(Imam Ja’far bin Muhammad As-shodiq) “Abu Bakar Ash-Shiddiq melahirkanku dua kali” Pada zaman Tabi’in, di mana syariah dan kha...
(Imam Ja’far bin Muhammad As-shodiq)
“Abu Bakar Ash-Shiddiq
melahirkanku dua kali”
Pada zaman Tabi’in, di mana syariah dan khazanah
keilmuan islam masih terjaga, banyak imam dan ulama besar dilahirkan. salah satu ulama yang
populer saat
itu adalah Al-Imam
Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Sang
imam dilahirkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan pada tahun
80 H di kota Madinah, beliau hidup sezaman dengan kakek
beliau yaitu Imam Ali Zainal Abidin bin al-Husein ra selama kurang lebih
15 tahun, dan dengan ayahnya al imam Muhammad al Baqir ra selama kurang
lebih 34 tahun. Beliau
memiliki
beberapa gelar terhormat, di antaranya: As-Shabir (sang
penyabar), Al-Fadl (sang utama), At-Thahir (sang
suci). Gelarnya yang paling masyhur adalah As-Shadiq (sang penyampai kebenaran) karena
kebenarannya dalam perkataanya. Ia juga diberi nama ‘Amudusy-Syaraf
(tiang kemuliaan). Seluruh gelar tersebut
menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.
Beliau biasa dipanggil dengan
sebutan Abu Abdullah dan juga dengan panggilan Abu Ismail. Ibu beliau adalah Farwah
bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq. Sedangkan ibu dari
Farwah adalah Asma bintu Abdurrahman bin Abubakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu,
beliau Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq pernah berkata, “Abubakar Ash-Shiddiq telah
melahirkanku dua kali.”
Masa belajar
dan Kepribadian Beliau
Sedari kecil, beliau telah memperoleh pendidikan agama dari orang
tuanya sendiri. Gemblengan keras dari orang tua membuat beliau menjadi sosok yang rajin dan ta’at dalam beribadah serta gemar terhadap ilmu pengetahuan. Di saat itu, beliau sempat bertemu dan menimba ilmu dari beberapa
shahabat Rasulullah saw. Di antaranya Sahabat Anas bin Malik ra. dan Sahl bin Sa’ad
ra. Beliau juga belajar
kepada beberapa Ulama besar seperti : Atha’, Urwah bin al-Zubair bin Awam, Nafi’, Muhammad bin Syihab al-Zuhri, dan ulama-ulama besar lain pada masanya. Selama tinggal di Madinah,
beliau menghabiskan waktunya untuk memperdalam berbagai macam ilmu.
Banyak
para imam besar yang mempelajari ilmu dari beliau, diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam
Malik bin Anas, dan Washil bin Atha’ pendiri
aliran mu’tazilah, Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraij, Sufyan al-Tsauri, Sufyan
bin ‘Uyainah, Syu’bah dan Ayyub. Beliau dikenal sebagai Ulama,
tokoh Sufi, dan Mujtahid di bidang ilmu fiqh bahkan dikalangan fuqoha beliau
dianggap pendiri mazhab kelima yakni mazhab fiqh Ja’fariyah, hanya saja
tidak ada pernyataan beliau yang terkodifikasi secara khusus dalam memaparkan
madzhabnya, sehingga madzhab Ja’fariah tidak boleh diikuti.
Di dalam kitab Tahdzib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104, tatkala Imam Malik menceritakan kepribadian Imam Ja'far as-Shadiq r.a, Ia
berkata:
" Aku sering mengunjungi as-Shadiq. Aku tidak pernah menemui
beliau kecuali dalam tiga keadaan ini: 1) shalat, 2) puasa, 3) membaca kitab
suci al-Qur'an. Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadist Nabi saw
kecuali ia dalam keadaan berwudhu’ (suci) . Beliau adalah seorang yang paling bertaqwa,
wara’, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad saw”.
As-Syaikh Muhammad Abdul Karim
al-Syahrastani, penulis kitab al-Milal Wa al-Nihal
juga memuji pribadi imam Ja’far, ia berkata: "ia
adalah seorang yang pakar dalam urusan agama, memiliki budi pekerti yang
sempurna dalam dalam hal hikmah, sangat zuhud dalam urusan dunia serta kewaraan
yang sempurna dari hal-hal yang menyenangkan
(yang dapat menjerumuskannya ke api neraka”.
Dan banyak lagi pernyataan ulama tentang
pribadi Ja”far as-Shadiq, sebagai salah satu keturunan Nabi saw, yang memiliki
dua kemuliaan sekaligus, yaitu kemulian ilmu dan nasab (garis keturunan), hal
ini sebagaimana pernyataan al-Bushiri dalam qasidah Burdah
وانسب
إلى ذاته ما شئت من شرف () وانسب إلى قدره ما شئت من عظم
Sandarkanlah kepada beliau saw,
siapa saja yang engkau kehendaki (yang memiliki garis keturunan, bersambung ke
beliau saw)
Dan sandarkanlah kepada kadar
kualitas beliau sebagai seorang Nabi, siapa saja yang memiliki kebesaran berupa
ilmu
Saksi
Sejarah Besar Islam
Beliau Hidup pada akhir masa pemerintahan bani Umayyah dan awal
pemerintahan dinasti Abbasiah. Situasi politik di zaman Ja'far As-Shadiq r.a. sangat
menguntungkan beliau. Sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara
dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiah yang saling berebut kekuasaan.
Dalam situasi politik yang labil inilah Imam Ja'far As-Shadiq r.a. mampu
menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukan beliau
meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan murid beliau berjumlah empat
ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya
seperti, Jabir bin Hayyan At-Thusi, seorang ahli matematika, , Sofyan
ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) al-Qodi As-Sukuni
dan lain-lain.
Beliau menyaksikan kezaliman Bani Umayyah yang justru
meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri. Sudah banyak rakyat yang berada di
bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang
dilakukan mereka selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai
goyah dimanfaatkan oleh golongan Abbasiah yang juga bertujuan kepada kekuasaan.
Kemudian mereka bergerak dan berkampanye dengan berasaskan sebagai "para
penuntut balas dan bani Hasyim. Hal ini sekaligus membukakan
jalan bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlul Bait untuk mengajak
masyarakat bangkit melawan Bani Umayyah. Bani Umayyah akhirnya tumbang dan
Bani Abbasiah mulai mengambil alih tampuk serta merebut kekuasaan dari Bani
Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiah membawa babak
baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu ternyata Bani Abbasiah memusuhi malah lebih menumpahkan
kebenciannya kepada Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far r.a. hidup di bawah
pemerintahan Bani Umayyah kurang-lebih 40 tahun, dan hidup pada masa pemerintahan
Abbasiyah sekitar 20 tahun. Selama itu, ia menghindar dari kehidupan politik.
Kehidupan sehari-harinya lebih banyak dihabiskan dengan mengajar dan beribadah.
Hubungan beliau dengan SYI’AH?
Imam Ja’far as-Shadiq dikenal selama ini sebagai
imam ke 6 dari 12 imam syiah yang dianggap ma’shum oleh kaum syiah. Padahal,
beliau sendiri menyangkal keterlibatan beliau dan berlepas tangan dari aliran syi’ah.
Diceritakan dari Abdul
Mun’im bin Yahya az-Zuhri bahwa imam Ja’far as-Shadiq r.a
mendatangi sekelompok orang yang ingin bepergian dari kota Madinah, maka beliau
berkata: “kalian insya Allah termasuk orang- orang yang sholeh dari penduduk
kota kalian, maka sampaikanlah kepada mereka dariku, barang siapa yang
menyangka bahwasanya aku ma’shum( terjaga dari perbuatan dosa), maka aku
terbebas dari perkataan tersebut, barang siapa yang menyangka aku berlepas
tangan dari s Abu Bakar r.a dan s Umar r.a, maka aku terbebas dari sangkaan
tersebut.”
Diriwayakan dari Muhammad bin Fudhail, bahwa suatu
hari Salim bin Hafshah (salah seorang ulama syiah) bertanya kepada imam
Muhammad al Baqir dan anak beliau imam Ja’far as-Shadiq tentang khalifah Abu
Bakar dan khalifah Umar bin Khathtab, maka mereka berkata : “wahai salim,
akuilah keduanya sebagai khalifah, dan berlepas tanganlah dari musuh-musuh
mereka. sesungguhnya mereka adalah imam
imam yang diberi petunjuk.” Kemudian imam Ja’far berkata: “wahai Salim,
apakah pantas bagi seseorang mencela kakeknya sendiri, s Abu Bakar adalah
kakekku, tidak akan sampai kepadaku syafaat Nabi Muhammad SAW pada hari kiamat
apabila aku tidak mengakui kekhalifahan mereka dan berlepas tangan dari
musuh-musuh mereka.”
Dari dua riwayat diatas dapatlah diambil kesimpulan
bahwasanya beliau bukanlah Syiah tetapi diSyiahkan oleh para
pengikutnya. Beliau sendiri menyangkal keterlibatan beliau dengan syiah yang
telah mencela dan menyerang khalifah Abu Bakar dan Umar. Beliau juga menolak
klaim syi’ah yang menganggap beliau sebagai imam dan meyakini kema’shuman
beliau yang mana ma’shum adalah salah satu keistimewaan yang hanya dimiliki para
Nabi dan Rasul.
Akhir hayat beliau
Imam dan
ulama besar ini meninggal di kota Madinah pada malam Senin, pertengahan bulan Rajab, tahun
148 H dalam usia kurang lebih 68 tahun. Beliau
meninggal karena diracun oleh Manshur ad Dawaniqi yang tidak
senang terhadap pengaruh imam Ja’far as-Shodiq yang terlihat begitu besar di mata masyarakat dan dianggap bisa
membahayakan kekuasaaanya. Di
antara kata mutiara beliau yang sampai kepada kita adalah : “???
Jasad mulia beliau disemayamkan di pekuburan Baqi’ di
dalam qubah Al-Abbas, dekat dengan makam ayahnya, kakeknya dan paman kakeknya Hasan
bin Ali. Beliau meninggalkan lima orang putra, yaitu Muhammad, Ismail,
Abdullah, Musa dan Ali Al-’Uraidhi (kakek daripada keluarga Ba’alawy). Beliau
wafat setelah meninggalkan banyak jasa besar untuk islam dan meneruskan
perjuangan kakek beliau Rasulullah saw. Radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
COMMENTS