Sejarah bangsa Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari kaum Muslimin. Di masa kolonialisasi, raja-raja Islam mengangkat senjata mela...
Sejarah bangsa Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari kaum Muslimin.
Di masa kolonialisasi, raja-raja Islam mengangkat senjata melawan penjajah.
Ketika kolonialisasi memasuki era modern, ulama dan santri membentuk angkatan
perang bersenjata. Ada laskar Hizbullah yang anggotanya dari kalangan santri.
Ada barisan Sabilillah, yang anggotanya dari para ulama dan kaum tua.
Peran Hizbullah dan Sabilillah sangat membantu tokoh-tokoh pejuang dalam
mengusir penjajah Barat. Dalam perang dramatis Surabaya ’45, angkatan perang
Indonesia didominasi laskar Hizbullah dan Sabilillah. Bahkan, perang dalam
rangka pembebasan kota Surabaya dari pihak Sekutu itu dimenangkan Hizbullah. Dari sanalah cikal bakal TNI lahir
sebagai pembela negara ini.
Sejak masa sebelum hingga ketika proklamasi kemerdekaan, kaum santri dan
ulama bekerja keras mengusir penjajah demi membangun negara berkeadilan. Dalam
tiap tahap perjuangan bangsa, selalu ada peran ulama. Sebelum memproklamasikan
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno di Cianjur menemui dua ulama
besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU
untuk meminta masukan (Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah, hal. 27 dan
275).
Jauh sebelum Indonesia merdeka, muncullah tokoh-tokoh ulama yang berada
di barisan terdepan membebaskan Indonesia. Syarif Hidayatullah misalnya,
seorang ulama sekaligus panglima perang yang berhasil merebut kota Jakarta dari
penjajah.Dengan rahmat Allah SWT,Syarif
Hidayatullah bersama pasukannya akhirnya mengusir penjajah dari bumi Jakarta.Sebelumnya,Jakarta diberi nama Batavia di masa pemerintahan kolonial.
Nama yang khas alaEropa dengan tanggal 22 Ramadhan 933 H, sebagai hari pembebasan dan kemerdekaan kota Jakarta.
Menurut Mansur Suryanegara, nama Jakarta berasal dari Jayakarta, nama yang diberikan oleh Syarif
Hidayatullah yang artinya kemenangan sempurna. Syarif Hidayatullah mengangkat
nama Jayakarta sebagai terjemahan dari fathan mubiina (kemenangan paripurna)
yang berasal dari alQuran Surat alFath:1 “Inna fatahna laka fathan mubiina”. Demikian ini menunjukkan bahwa para ulama terdahulu adalah peletak pondasi
dasar dari Ibu Kota NKRI.
Para ulama dan tokoh-tokoh Islam pada masa silam merupakan inspirasi para kader penerus bangsa. Di pulau
Jawa, kerajaan Demak memiliki pengaruh signifikan dalam meletakan dasar-dasar
perjuangan bangsa.Demak pernah bercita-cita menyatukan Nusantara untuk mengusir
Portugis. Karena itulah
misinya yangberada di bawah
pimpinan Patih Unus sampai ke negeri Malaka (sekarang masuk wilayah Malaysia).
Misi Patih Unus merupakan pesan kepada semua bangsa agar bersama-sama bersatu
melawan kejahatan. Semangat inilah yang kemudian di masa kemerdekaan menjadi semangat
persatuan Indonesia. Dan pada akhirnyasemangat ini berhasil masuk dalam salah
satu sila Pancasila.
Bagaimana dulu perjuangan Demak? Sudah berabad-abad lamanya kerajaan
Demak dan kerajaan Islam lainnya di sebagian besar wilayah Indonesia menerapkan
hukum Islam. Namun,syariat
Islam itu baru dihapus oleh
penjajah Belanda pada abad
ke-19.
Di paruh awal penjajahan, VOC masih mengakui syariat Islam untuk kaum
Muslimin di Jawa. Eksistensi hukum Islam diakui undang-undang Belanda seperti
tercantum dalam Pasal 75 R.R (Regeringsreglement) 1855:2 ayat 2 disebutkan, “Oleh hakim Indonesia hendaklah
diperlakukan undang-undang agama (Goldsdientstigewetten) dan kebiasaan penduduk
Indonesia itu”. Kemudian ayat
4 berbunyi, “Undang-undang
agama, instelling dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka” (Artawijaya,Dilema
Mayoritas, hal. 275).
Pada tahun 1882, dibentuklah pengadilan Agama se-Jawa Madura yang memiliki wewenang
mengatur hukum Islam untuk kaum Muslimin wilayah itu. Pengadilan agama ini bahkan diakuisecara resmi oleh Belanda.
Selama hukum Islam itu berlaku, elemen bangsa bersatu padu dalam satu kesatuan.
Karena itu, tidaklah
heran jika sila pertama
Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” bagi bangsa Indonesia
memiliki nilai asasi dan strategis. Bagaimana tidak? Pancasila merupakan rumus rakyat
Indonesiadalam bersikap.
Sebagai way of life, posisi Pancasila bagaikan ‘ruh’ bangsa.Sila“KetuhananYangMahaEsa”pun
ditempatkanpadaurutan pertama dari lima sila sehingga sila pertama ini menjadi
landasan pacu untuk melaksanakan sila-sila selanjutnya.
Hal itu mengandung pesan filosofis, bahwa kehidupan berbangsa –sejak
sebelum merdeka hingga meraih kemerdekaan– bercorak kehidupan religius. Watak
bangsa yang berketuhanan ini dirumuskan secara yuridis-filosofis dalam bentuk
butir-butir sila Pancasila. Apalagi, kemerdekaan negara ini tidak lepas dari perjuanganpara
pemimpin agama yang dalam hal ini banyak dibantuoleh ulama dan santrinya.
Karakterbangsayangberketuhanan inilah
yang ingin diteruskan oleh para pendiri bangsa ini sejak awal perumusannya.
Maka, aplikasi nilai-nilai ketuhanan dalam wadah agama oleh bangsa ini bukan
hanya legal, namun merupakan
kewajiban. Lebih penting dari itu, nilai-nilai ini harus dipraktikkan dalam
setiap sudut kehidupan rakyat Indonesia. Para pendiri bangsa ini sadar, bahwa
untuk mengantar bangsa ini menjadi bangsa bermartabat dan beradab harus dengan
mempraktikkan nilai-nilai ketuhanan bukan nilai anti-ketuhanan.
Maka, agama di negeri ini bukan hanya berhak dilindungi, tapi wajib dilindungi negara. Sehingga,
diperlukan kerja sama pemerintah dan pemuka agamauntuk menciptakan kehidupan
religius, mengamalkan nilai-nilai ketuhanan. Selain itu, diperlukan juga peran
agama yang kuat dalam membentuk karakter dan moral bangsa sehingga tidak terjadi penyimpangan
perilaku akibat degradasi moral. Para pemuka agama senantiasa dapat menjelaskan
pencerahan terhadap umat, sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh
sesuatu yang negatif sebagai akibat perkembangan lingkungan modern yang sangat
dinamis. Negara ini terjaga oleh nilai-nilai agama yang menjunjung nilai ibadah
sosial dan ritual.
Sudah saatnya kaum santri mendapatkan tempat yang pantas di kehidupan
negara ini. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Batu-bata
negara ini sudah dibangun oleh para ulama dan santri, saatnya generasi sekarang
melanjutkan dan menghormati pendahulu-pendahulu dari para pejuang. Pondok
pesantren yang dahulu menjadi basis perjuangan bangsa sudah sangat layak untuk
diberi penghargaan. Bahkan,
pendidikan di pesantren juga melahirkan pemimpin dan intelektual yang bisa
berjuang bersama membangun negeri tercinta. Pesantren adalah benteng NKRI.
Oleh: Ahmad
Kholili Hasib
COMMENTS