Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk muslim adalah salah satu negara Islam berpengaruh. Kiprah ulama Indonesia tidak bisa dibilan...
Indonesia,
negara dengan mayoritas penduduk muslim adalah salah satu negara Islam
berpengaruh. Kiprah ulama Indonesia tidak bisa dibilang sepi. Dunia Islam pasti
mengenal nama Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Yasin Padang, dan Syaikh Ihsan
Jampes melalui karya mereka yang mendunia. Namun belakangan, khususnya jika
ditilik dari satu dekade terakhir setelah pergantian millenium, warna pemikiran
Islam Indonesia justru didominasi oleh suara yang cenderung liberal. Sudah
habiskah ulama Indonesia?
Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang dikenal
sebagai imam besar dalam ilmu hadis dan sosok yang zuhud lagi waro’ adalah
salah satu murid terbaik Imam Syafi’i. Beliau yang saking hebatnya kemudian
menyamai gurunya dengan memiliki madzhab independennya sendiri pernah
mengatakan, sebagaimana dituturkan dalam kitab Tahdzibul Kamal karya Al-Mizzi,
bahwa Imam Syafi’i bagi manusia adalah bagaikan matahari bagi bumi. Tak akan pernah
terganti. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa tidurnya Imam Syafi’i di malam hari saja
adalah lebih baik dibanding terjaganya seseorang menghidupkan malam dengan
shalat malam. Imam Ahmad pun mengaku bahwa ia tak pernah melewatkan nama Imam Syafi’i
dalam doanya setiap hari. Kali ini, rubrik Mabhats tidak sedang membahas
tentang figur dan keutamaan Imam Syafi’i dalam sejarah Islam tetapi ingin menekankan
seraya mengingatkan kenapa Imam Syafi’i mendapat pujian setinggi langit dari pendiri
Madzhab Hanbali itu.
Dalam riwayat disebutkan, suatu hari dalam kunjungannya ke
pusat kebudayaan dan peradaban Islam di masa itu, yakni kota Baghdad, Imam
Syafi’i menyempatkan diri bertamu dan menginap di rumah sang murid yakni Imam
Ahmad. Demi peristiwa besar dan langka ini, putra Imam Ahmad pun merasa
penasaran dan ingin membuktikan kebesaran pendiri madzhab as-syafi’i ini. Ia ingin
melihat langsung bagaimana keseharian sosok yang selalu mendapat pujian,
sanjungan dan tak pernah luput dari doa ayahnya setiap malam. Malam pun tiba,
sang putra pun menanti ibadah apa yang akan dilakukan oleh Imam Syafi’i di
malam hari. Malam yang merupakan waktu terbaik untuk bercengkerama dan saat
paling berkualitas untuk menunaikan shalat dan mengabdi kepada allah swt. Dan
betapa heran dan kagetnya sang putra ketika mengetahui bahwa ketika ia dan
ayahnya sedang sibuk dan asik beribadah, bermunajat kepada allah, ternyata sang
tamu tidak terlihat keluar dari kamarnya dan menghabiskan malam dengan
berbaring di atas ranjang! Bagaimana mungkin orang seperti ini berhak mendapat
pujian setinggi langit, apalagi mendapat doa khusus setiap usai sholat dari
ayahnya seperti yang dia ketahui selama ini. Dalam benaknya terlintas, keutamaan
apa yang membuat ayahnya menyanjung Imam Syafi’i yang ternyata orang biasa saja.
Ya, ternyata hanya orang biasa saja yang melewatkan malam dengan merebahkan
badan dan memejamkan mata. Keesokan harinya Imam Syafii menceritakan perihal
dirinya. Malam itu dalam keadaan terbaring ia telah memecahkan 72 masalah agama,
dengan Al-Quran dan Hadis seakan terhampar di depan matanya, saking
kuatnya hapalan beliau. Karena itulah beliau lalu shalat subuh dengan wudhu Isya’
meski tampaknya beliau menghabiskan waktu dengan tidur semalaman. Terjawab
sudah pertanyaan yang tersimpan dalam benak putra Imam Ahmad (Sa’ah Wa
Sa’ah, Nawadir Wa Ajaib).
Menghidupkan dan meperbaharui Islam atau dalam bahasa hadis,
yujaddidud din. Itulah jasa dan kontribusi Imam Syafi’i untuk Islam.
Merumuskan formula ratifikasi hukum Islam alias peletak awal Ushul Fiqh.
Menguasai ilmu hadis dan sastra arab dengan sempurna. Beliau pernah berkata
“tidaklah aku mendengar huruf apapun kecuali aku sudah mengetahui artinya”
berkat pengembaraannya selama 20 tahun di pedalaman arab, sang pemilik bahasa
yang masih natural. Kombinasi kecerdasan, ketekunan, kemauan keras dan
pengorbanan yang tak didapat dengan mudah. Satu hal yang jarang ditemui saat
ini khususnya di Indonesia, menghabiskan usia, mencurahkan perhatian,
mempersembahkan hidup untuk Islam. Dan ilmu itulah identitas Islam yang
sebenarnya.
“Sesungguhnya allah akan mengutus setiap seratus tahun,
figur yang akan memperbaharui Islam”(HR Abu Dawud). Berangkat dari hadis rosul
inilah muncul analisa ulama mengenai para pembaharu yang muncul tiap 100 tahun
dalam sejarah Islam. Alhamdulillah, sabda nabi tidak pernah meleset. Nama-nama
itu adalah benar-benar memiliki jasa, membawa perubahan dan penyegaran dalam Islam.
Pada abad pertama ulama sepakat menunjuk khalifah ke lima, Umar bin Abdul Aziz
sebagai mujaddid yang pertama berkat sumbangsih beliau dan
kepemimpinannya hingga diakui sebagai bagian dari Khulafaur Rasyidin meski
bukan termasuk Sahabat Nabi dan berselisih masa dengan empat khalifah lainnya.
ke
Melanjutkan Perjuangan Ulama, Hidup Untuk Islam
Tolabul ilm, atau mencari ilmu adalah istilah populer
untuk para penuntut ilmu agama. Menurut data yang dirilis oleh republika.com
dikutip dari pernyataan Kepala Pusat Pusat Pengembangan Penelitian dan
Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, H. Abdul Jamil, tak kurang dari 3,65 juta warga Indonesia menahbiskan
diri menjadi santri yang identik dengan tolabul ilm. Meski begitu,
sedikit sekali yang benar-benar belajar untuk menguasai seluruh disiplin ilmu
khususnya yang mendapat label “ilmu fardhu kifayah”. Para santri saat ini hanya
membatasi diri pada penguasaan ilmu dasar dan merasa cukup hanya dengan “pucuk
es krim”. Padahal ilmu yang harus dikuasai yang bersifat substansial seperti
tak tersentuh dengan kebutuhan umat saat ini sudah sampai pada taraf darurat.
Sosok dengan keluasan ilmu dan tahqiq (mumpuni) menjadi hal yang mutlak
dibutuhkan saat ini jika tak ingin Islam dengan mudah terpecah oleh isu dan
aliran sempalan. Dapat dilihat melalui fenomena jejaring sosial atau terlihat
dari kabar media bahwa saat ini umat Islam sangat mudah diacak-acak. Yang benar
dikatakan salah dan kesalahan dianggap sebagai kebenaran. Jelas ini merupakan
akibat kedangkalan pengetahuan umat dan langkanya tokoh yang mampu dijadikan
rujukan seluruh pihak, mampu menjawab semua tantangan kekinian, memahami
psikologi problematika umat dengan integritas dan kesalehan pribadi serta diakui
oleh semua kalangan karena kealimannya. Umat Islam membutuhkan ulama Indonesia
kaliber dunia seperti Syekh Nawawi Banten dengan puluhan karya besarnya, Syekh
Ihsan Jampes, pengarang Sirojut Tholibin Syarh Minhajut Tholibin lil Ghozali
atau Syekh Yasin Al-Fadani yang berjuluk Musnidud Dunya.
Mampu Melawan Tantangan Bid’ah
Dewasa ini aliran di luar mainstream ahlussunnah waljamaah
gencar sekali melakukan penetrasi untuk menyebarkan paham mereka. Dengan agitasi
dan propaganda yang manis memanfaatkan antusiasme beragama masyarakat, mereka
berhasil memperoleh pengikut yang tidak sedikit dan semakin menggerogoti akidah
umat. Diperparah lagi oleh kelemahan aktivitas dakwah aktivis ahlussunnah dalam
menjangkau kantong-kantong yang menjadi lahan aliran sempalan, yang banyak
menyasar kalangan akademis dan golongan menengah ke atas yang mengedapankan
logika dalam menalar syariat.
Dengan latar belakang pengetahuan agama yang minim mereka
mudah terbujuk analogi sederhana seperti “kembali kepada al-kitab dan sunnah”,
“berjuang demi tegaknya khilafah”, dan “pemurnian aqidah” meski isinya
seringkali tak sesuai kulit dan kemasannya. Akibat kampanye sesat mereka,
banyak masyarakat yang termakan kebohongan aliran bid’ah dan dengan naifnya menafikan
ilmu fiqih karena dianggap bukan bagian syari’at, menyalahkan Imam Malik karena
menyalahi “ijtihad” yang benar versi mereka dan meragukan kevalidan praktek
shalat yang dilakukan umat Islam saat ini. Inilah fakta yang sebenarnya terjadi
saat ini pada pemuda Islam! Ibarat baju, Islam sekarang sudah compang-camping
berlubang dan robek di sana-sini hingga hampir-hampir tak dapat disebut baju
lagi. Berbagai fenomena masyarakat inilah yang mengingatkan kita kembali akan
pentingnya menguasai lebih dalam syariat Islam dengan tujuan menolong sunnah
dan melawan bid’ah. Mengenal lebih jauh ilmu warisan Rasulullah dan mengemban
tugas seperti yang dahulu pernah diperjuangkan Imam Ahmad dan Imam Ghozali,
juga yang dilakukan oleh Sayyid Muhammad Al-Maliki. Semoga kita bisa mengikuti
jejak mereka. “Barangsiapa yang menghapal satu hadis untuk menolak bid’ah maka
surgalah balasannya” (al-hadis, hasyiyah ibnu jamroh lil bukhori)
Tidak cukup hanya sampai di situ. Umat Islam juga harus
menyadari pentingnya menempuh ilmu di jalur akademik sebagai sarana agar bisa
mengawal mereka, untuk menguasai apa yang mereka kuasai, dan tidak memaknainya sebagai
prioritas utama karena dikhawatirkan bisa melalaikan dari tujuan utama yaitu
membela Islam. Satu hal lagi yang tak kalah penting dan tak boleh dilupakan
adalah akhlak, adab, moral dan tata krama khususnya terhadap ulama dan
syaikh/guru mereka. Atsar yang masyhur antara sahabat Zaid bin Tsabit dan
Abdullah ibn Abbas, sepupu Rasulullah adalah contoh dan panutan ideal bagaimana
seharusnya berinteraksi. Diriwayatkan bahwa seusai menghadiri jenazah, Zaid bin
Tsabit menuju kendaraan (kuda)nya untuk pulang. Tiba-tiba datanglah Ibnu Abbas menuntun
tali kekang kuda tersebut lalu Zaid berkata, “biarkan saja kuda itu wahai putra
paman Rasulullah”. Maka Ibn Abbas menjawab, “seperti inilah Rasulullah menyuruh
kami memperlakukan ulama”. Zaid pun lalu mencium tangan Ibn Abbas sambil
berkata, “seperti inilah Rasulullah menyuruh kami memperlakukan Ahlul Bait” (HR
Al-Hakim). Kisah yang hampir sama juga terjadi pada Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal
sebagaimana tertulis dalam Tahdzibul Kamal. Radhiyallahu anhum
ajma’in.
COMMENTS