Dibalik keindahan suasana pedesaan kabupaten Lumajang yang dikenal sebagai kota eksplorasi pasir terbaik, jauh sebelum saat ini daerah te...
Dibalik keindahan suasana pedesaan kabupaten Lumajang
yang dikenal sebagai kota eksplorasi pasir terbaik, jauh sebelum saat ini daerah
tersebut bisa dibilang terbelakang dari kemajuan ilmu yang sedang berkembang.
Jangankan ilmu, hukum dasar Islam yang wajib diketahui bagi setiap muslim
banyak dari mereka yang masih belum memahaminya. Maka di saat masyarakat berada
di kegelapan ilmu, berdirilah suatu bilik penuh cahaya ilmu yang menyinari
masyarakat di sekitarnya. Bilik itu dikenal dengan Pondok Pesantren al-Haramain
yang didirikan oleh KH. Zainal Abidin Imron yang datang dengan ilmunya dari
tanah Haram. Pondok itu terletak di salah satu desa di tepian Lumajang yang
dikenal dengan desa Selok Anyar.
KH. Zainal Abidin Imron
lahir di kota Sampang pada tahun 1964 M. Selama masa hidupnya, beliau belum
pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Kedua orang tuanya mengirimnya ke
salah satu pondok pesantren di kota Malang untuk belajar ilmu agama. Pada tahun
1982 M, beliau meneruskan pendidikannya di kota Makkah al-Mukarramah. Setelah
sembilan tahun mengabdi, pada tahun 1991 M beliau kembali ke kampung halamannya
di Madura. Setelah cukup lama tinggal di Madura, beliau pindah ke kota Jember
dan menetap bersama istrinya Hj. Siti Muniroh Wahid sampai tahun 1997 M.
Di tahun berikutnya KH.
Hamid Hasan menawarkan kepada beliau untuk pindah dan membangun pondok di desa
Selok Awar-Awar kec. Pasirian kab. Lumajang yang sekarang menjadi desa Selok
Anyar dan beliau langsung menyetujui hal tersebut. Desa Selok Anyar berada di
tepian Lumajang sekitar 18 km dari pusat kota. “Ketika itu, keadaan desa masih
berupa tanah rawa dan kebanyakan penduduk desa masih tergolong masyarakat
awam”, tutur sang pendiri. Oleh karena itu, masyarakat menyambut dengan
antusias kedatangan KH. Zainal Abidin Imron. Salah seorang warga mewakafkan tanahnya
untuk dibangun pondok pesantren. Dari sinilah cikal bakal berdirinya Pondok
Pesantren al-Haramain.
Awal mulanya beliau
memiliki dua pilihan nama untuk pondok pesantren ini yaitu Ummul Qura’ dan al-Haramain.
Kemudian beliau berinisiatif mengajak masyarakat untuk bermusyawarah. Hasilnya,
keluarlah nama al-Haramain sebagai nama pondok pesantren yang diambil dari nama
tempat ketika beliau menimba ilmu.
Awal perjuangan, beliau hanya memiliki dua orang
santri putra yang pada saat itu masih tinggal di rumah beliau. Seiring
berjalannya waktu, jumlah santri semakin bertambah. Sampai saat ini, jumlah
santri beliau sekitar 150 santri yang terdiri dari 50 santriwan dan 100
santriwati. Mayoritas santri Pondok Pesantren al-Haramain berasal dari desa
sekitar dan ada pula yang berasal dari Malang, Madura bahkan Malaysia. Tidak
hanya pondok pesantren, beliau juga memiliki panti asuhan bernama Ummul Qura’.
Tujuan
berdirinya Pondok Pesantren al-Haramain antara lain mengantarkan
santri atau generasi muda Islam menjadi kader-kader dakwah yang mampu
menyelesaikan problematika umat dan mampu membawa masyarakat sekitarnya ke arah
yang lebih baik dan maju. Berbeda dengan pondok pesantren pada
umumnya, pondok pesantren al-Haramain memiliki ciri khas
tersendiri dengan membekali ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Bahasa Arab yang lebih mendalam guna memahami kitab-kitab salaf yang mereka kaji.
Pondok Pesantren al-Haramain memberikan kajian ilmu
agama kepada para santrinya melalui Madrasah Diniyah yang terdiri dari jenjang
pendidikan I’dadi, Ibtida’iyah, Wustho dan Niha’i. Tidak hanya pelajaran
diniyah saja, untuk mencetak ulama yang intelek dan profesional dalam menjawab
permasalahan global saat ini, didirikanlah lembaga pendidikan formal berupa
Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada tahun 2007 dan dibangun SMK al-Haramain pada tahun 2009 dengan program studi Teknik Konfigurasi Jaringan
(TKJ).
Kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh pondok pesantren al-Haramain
tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren yang lain dalam hal mengkaji
kitab-kitab karangan ulama salaf seperti Riyadhus Shalihin, Safinatun Najah,
Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Sulamut Taufik, Ta’limul Muta’allim dan lain
sebagainya. Sedangkan untuk pendidikan
formal, pondok ini menerapkan kurikulum Depag.
Pada jam tiga pagi para santri sudah wajib bangun
untuk melaksanakan shalat tahajjud. Sembari menunggu datangnya waktu Subuh,
setiap santri diwajibkan untuk menyetor hafalan mereka kepada asatidzah.
Setelah selesai shalat Subuh dan pembacaan wirid, santri mengikuti pengajian
rutin yang dibina langsung oleh Mudirul Ma’had KH. Zainal Abidin Imron.
Pagi jam 07.00 sampai jam 08.00, setiap santri yang
mengikuti kelas formal diwajibkan untuk shalat Dhuha berjamaah serta Ta’lim
Diniyah. Kemudian pada jam 08.00 hingga jam satu siang para santri belajar
di kelas formal. Setelah itu, para santri melaksanakan shalat Dhuhur berjama’ah
di Mushalla bersama para pengajar. Selanjutnya para santri beristirahat dan ketika
waktu shalat Ashar tiba mereka shalat berjama’ah dan mengikuti pengajian rutin
kitab kuning. Setelah shalat Maghrib, santri membaca Al-Qur’an di Mushalla
sampai tiba waktu Isya’, kemudian para santri bergegas menuju kelasnya
masing-masing guna menerima ilmu agama di Madrasah Diniyah hingga jam setengah
sepuluh malam.
Di samping kegiatan harian, Pondok Pesantren al-Haramain menerapkan
kegiatan mingguan seperti kegiatan latihan muhadharah setiap malam
Selasa, pembacaaan burdah atau simtud dhurar setiap malam Jumat dan
pembacaan surah Yasin, Waqi’ah dan Al-Mulk setiap Jumat pagi.
Pondok Pesantren al-Haramain mengadakan ikhtibar dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Maulid dan Sya’ban. Sedangkan pelaksanaan ujian sekolah formal mengikuti
sistem yang sudah diterapkan oleh pemerintah. Pada tanggal 15 Ramadhon, para santri diperbolehkan untuk pulang ke rumah
mereka masing-masing untuk menikmati liburan tahunan.
Untuk saat ini, Mudirul ma’had mengharapkan agar para santri beliau
mengerti dasar hukum Islam dan mampu membaca serta memahami Al-Qur’an dan
kitab-kitab salaf sebagai bekal dakwah di tempat tinggal mereka dikarenakan
beliau mengerti, di saat pertama kali beliau memasuki daerah tersebut tidak
satupun dari mereka yang mengerti tentang ilmu agama.
COMMENTS