Alkisah, tiga sosok santri duduk dengan sikap khusyuk di hadapan pusara Baginda Nabi. Mereka merajut ikrar hendak mengamalkan kitab Bid...
Alkisah, tiga sosok santri duduk dengan sikap khusyuk di
hadapan pusara Baginda Nabi. Mereka merajut ikrar hendak mengamalkan kitab Bidayatul
Hidayah yang baru saja mereka khatamkan. Mereka bertiga adalah Sayyid
Abdurrahman bin Musthafa al Aydrus, Sayyid Syekh bin Muhammad al Jufri dan
Abdullah bin Muhammad Bagharib.
Niat mereka demikian tulusnya hingga Baginda Nabi berkenan menampakkan diri. Beliau duduk di tengah-tengah mereka dan memberikan wejangan, “Kalian bertiga
bakal memperoleh fath (singkapan rahasia ilmu). Wahai Syekh, pergilah ke
Malibar! Di sanalah fath-mu. Dan kamu Bagharib, pergilah ke Hadramaut. Fath-mu di sana. Sedang kamu Abdurrahman, pergilah
ke Mesir. Fath-mu ada di negeri itu.”
Mereka bertiga
menganggukkan kepala sebagai tanda patuh. Hanya saja ada sedikit ganjalan di
hati Sayyid Abdurrahman. Dengan sikap sopan, ia mengungkapkan kerisauannya,
“Duhai Rasulullah, di Mesir sana ada banyak ulama besar, bagaimana nantinya
bila mereka menanyaiku tentang berbagai persoalan agama?”
Baginda Rasulullah memaklumi kegundahan cucunya itu. Beliau
kemudian menghadiahi Sayyid Abdurrahman buku saku seraya berpesan, “Segala
persoalan yang ada di benak ulama Mesir terangkum dalam buku kecil ini. Apabila
kamu mendapat pertanyaan dari mereka, buka saja buku ini!”
Ketiga pemuda berhati mulia itu bergegas berangkat
melaksanakan titah Baginda Rasul. Syekh al Jufri bertolak ke Malibar dan
Abdullah bin Muhammad Bagharib menuju Hadramaut. Sementara itu Abdurrahman al Aydrus
berangkat ke Mesir yang menjadi pusat peradaban Islam kala itu. Di lingkungan al
Azhar saja, terdapat 300 ulama bertaraf mufti.
Ia tiba di negeri seribu piramid itu di ujung senja. Tak
mau membuang waktu, ia langsung mencari tahu tempat berkumpulnya para ulama.
Setelah bertanya, ia memperoleh petunjuk bahwa para ulama sedang ijtima
(berkumpul dalam majlis) di kediaman seorang ulama bergelar Syaikhul Islam.
Maka ia pun segera mendatangi tempat itu.
Setibanya di rumah Syaikhul Islam, Sayyid Abdurrahman
langsung didekap perasaan heran. Ia melihat para tamu di rumah itu ditempatkan sesuai kapasitas ilmunya.
Ruangan terdalam diperuntukkan para ulama sufi. Ruangan berikutnya untuk ulama
fikih. Ruangan berikutnya lagi untuk ulama ahli bahasa dan sastra. Begitu
seterusnya hingga ruangan terluar disediakan untuk masyarakat awam. Penempatan
seperti ini diatur sendiri oleh sang pemilik rumah.
Dengan percaya diri Sayyid
Abdurrahman langsung masuk ke ruangan paling dalam, yakni tempat para ulama
tasawuf. Para pakar tasawuf merasa terusik oleh kehadiran Sayyid
Abdurrahman yang mereka anggap sebagai tamu tak diundang.
“Ia bukan termasuk
golongan kita!” sindir salah satu dari mereka.
Sayyid Abdurrahman tahu diri. Ia mundur teratur ke ruangan para
ulama fikih. Dasar nasib. Di ruangan tersebut, ia mendapatkan perlakuan sama.
Dan terus demikian sampai ia terdampar di kelompok orang-orang awam.
Kala adzan maghrib
berkumandang, semuanya keluar menuju masjid jami’ al Azhar. Bukannya segera melaksanakan
shalat, mereka bedebat terlebih dulu untuk menentukan siapa yang paling pantas
menjadi imam. Syaikhul Islam yang menjadi penengah berkata, “Begini saja. Siapa yang mampu
menyebutkan seratus kesunahan takbiratul ihram, dia yang pantas menjadi imam.” Begitulah ia memberi keputusan tegas. Semua terdiam mendengar perkataan Syaikhul Islam. Suasana
menjadi hening sejenak lantaran masing-masing sibuk memikirkan jawaban.
“Aku bisa!” teriak Sayyid
Abdurrahman dari arah belakang. Semuanya kaget sekaligus keheranan oleh
teriakan itu. Namun belum lagi keheranan sirna dari wajah mereka, Sayyid
Abdurrahman menyebutkan satu per satu kesunnahan takbiratul ihram.
Bibir pemuda itu terus
menyebutkan kesunnahan takbiratul ihram hingga menembus angka seratus. Tapi ia
tak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan hingga melewati angka dua ratus.
Baru ketika akan memasuki angka tiga ratus, Syaikhul Islam buru-buru menghentikan.
“Cukup…cukup, kamulah
yang berhak menjadi imam!” ucapnya. Sayid Abdurrahman pun didaulat menjadi imam
di depan ulama-ulama berkaliber dunia itu.
Meski demikan, hati para
ulama Mesir masih belum puas. Mereka belum mau mengakui keilmuan Sayyid
Abdurrahman. Seusai shalat, mereka membuat semacam perhitungan untuk mengukur
kealiman anak muda itu. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rumit kepadanya.
Sementara itu Sayyid Abdurrahman tenang-tenang saja. Setiap ada pertanyaan diajukan
kepadanya, ia membuka buku saku yang dihadiahkan Baginda
Nabi. Jawabannya tentu
saja sudah tersedia di situ dengan detail.
Kemampuan Sayyid
Abdurrahman menjawab soal-soal yang
sulit dengan buku itu membuat seluruh ulama Mesir jadi penasaran. Buku macam apa yang
membuatnya dengan mudah menjawab seluruh pertanyaan yang
mereka ajukan? Mereka
kemudian meminta Sayyid Abdurrahman memperlihatkan
buku itu. Sayyid Abdurrahman menolak permintaan mereka karena takut buku berharga itu
bakal mereka rusak. Karena tak dipenuhi, akhirnya mereka merampas buku itu dari tangan Sayyid
Abdurrahman dengan paksa.
Pada saat itulah sebuah
peristiwa mengerikan terjadi. Sayyid Abdurrahman memperoleh hal (kondisi)
kewalian yang luar biasa. Perangainya yang tadinya kalem berubah menjadi ganas
dan menyeringai. Tangannya menyambar lampu-lampu masjid yang apinya sedang
menyala-nyala. Ia memakan lampu-lampu itu dengan lahapnya. Tak hanya itu. Ia kemudian
mengambil kitab-kitab dan karpet-karpet yang membentang untuk dimakan juga.
Semua orang ketakutan melihat pemandangan itu dan seolah tak percaya. Para
ulama Mesir segera mengembalikan buku saku itu kepada Sayyid Abdurrahman dan memohon maaf.
Akan tetapi Sayyid Abdurrahman
belum sadar juga. Amarahnya masih membara hingga ia tak merasakan keadaan di
sekelilingnya. Baru setelah beberapa lama, ia akhirnya tersadar.
“Apa yang telah
kulakukan?” tanyanya keheranan.
“Anda tadi melakukan ini
dan itu, akibatnya kita semua kegelapan sekarang,” jawab seseorang.
“Mana buku saku milikku?”
tanya Sayyid lagi.
“Ini….” Mereka langsung
memberikan buku itu.
Setelah menggenggam
kembali buku sakunya, Sayyid Abdurrhman membuka mulut lalu mengeluarkan lampu-lampu
yang masih menyala satu per satu dari mulutnya itu.
“Adapun karpet dan
kitab-kitab, ambillah di sana!” ucapnya sembari memberi isyarat dengan
tangannya.
Peristiwa itu membuka
mata para ulama Mesir bahwa Sayyid Abdurrahman bukan orang sembarangan. Ia
adalah salah satu orang yang ditunjuk Nabi menjadi khalifah beliau. Mereka
akhirnya tunduk dan bersedia menjadi muridnya. Sayyid Abdurrahman al Aydrus
wafat di Mesir. Makamnya diberi kubah dan menjadi tempat ziarah kaum muslimin
sampai saat ini.
COMMENTS