Oleh: Dr. Syamsuddin Arif (Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta) Akhir-akhir ini , sering muncul pertan...
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif (Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta)
Akhir-akhir ini, sering muncul pertanyaan di masyarakat
mengenai boleh tidaknya umat Islam mendukung calon bupati, walikota atau
gubernur non-Muslim. Silang pendapat antara kelompok yang berbeda kepentingan
pun terjadi. Yang melarang berpegang pada ayat al Quran surat al Maidah
ayat 51, “Janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali-mu.” dan surat
an-Nisa’ ayat 144, “Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai
wali-wali, seraya meninggalkan orang-orang beriman.”
Sementara
yang membolehkan, tak mau
kalah. Tafsir at Thabari dan Ibn Katsir dirujuk lantas menyimpulkan kata auliya dalam ayat di
atas artinya bukan pemimpin, tetapi sekutu atau aliansi. Sehingga yang dilarang
itu bersekutu atau beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka
sebagai pemimpin. Namun, benarkah begitu?
Tiga
persoalan
Dalam
tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang selalu dibicarakan terkait
kepemimpinan politik dalam negara.
Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imamah al maf’ul). Kedua, soal pemimpin yang
suka maksiat (imamah al
Fasiq). Sementara ketiga, soal pemimpin
non-muslim (imamah al
Kafir). Kecuali
yang disebut terakhir, persoalan-persoalan kepemipinan politik ini timbul
karena banyak kasus yang menjadi khalifah, wazir, sultan atau amir sepanjang
sejarah Islam itu umumnya kurang layak (maf’ul) daripada yang benar-benar layak
(fa’il). Lebih banyak yang kurang taat (fasiq) daripada yang shaleh. Tentu saja dengan pengecualian para khulafa ar Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan beberapa orang yang mengikuti teladan mereka seperti
Umar bin Abdul Aziz.
Jadi, memang secara historis acapkali
terjadi kesenjangan antara ‘apa yang semestinya’ (das sollen) dan ‘apa
nyatanya’ (das sein). Idealnya, seorang pemimpin itu bertaqwa, berilmu,
pemberani dan seterusnya. Namun, realitasnya yang dilantik menjadi khalifah,
sultan, wazir atau amir -terutama
pada zaman Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah dan sesudahnya- itu seringkali
memiliki kekurangan, kelemahan dan
kesalahan. Maka sebagian teolog membolehkan orang yang kurang kompeten menjadi
pemimpin meskipun ada orang yang lebih kompeten dan lebih pantas daripadanya. Inilah
yang disebut imamah al maf’ul. (Lihat: Imam Abul Hasan al Asy’ari, Makalaat al Islamiyyin, ed. H. Ritter cet. Devlet
Istanbul, 1929-33, Hlm. 461, Ibn Azm)
Sama
halnya dengan imamah al
fasiq. Yakni kasus dimana seseorang yang masih suka melanggar hukum agama -entah berkat keturunan ataupun dengan
kudeta militer- naik menjadi penguasa (khalifah, sultan, amir). Sebagian ulama mengakui legitimasinya dan
menganjurkan umat Islam tunduk padanya selagi sang penguasa itu masih memeluk Islam,
masih melaksanakan tugas-tugasnya dan tidak menyuruh rakyat melawan perintah
Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sikap positif ini demi menghindari bencana lebih
besar (berdasarkan kaidah akhaffu
dhararaini) yaitu
timbulnya konflik horizontal dan pertumpahan darah. Pertimbangan menarik
diberikan oleh Imam Ahmad
ketika ditanya mengenai dua calon pemimpin muslim yang satu hebat tetapi masih
suka maksiat dan yang satu baik tetapi lemah: “Pendosa yang memiliki
kapabilitas memimpin itu kapabilitasnya berguna bagi umat Islam dan perbuatan
dosanya merugikan diri sendiri (fa quwwatuhu lil muslimin wa fujuruhu ala
nafsihi), sedangkan orang baik yang tidak punya kapabilitas memimpin maka
kebaikannya untuk dirinya dan kelemahannya akan merugikan umat Islam.” (lihat
kitab Ibn Taimiyah, al Siyasah al Syar’iyyah fi ilahir Ra’Iy war ra’iyyah
cet. Dar al-Jil Beirut 1413/1993, hlm. 27)
Normatif dan Historis
Soal pemimpin non-Muslim jarang
sekali dibicarakan karena memang secara normatif maupun historis hal itu tidak
boleh dan tidak pernah terjadi. Secara normatif, larangan memilih orang kafir
sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam Nawawi yang merupakan
‘pentolan’ madzhab Syafi’I dan diakui otoritasnya sebagai ahli fiqih dan ahli hadits sekaligus, misalnya, sangat eksplisit menyatakan bahwa
syarat-syarat menjadi pemimpin (syurut
al Imamah) itu mesti akil baligh (kaunuhu mukallafan), orang Islam (musliman-bukan
kafir!), adil, merdeka (bukan budak), laki-laki, berilmu (aliman), berijtihad (mujtahidan),
berani, mempunyai visi dan kompetensi (zaroyin wa kafa’ah) dan sehat pendengaran maupun penglihatan
(lihat : Rawdah al Thalibin,
ed. Syeikh Adil Abdul Mawjud dan Ali M. Musawwa, cet. Dar Alam al Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm.
262). Pernyataan senada akan kita temukan dalam literatur fiqih rujukan di
kalangan Nahdlatul Ulama seperti kitab al Iqna’ fi Halli Alfa Abi Syuja’ karya al Khatib al Syarbini. (cet.
Muafa al Bab al Alabi Kairo, 1359/1940, juz 2 hlm. 246)
Pun secara historis, Rasulullah
tidak pernah menunjuk orang kafir (walaupun mereka warga negara Madinah)
sebagai gubernur (dulu istilahnya amil dan wali) ataupun panglima (amir).
Demikian juga para khulafa sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman
Ottoman (Utsmaniyyah) tidak
pernah seorangpun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer sama halnya penguasa Singapura tidak
membenarkan orang melayu
warga negara itu memegang
tampuk kekuasaan apalagi dalam
ketentaraan. Sepanjang sejarah Islam,
orang-orang non-Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya
sebagai warga negara karena mereka ahlu dzimmah, kecuali jika mereka
berkhianat atau melanggar perjanjian.
Relasi Non-Muslim
Apa maksud kalimat “jangan kalian
jadikan orang-orang kafir itu auliya (teman, kawan, rekan, sekutu)?”
Menurut Fakhruddin al Razi dalam tafsirnya, menjalin
aliansi dengan non-Muslim (muwala
al Kafir)
mengandung tiga pengertian. Pertama, meridhai kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang, karena merestui
kekufuran itu kufur (al Ridha bil Kufri Kufrun). Kedua, bergaul
dengan mereka secara baik (al Mu’asyaroh
al Jamilah) di
dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang. Ketiga, berpihak atau condong
kepada mereka (al Rukun
ilaihim), mengulurkan bantuan (al Maunah) dan membela kepentingan mereka (al Nurah), dan tindakan ini pun dilarang (manhiyyun
anhu), kendati tidak membuat pelakunya kafir. (lihat: al Tafsir al Kabir, juz 7, jilid 3, cet. Dar
al Fikr Beirut 1425/2005,
hlm. 1603-1604)
Memang secara linguistik, menjadikan
mereka sebagai auliya atau wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan
dukungan dan pembelaan -jika lafadznya dibaca walayah (dengan fathah)- dan
menyerahkan mandat atau memberikan kekuasaan -jika lafadznya dibaca wilayah
(dengan kasroh)-. Demikian menurut al Raghib al Fahani dalam kitab Mufradat
Alfad al Quran (ed. Afwan Adnan Dawudi, cet. Dar al Qalam Damaskus,
1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwalatul kuffar
tidak hanya menjalinkan kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan
“wilayah” umat Islam kepada non-Muslim.
Non-Muslim yang Adil?
Ada orang menukil sebuah riwayat (yang
bukan Quran dan bukan pula hadits) dari kitab Ibnu Taimiyyah bahwa “Allah akan
menolong negara yang adil, meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang
dzalim meski ia mukmin. Memang benar, adalah ketentuan Allah (sunnatullah)
yang berlaku universal -kapanpun dan dimanapun- bahwa pemerintah yang adil akan
langgeng dan pemerintah yang dzalim akan jatuh, meskipun kita semua tahu bahwa
kekuasaan itu milik Allah semata, yang bisa diberikan kepada siapapun dan
dicabut dari siapapun. Allah berikan kekuasaan kepada Fir’aun yang angkuh, kejam dan kufur,
dan Allah jualah yang mencabutnya tanpa ampun. Juga benar bahwa suatu negeri
sekali-kali tidak akan dibinasakan oleh Allah secara dzalim, selagi penduduknya masih melakukan perbaikan. (QS. Hud 117)
Perlu
diketahui bahwa syarat keIslaman mendahului syarat keadilan, sebagaimana syarat
keimanan mendahului syarat kecantikan (dalam soal pernikahan, contonya, di mana
Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang budak wanita yang beriman itu lebih
baik {untuk dinikahi} daripada wanita musyrik {yang cantik} betapa pun kalian
mengaguminya.” (QS. Al-Baqarah 221)
Syarat keadilan bagi seorang pemimpin
negeri muslim yang dimaksud adalah mampu menahan diri tidak melakukan dosa-dosa
besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat :
al Damya I , I’anatut Thalibin ala Fathil Mu’in, cet. al Maarif Bandung,
t.t., hlm. 211-212). Sementara menurut al Baghdadi, dalam konteks politik
kenegaraan, syarat ‘adil’ untuk menjadi pemimpin itu artinya yang bersangkutan
terpercaya, dapat diterima kesaksiannnya baik sebagai penerima maupun penyampai
laporan (mimman yajuzu qabulu syahadatihi ta ammulan wa adaan). (Lihat
kitabnya, Ushuluddin, cet. Devlet Matbaasi Istanbul 1928, hlm 277)
Kesimpulan
Bagi
umat Islam, baik ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ (pemilihan kepala Negara) bukan
semata-mata urusan politik, akan tetapi urussan agama. Itulah sebabnya masalah
kepemimpinan politik dibahas dalam kitab-kitab aqaid dan ilmu ushuluddin.
Sebutlah misalnya, aqaid al Nasai yang telah disalin dan
diterjemahkan di kerajaan Aceh pada
akhir abad ke-16 (sekitar tahun 1590 M). Dinyatakan pada paragraf sebelum akhir bahwa umat Islam wajib
mempunyai pemimpin yang tugasnya menegakkan syariat, membangun benteng
pertahanan, menyiapkan tentara, mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan
ketertiban dengan memberantas para penjahat, pencuri dan perampok,
menyelenggarakan ibadah jum’at, merayakan hari-hari besar Islam, menyelesaikan
sengketa di masyarakat, mengurus sistem
peradilan dan sebagainya. Tujuan
‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ bagi umat Islam adalah agar si pemimpn menjalankan
misi profetik yaitu memelihara agama dan mengatur urusan-urusan dunia (al Imamah mausu’ah lil khilafah al Nubuwwah fi irasatid din wa Siyasah al Dunya). Inilah prinsipnya
sebagaimana dinyatakan oleh al Mawardi
dalam al Ahkam al Sultaniyyah, ed. Khalid
al-Alimi (cet. Dar al Kitab
al Arabi Beirut 1415/1994,
hlm. 29) Wallahu A’lam.
Sumber: Harian Republika
(Kamis, 17/03/2016)
COMMENTS