Adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan
adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada
Tuhan Yang Maha Benar, yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya
sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan
setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.
Imam al Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki beberapa
syarat. Di antaranya; seorang yang mampu berbuat
adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan maupun
kriminalitas dan tidak dzalim (tirani). Selain itu, seorang pemimpin harus
memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam
dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar dan sehat jasmaninya
(Imam al Ghazali, al Tibr al Masbuk fii Nasihat al Muluk)
Hal itu menunjukkan, kepemimpinan dalam Islam tidak
bersifat satu dimensi. Kepemimpinan ideal merupakan gabungan kualitas
insaniyah. Seseorang harus memimpin dirinya sendiri. Yakni kemampuan memimpin
jiwa, akal dan hawa nafsunya. Jika seorang memiliki ilmu dan terhias dengan
adab, maka dia akan mampu mengontrol secara rasional kehendak nafsu dalam
dirinya itu. Inilah yang dinamakan kepemimpinan bersifat multidimensional.
Mental tersebut terasas dari pengahayatan pandangan hidup
Islam (the worldview of Islam). Pandangan tersebut mewujud alam fikir
yang membentuk jaringan mental (mental networking) dengan memahami
hakikat manusia, makna hidup, adab kepada Tuhan, arti kekuasaan dan ilmu
pengetahuan.
Jaringan mental dalam alam pikir seorang pemimpin
tersebut membentuk sebuah mindset. Yaitu bagaimana memanage hal-hal ukhrawi, imani
dan rabbani menjadi pendorong utama bagi aktifitas duniawi. Begitu pula
sebaliknya, aktivitas memimpin menjadi pendorong utama bagi aspek-aspek
ukhrawi, rabbani dan adabi.
Sehingga, di samping memiliki
basicfaith (keimanan) yang kokoh dan mengetahui hakikat kekuasaan, maka
hal yang juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, biasanya
setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimpin
adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada
perbuatan saling bermusuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah.
Seorang pemimpin haruslah rela berdekatan dengan rakyat
kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat
kecil, al Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk
memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik daripada menyibukkan diri
beribadah sunnah.
Itulah yang disebut mental pemimpin yang pekerja bukan
penguasa. Yakni pemimpin yang amanah, beradab dan berilmu pengetahuan. Kata
Plato, pemimpin itu haruslah yang cerdas dan dengan kecerdasannya itulah maka
ia dapat menentukan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh negaranya agar menjadi negara
yang ideal.
Meski begitu, seorang pemimpin tidak harus yang paham
agama secara detil setingkat ulama. Namun bukan berarti seorang yang liberal
atau anti-agama bisa masuk ke dalam kriteria pemimpin ideal. Yang paling
penting adalah, seorang pemimpin tidak lepas dari Tuhannya.
Karenanya, seorang pemimpin tidak boleh meninggalkan
ulama. Namun, seorang pemimpin
harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’
(ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka
selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah
pada duniawi. Sebalikanya seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia
sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan pemimpin, ia memberi
nasihat murni ikhlas karena meminginginkan perbaikan dalam diri, negara dan
masyarakat.
Oleh:
Kholili Hasib S.Pd, M.Ud
COMMENTS