Di abad pertengahan (Abad VII H) Umat Islam masih dibawah pemerintahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Ketika pa...
Pada saat itulah
Ibnu Alqami dan Nashruddin Affandi, dua orang tokoh Syi’ah yang merasa bahwa
golongan mereka tersingkir dari pusat kekuasaan, lebih memilih memupuskan
tumpuan satu-satunya umat Islam waktu itu. Mereka tidak hanya membantu
memberikan informasi kepada pasukan Jenghis Khan, tapi juga menggembosi pasukan
muslim dari dalam. Bagi mereka; lebih baik Mongol menang daripada Sunni terus berjaya dibumi
ini. Dan bumi Baghdad pun terluka; darah tumpah membanjiri kota yang menjadi
pusat peradaban dunia selama lebih setengah millenium.
Ironis memang, atas
nama fanatisme, Nashruddin Affandi cs menjadi mitra utama pasukan kuffar
untuk menghancurkan saudara seiman mereka. Dan nasib Baghdad ini adalah satu
dari sekian sabda kehancuran akibat fanatisme pula. Fanatisme, ma fanatisme
? wa ma adraka ma fanatisme ?
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), fanatisme adalah keyakinan yang sangat kuat terhadap
ajaran agama, politik atau budaya. Sedang menurut Ibnu Mandhur dalam Lisan
al-Arab, ta’ashub (fanatik)
adalah keberpihakan hati yang sangat
kuat kepada satu golongan atau ajaran. Sedangkan al Munjid memaknainya sebagai
perasaan emosional yang kuat untuk membela klannya sendiri.
Dari definisi diatas,
jelas bahwa fanatik pada dasarnya adalah sifat yang sangat terpuji. Dengan
fanatisme, kehormatan bahasa, budaya ataupun ideologi suatu bangsa akan tetap
terjaga. Fanatik kepada negara, misalnya, akan melahirkan jiwa nasionalisme
yang tinggi. Begitu pula fanatik kepada bahasa dan budaya bangsanya, akan
menjadikanya bahasa dan budaya yang kuat, terhormat dan disegani oleh bangsa
lain. Hanya orang yang berjiwa yang kerdil dan tidak berkepribadianlah yang
tidak memiliki fanatisme.
Agaknya, itulah inti dari
tulisan Syekh Mushtafa al Ghalayainy dalam kitabnya idzah an Nasyi’in. Dalam
artikelnya tentang ta’ashshub, al Ghalayainy memuji sifat ini sebagai
suatu hal yang indah, jalan yang lurus dan gaya hidup yang benar. Sifat ini
sebagai suatu hal yang indah, jalan yang lurus dan gaya hidup yang benar. Sifat
inilah yang menyebabkan bahasa, budaya dan tradisi suatu bangsa terpelihara,
bertahan dari serangan bahasa, budaya dan tradisi bangsa lain. Beliau berseru,
“Fanatiklah terhadap golongan, bahasa, agama dan ajaran sosial-politik
bangsamu”. Hanya saja pertanyaannya adalah, bagaimana seharusnya kita
mengekspresikan makna fanatisme? Di sinilah pertarungan antara logika dan emosi
mengemuka. Pertarungan ini pada akhirnya akan menghasilkan out-put yang sangat
berbeda : fanatik yang adil dan yang tak adil
Fanatisme “tak
adil” sebagai wujud dari fanatisme yang
didasari oleh emosi, akan lebih mengarah kepada fanatisme ekstrem tanpa batas :
fanatisme yang merobek jarak antara yang haq dan yang bathil, antara kawan dan
lawan. Ibnu Alqami dan Nashruddin affandi, dalam tragedi Baghdad, seperti tidak
pernah mengenal nama ukhuwah islamiyyah yang ditanam oleh Rosullah saw
kepada para Muhajirun dan Anshar. Mereka bergandeng tangan dengan musuh yang
sesungguhnya untuk menghancurkan ‘musuh’ yang pada hakekatnya adalah saudaranya
sendiri: atas nama fanatisme. Nasib Baghdad ini setali tiga uang dengan tragedi
Andalusia (Spanyol); berakhir karena atas nama fanatisme. Fanatisme model
inilah yang mendapat kecaman keras dari Rosulullah saw.
Sedang fanatisme
dalam batas tertentu dan dibackup oleh logika yang sehat (bukan sekedar
membebek) akan melahirkan tata nilai kehidupan yang indah, menilai secara
obyektif, tetap kritis, menghormati perbedaan dan menghargai milik lawan.
Fanatik menurut al Ghalayainy, tidak berarti kita harus membenci atau menghina
madzhab, bahasa atau budaya orang lain. Kita juga tidak bisa memaksa orang lain
untuk sejalan dengan kita. Sebab manusia dari golongan manapun mereka berasal,
bebas untuk memilih dan menentukan sikap meski berbeda dengan milik kita. Dan
kita harus menerima perbedaan sebagai fitrah.
Di sini, KH. Hasyim
Asy’ari mengilustrasikan. Konon, beliau yang saat itu menjabat sebagai Ketua
Umum PBNU berbeda pendapat dengan Kyai Fakih Maskumambang tentang masalah beduk
(jidur, Madura). Menurut Kyai
Fakih, beduk hukumnya bid’ah. Beliau melarang umatnya melarang menggunakan
benda bulat dari kayu ini. Sedangkan pendapat Kyai Hasyim, menggunakan beduk
sebagai tanda masuknya sholat hukumnya boleh dan tidak bid’ah. Alkisah pada suatu
ketika Kyai Fakih hendak berkunjung ke dalem Kyai Hasyim. Disinilah Kyai Hasyim
menampakkan solidaritasnya, tanpa mengesampingkan fanatisme tentunya. Kakek Gus
Dur ini kemudian memerintahkan kepada seluruh warga NU setempat agar menurunkan
semua beduk yang ada di masjid atau surau. Sepanjang jalan yang akan dilalui
oleh Kyai Fakih harus disteril dari beduk. Selama kunjungan kiai Fakih, tidak
boleh ada beduk berbunyi. Hal itu untuk menghormati pendapat kiai Fakih.
Cerita lain adalah
ketika Imam Syafi’i ra. Shalat subuh disebuah masjid. Dibelakang masjid itu
terdapat makam Imam Hanafi ra. Demi
menghormati pendapat Iman Hanafi yang tidak setuju terhadap qunut, akhirnya
beliau tidak membaca qunut. Padahal menurutnya, qunut termasuk sunnah muakkad
(yang dikokohkan).
Dengan demikian
seharusnyalah kita, umat islam, membangun kesadaran bersama, mengesampingkan
perbedaan yang ada diantara kita, merapatkan barisan untuk menghadang serangan
musuh-musuh Islam. Dan ini adalah bentuk dari fanatisme kepada agama. Wallahu
A’lam.
COMMENTS