Oleh : Ahmad Kholili Hasib S.Pd M.Ud Dalam pandangan paham sekularisme, politik berada di atas agama (Islam). Politik juga tidak ad...
Oleh : Ahmad Kholili Hasib S.Pd M.Ud
Dalam pandangan paham sekularisme,
politik berada di atas agama (Islam). Politik juga tidak ada sangkut-pautnya
dengan agama. Politik memiliki ruang, agama pun memiliki ruang tersendiri.
Kedua ruang tersebut harus dipisah. Maka, ceramah seseorang tokoh negara
beberapa waktu silam bahwa agama dan politik harus dipisah, merupakan seruan
yang tak patut. Karena mengajak orang meninggalkan agama dari politik.
Harvey Cox (1929) – tokoh gerakan
sekularisasi di Barat – menyatakan bahwa masa modern adalah zaman yang tidak
ada agama sama sekali, oleh karenanya perlu dijelaskan bagaimana berbicara tentang
Tuhan tanpa agama.
Problem dasarnya adalah worldview (pandangan
alam). Faham sekularisme keliru dalam memandang agama, sehingga salah
menempatkannya. Agama dipandang sebagai sesuatu yang sangat privat. Pun agama
adalah produk kebudayaan. Sehingga Dalam worldview sekular, agama itu tidak
sakral, bersifat individual, tidak penting dan merupakan produk kebudayaan. Sedangkan dalam worldview Islam, agama Islam itu suci
karena tanzil dari Allah Swt, bersifat universal, merupakan
sumber moral (value) dalam segala aspek dan sumber pembentuk kebudayaan
Islam.
Dengan demikian, worldview sekular
tidak bersesuaian dengan nilai Pancasila. Sebab, pandangan alam sekular akan
menantang sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Worldview Islam–lah
yang sesuai dengan Pancasila. Apalagi memang, Pancasila disusun agar sesuai
dengan agama Islam. Ia telah dirancang menuruti apa yang telah menjadi tradisi
Muslim di Indonesia.
Proyek sekularisasi politik tidak akan
membawa dampak positif bagi negara Indonesia. Dalam Encyclopedic World
Dictionary, sekularisme adalah keyakinan terhadap pemisahan hal-hal yang
duniawi dari hal-hal yang agamawi (dikutip dalam buku Sekularisasi
Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholis Madjid, hlm.26).
Kenapa sekularisasi politik tidak sesuai
dengan nilai-nilai tradisi Indonesia yang religius itu? Mari kita simak dengan
mengambil pelajaran dari negara-negara Barat yang sekular.
Sebuah portal berita www. secularism.org.uk yang mengkampanyekan ide-ide sekularisme
di Inggris melaporkan hasil riset tahun 2012 bahwa, di Inggris dan Amerika,
peran agama-agama makin dibuang dalam kehidupan. Portal di bawah naungan National
Secular Society itu menulis “Ateisme meningkat menjadi 42% di Inggris
terhitung sejak tahun 1963”.
Lebih lanjut, National Secular
Society melaporkan, 54% penganut Kristen datang ke Gereja karena alasan
sejarah dan arsitektur kuno. Sementara hanya 15% yang datang ke Gereja karena
alasan spiritual. Keadaan serupa hampir merata terjadi di negara-negara besar
Eropa. Diperkirakan, dua puluh tahun lagi agama Kristen tinggal nama di Negara
Barat. Inilah dampak kerasnya serangan sekularisme menghancurkan agama-agama.
Cara-cara membuang agama dilakukan kaum
sekular. Salah satu caranya dengan membuang agama dari politik. Cara ini
barangkali cukup mudah. Dengan alat media massa, maka dibuat rekayasa fakta bahwa
agama biang rusuh, sumber radikalisme, sumber keterbelakangan, pemecah belah
bangsa dan anti ke-bhinnekaan. Semua itu rekayasa belaka tidak pernah terbukti.
Jika agama dipisahkan dengan politik,
maka politik akan kehilangan etika, adab dan nilai-nilai keluhuran lainnya.
Sebabnya, sumber etika, adab dan nilai-nilai keluhuran itu dari agama. Politik
yang minus agama akan menjadi brutally politic. Semua
akan berkata sesuka nafsunya. Politikus akan bertindak tanpa batas-batas nilai
ketuhanan.
Dalam konteks Indonesia, pemisahan agama
dan politik tidak tepat. Jauh dari nilai luhur kebangsaan Indonesia. Nilai
luhur kebangsaan Indonesia dibangun atas sila pertama Pancasila, Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dalam pandangan alam Islam, politik itu
berada di bawah dan bagian daripada agama. Sedangkan pemimpin politik atau
pemimpin agama adalah jabatan biasa yang ditipkan oleh Allah Swt yang dibutuhkan
oleh warga negara. Politik bukan sekedar ber-partai, tetapi merupakan manajemen memimpin suatu kelompok
masyarakat. Jadi, politik bukan sekedar cara merebut kekuasaan. Itu pandangan
politik yang sempit dan sekular.
Tujuan mengangkat
pemimpin pun untuk maslahah dunia dan akhirat. Imam al-Ghazali mengatakan
pendirian negara dengan pemimpinnya dalam rangka memenuhi kebahagian akhirat manusia (Imam al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, jilid I, hal. 26).
Pendirian negara
dan mengangkat imam menurut Imam al-Ghazali tujuan utamanya adalah menghasilkan
kebahagiaan hakiki – yakni kebahagiaan di akhirat. Hal ini sebenarnya sejalan dengan
misi kenabian. Negara dan politik merupakan bagian penting terutama dalam tema
sentralnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Merupakan sebuah
keharusan bahwa agama adalah poros dan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak
ada penjaganya pasti akan hancur (Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam .
terj. hal.102). Syari’ah yang tidak mendapat legitimasi dari negara untuk
diterapkan, maka syariah tersebut kehilangan keefektifan dan kesempurnaan.
Jadi, politik harus
diletakkan pada tempatnya. Ia berada di bawah naungan agama yang terikat-rapat.
Ia adalah seni memimpin, bukan sekedar meraih kekuasaan. Misi politik
dalam Islam berdimensi dua; maslahah dunia, dan maslahah akhirat. Partai
politik merupakan sekedar salah satu alat saja. Bahkan bukan sesuatu yang pokok.
Dengan demikian,
ketaatan kepada Tuhan tidak boleh dikalahkan oleh ketaatan kepada parpol. Tuhan
dalam agama Islam adalah otoritas tertinggi. Ketaatan pada bangsa juga semua
berdasarkan ketaatan kepada Tuhan. Bukan sebaliknya. Otoritas Tuhan berada di
atas otoritas negara, partai dan pemimpin. Inilah pandangan Islam yang telah
dikenalkan Rasulullah Saw sebagai rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam
bisshowab.
COMMENTS