Proses pembentukan wacana Jawa minus Islam sudah dimulai sejak zaman kolonial Oleh: Arif Wibowo “Sejarah yang disusun penjajah ad...
Oleh: Arif Wibowo
“Sejarah yang disusun penjajah adalah racun.”
(Prof. Ali Hasymi)
Menurut Buya Hamka, pertemuan
dan dialog Islam dengan Jawa memang telah berlangsung sejak lama, dimulai sejak
kunjungan utusan Khalifah Mu’awiyah pada masa pemerintahan Ratu Sima di
Kerajaan Kalingga. Meski demikian, tidak mudah bagi para pendakwah untuk menaklukkan
Jawa. Sebab, bila dilihat dari periodisasi secara mundur ke belakang, menurut
Prof. Dennys Lombard Jawa mengalami tiga periodisasi yaitu (1) zaman modern,
dengan proses oksidentalisasi, (2) zaman Islamisasi, (3) Zaman Hindu-Budha.
Kompleksitas unsur
pembentuk kebudayaan Jawa inilah yang kemudian menyebabkan budaya Jawa belum
menemukan bentuknya yang pasti hingga kini. Kalangan cendekiawan Katolik,
Kristen, kaum kebatinan dan theosofi sampai sekarang masih terus berlomba
menyusun narasi kebudayaan Jawa dalam versinya masing-masing. Sayangnya, para
cerdik cendekia dan budayawan muslim sepertinya abai bertanding di ranah ini. Sehingga
secara pelan tapi pasti, wacana kebudayaan minus Islam kini secara perlahan menggeser peran sentral walisongo
yang selama berabad menjadi centre of excellent dalam kebudayaan Jawa”.
Kini Jawa lebih
mengakrabi Darmaghandul dan Gatholoco dibanding Sunan Kalijaga.
Tidak hanya itu, bahkan secara perlahan, Islam kemudian dinarasikan sebagai
penyebab kemunduran masyarakat Jawa. Surat yang ditulis seorang Missionaris
Jesuit, Pater M van Elzen, secara explisit menjelelaskan pandangan ini.
Dulunya, Jawa sedikit
lebih maju daripada sekarang. Sejak tahun 1382, ketika Islam masuk, Jawa terus
mengalami kemunduran. Saya dapat mengerti dengan baik sekarang, mengapa Santo
Fransiscus Xaverius tidak pernah menginjakkan kakinya di Jawa.
Tidak hanya itu, aneka
sastra anonim yang menanamkan kebencian kepada Islam dan walisongo muncul
secara masif di akhir abad 19 dan awal abad 20, sebuah periode sejarah yang
sering disebut sebagai abad missi, karena pada periode itu secara resmi
pemerintah kolonialis Belanda mendukung gerakan missi dan zending dalam upaya
kristenisasi masyarakat Indonesia. Salah satu sastra anonim yang masih
diproduksi sampai sekarang adalah serat Darmagandhul.
G. W. J. Drewes, seorang
orientalis berkebangsaan Belanda, ketika mengomentari serat Darmagandul menyatakan
:
Seluruh isi serat ini
menggambarkan penolakan terhadap Islam sebagai agama yang asing bagi orang
Jawa. Ia juga dipandang sebagai agama yang telah merebut kekuasaan dengan cara
yang tercela dari para wali, orang-orang suci yang dimuliakan bagi orang-orang
Islam Jawa.
Proses pembentukan wacana
Jawa minus Islam sudah dimulai sejak zaman kolonial, dan nampaknya saat ini sudah membuahkan hasil. Dalam
buku-buku mutakhir tentang Jawa, kita dapat melihat bahwa Islam diposisikan
sebagai agama asing yang hanya merupakan kulit ari bagi masyarakat Jawa,
sedangkan yang menjadi agama sejati masyarakat Jawa adalah Kejawen. Oleh karena
itu, menjadi sebuah keharusan bagi kaum muslim Jawa untuk menyusun sejarahnya
sendiri dan membongkar wacana pseudo ilmiah yang dikonstruk para missionaris
dan cendekiawan kolonial di masa lalu.
Orang Jawa Memilih Islam
Oleh karena itu, berbeda
dengan kebanyakan orang yang menjadikan contoh kemegahan candi Borobudur dan
Prambanan, sejarawan seperti Dannys Lombard dan Ahmad Mansur Suryanegara justru
menunjukkan bahwa bangunan-bangunan batu besar itu telah menyebabkan trauma
tersendiri bagi masyarakat Jawa. Hal ini dikarenakan kehidupan masyarakat
tersita hanya untuk membangun candi yang mengakibatan keluarga, sawah, ladang
dan ternaknya jadi terabaikan.
Keruntuhan Kerajaan Hindu
dan Budha di Jawa dan penghentian pembangunan gedung-gedung batu ternyata disebabkan
karena kerajaan tersebut ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri, yang lebih
memilih tinggal di kota-kota pelabuhan atau wilayah sekitarnya.
Selain itu, Hindu dan Budha
di Jawa sudah pernah mengalami fase kejatuhannya ketika aliran Tantrisme
berkembang di kalangan para bangsawan Jawa. Dalam Kitab Pararaton
menyebutkan, bahwa Prabu Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singhasari yang biasa
dipanggil dengan julukan ”Bathara Siwa-Budha” (penganut Bhairawa Tantra).
Kepercayaan Siwa-Budha ini menghasilkan bentuk ritual yang disebut sebagai
upacara Ma-lima. Menurut S. Wojowasito, bentuk upacara (ritual) dari
sekte ini sangat mengerikan.
Lebih lanjut Prof.
Rasyidi menjelaskan, upacara ma-lima itu terdiri dari matsiya
(memakan ikan gembung beracun), manuya (memakan daging dan minum darah
gadis yang dijadikan kurban), madya (upacara ritual dengan meminum
minuman keras hingga mabuk), muthra (ritual tari sampai ekstase tak sadarkan
diri), dan maithuna (persetubuhan secara masal). Upacara itu dilakukan
di tanah lapang yang disebut setra.
Pendapat Prof. De la
valle Poussin yang menyatakan bahwa praktik Maithuna tidak dilaksanakan
secara sungguh-sungguh dibantah oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Sebab, Maithuna
ternyata banyak dipraktikkan secara konkret. Maithuna tidak dianggap
berdosa sebab pelakunya dianggap telah menjadi dewa.
Dalam penasbihan seorang
raja, dibutuhkan korban lebih banyak yakni mencapai ratusan orang. Adityawarman, seorang raja
dari kerajaan Melayu (yang menjadi menantu raja Majapahit) menerima
penasbihannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan
bangkai, tertawa minum darah, menghadapkan kurban manusia yang menghamburkan
bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat semerbak baunya.
Pengorbanan manusia dalam
jumlah massal juga terjadi saat meninggalnya raja Blambangan, Tawang Alun.
Tawang Alun II banyak
ditulis dalam arsip Belanda, justru pada masa akhirnya tahtanya. Yakni ketika
upacara ngaben jenazahnya yang digelar secara spektakuler. Alkisah, dalam
upacara sebanyak 271 isteri dari 400 isteri Tawang Alun ikut membakar diri
(sati).
Praktik-praktik keagamaan
yang bertumpu pada selera para penguasa itu menjadi semacam trauma tersendiri
dalam masyarakat Jawa. Sehingga kemudian sejarah mencatat eksodus masyarakat
Jawa dari pusat-pusat kerajaan Hindu dan Budha yang tidak memberinya kehidupan
yang aman, ke daerah-daerah pelabuhan mengantarkan mereka bersentuhan dengan
para pedagang muslim dan para ulama. Egalitarianisme Islam dan struktur
keimanan yang mudah dimengerti menyebabkan rakyat Jawa berbondong-bondong masuk
Islam. Periode ini merupakan gelombang pertama Islamisasi di Pulau Jawa. Dalam
pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di Pulau Jawa,
yaitu tahap pertama dimana orang menjadi Islam sekedarnya, yang selesai pada
abad ke 16, dan tahap kedua adalah tahap pemantapan untuk betul-betul menjadi
orang Islam yang taat yang secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan
yang lama.
Islam dan Proses Pemberadaban
Apabila kita mendengar
istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, yakni aja nglakoni
ma lima (jangan melakukan perbuatan ma lima), pada awalnya ini adalah
seruan para ulama kepada masyarakat Jawa untuk tidak lagi melakukan ritual
Bhairawa Tantra. Sebab ritual itu tidak hanya jahat kepada Tuhan tapi juga
jahat pada manusia. Adapun istilah aja nglakoni ma lima, yang diartikan aja
madat, aja madon, aja minum, aja main lan aja maling (jangan menghisap
candu, jangan berzina, jangan mabuk, jangan berjudi dan jangan mencuri) yang
menjadi standar dasar moralitas manusia Jawa adalah penerjemahan ma lima
setelah masyarakat Jawa mengalami Islamisasi.
Sementara itu Nyadran
dalam perkembangannya diadakan di kuburan para leluhur dalam bulan arwah atau Ruwah,
yakni bulan Sya’ban, menghadapi bulan puasa atau Ramadhan. Ritualnya pun tidak lagi penyembahan kepada
arwah leluhur akan tetapi diganti menjadi ritual ziarah kubur yang bertujuan
mendoakan para leluhur yang sudah meninggal. Dalam kaitannya terhadap hubungan
manusia Jawa terhadap para leluhur yang sudah meninggal, menurut Nakamura dan C.C.
Berg, adalah wujud dari keberhasilan proses Islamisasi di Jawa.
Justru pada jantung
religius kaum abangan, yaitu di dalam kehidupan ritual, mereka betul-betul
tergantung pada pertolongan kaum santri. Hanya santrilah yang dapat memimpin
doa di dalam ritus yang paling sentral dari orang-orang abangan, yaitu slametan.
Juga santrilah yang dapat memimpin upacara ketika seorang abangan mengalami apa
yang disebut Malinowsky ‘krisis yang paling utama dan paling final dalam
kehidupan’, yaitu : kematian.
Tidak hanya Islamisasi
ritus keagamaan, bahasa dan pola hubungan dalam masyarakat, pola kepemimpinan
juga mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan dari Bahasa sansekerta
ke bahasa Jawa banyak mengadopsi istilah-istilah Islam, seperti adil, pikir,
rakyat, Sultan ataupun Islamisasi makna sembahyang yang bermakna sholat,
pasa bermakna shaum, suwarga bermakna jannah dan
yang semisalnya, adalah bukti bahwa eksistensi Islam menjadi pondasi bagi masyarakat
Jawa baru yang lebih beradab.
Adalah sangat beralasan
ketika Prof. Syed Naquib Al Attas menyatakan bahwa kedatangan Islam ke
kepulauan Melayu (termasuk Jawa di dalamnya) merupakan peristiwa yang paling
penting dalam sejarah kepulauan ini. Hal ini diamini oleh Dr. H. Roeslan
Abdulgani yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dengan membawa tamaddun
(peradaban), kemajuan dan kecerdasan. Kesimpulan yang berhadapan secara
diametral dengan pendapat para cendekiawan kolonial dan para pengikutnya yang
setia mengamini hingga kini.
DAFTAR
PUSTAKA
Drewes, G.W.J,
1966, The struggle Between Javanism and Islam as Illustrated by Serat
Darmogandul. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 122
Ekadarmaputera,
PhD, 1991 (cet. 3), Pancasila Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan
Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Fauzan Saleh,
Dr, 2004, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad
XX. Serambi, Jakarta
Dr. Hamka, 2005
(cet. V), Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional, Singapura
Hasto
Rosariyanto, F, 2009, Van Lith Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Penerbit Univ.
Sanata Dharma, Yogyakarta
Roeslan
Abdulgani, Dr, 1993, Islam Datang Ke Nusantara Membawa
Tamaddun/Kemajuan/Kecerdasan, makalah pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke
Indonesia di Banda Aceh 10 – 16 Juli 1978.
Rasyidi, Prof.
Dr, 1967, Islam dan Kebatinan, Penerbit Bulan Bintang
Slamet Muljana,
Prof. Dr. 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam
di Nusantara, LKIS, Yogyakarta
Syed Naquib Al
Attas, Prof. Dr, 1986 (terj.), Dilema Kaum Muslimin, Penerbit Bina Ilmu,
Surabaya
Wojowasito, S,
1952 (cet. II), Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India,
Penerbit Siliwangi Jakarta
COMMENTS