”Ketika keyakinan ummat mendapat serangan brutal dari kelompok mu’tazilah, tokoh ini tetap istiqamah mempertahankan akidah ahlussunn...
”Ketika keyakinan ummat mendapat serangan brutal dari kelompok
mu’tazilah, tokoh ini tetap istiqamah mempertahankan akidah ahlussunnah wal
jama’ah meski mendapat intimidasi dari dinasti Abbasiyah”
Empat belas tahun setelah
lahirnya imam Syafi’i, tepatnya pada tahun 164 H (778
M) bulan Rabi’ul Awwal lahir seorang calon ulama besar di kota Baghdad yang
kelak akan menjadi salah satu imam dari empat mazhab yang dianut oleh umat
Islam seluruh dunia. Beliau adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal as Syaibani al-Marwazi
al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan
nama Imam Hanbali. Kuniyahnya (kuniyah adalah nama yang dimulai dengan abu atau ummu,red) adalah Abu
Abdillah. Nasab mulia beliau bersambung kepada Adnan,
salah seorang moyang bangsa Arab yang juga menurunkan orang-orang Quraisy. Walaupun
beliau dilahirkan di Baghdad, kedua orang tua beliau berasal dari Marv, sebuah
daerah yang sekarang masuk ke dalam kawasan negara Uzbekistan. Orang tuanya berhijrah menuju Baghdad
ketika ibunya masih mengandung beliau. Tiga tahun setelah kelahirannya,
ayahnya, Muhammad bin Hanbal wafat. Sejak saat itulah beliau hanya diasuh oleh
ibunya.
Imam Ahmad bin
Hanbal tumbuh besar di Madiinatus
Salaam yang dipenuhi
dengan para ulama pada masa dinasti bani Abbasiyah dibawah pimpinan khalifah
Harun Ar Rasyid. Keadaan ini
memacu semangat beliau untuk menuntut ilmu dengan gigih. Dimulai dengan al-Qur’an yang mampu beliau
hapalkan di umur 15 tahun, beliau lanjutkan dengan mendalami ilmu hadist hingga
beliau mampu menghapal sampai hampir satu juta hadist lalu dilanjutkan dengan
berbagai macam ilmu-ilmu agama lainnya.
Demi memperdalam
pengetahuan beliau dalam ilmu hadist, beliau sampai melakukan rihlah (Rihlah
diartikan sebagai perjalanan,red). Apabila rihlah dikaitkan dengan
upaya mencari hadits, maka dapat berarti suatu perjalanan untuk mendapatkan dan
mengumpulkan hadits dari muhaddits di tempat lain. Dimulai dari kota
Kufah yang dikunjungi beliau pada tahun 183 H, kemudian menuju ke Bashrah pada
tahun 186 H. Makkah dan Madinah beliau
singgahi pada tahun 187 H sambil menunaikan ibadah haji beliau yang pertama. Rihlah
beliau dilanjutkan dengan mengunjungi Yaman dan
negara–negara lain.
Dalam menuntut
ilmu, beliau berguru kepada banyak ulama yang
beliau temui serta mengambil riwayat hadist dari mereka diantaranya adalah
Al-Qadhi Abu Yusuf, Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Bakar
bin ‘Iyasyi,
Abdurrazzaq bin Hammam, Yahya bin Sa’id al Qatthan, dan lain lain. Al-Imam Adz Dzahabi
menyebutkan dalam kitab Siyar al A’lam an Nubala bahwa jumlah guru-guru
Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.
Kecerdasan, keseriusan dan ketekunan
beliau dalam menuntut ilmu membuat beliau menjadi murid yang paling dicintai dan
dibanggakan oleh guru-gurunya. Ketika imam Ahmad pulang ke Baghdad, ia bertemu
dengan imam Syafi’i lalu belajar Fiqh dan Ushul kepadanya selama 2 tahun
(195-197 H). Ketika imam Syafi’i r.a. pergi meninggalkan Baghdad menuju
Mesir, beliau berkata : “Aku keluar dari Baghdad dan tidak kutinggalkan disana
orang yang lebih memahami fiqh, lebih wara’, dan lebih zuhud selain Ahmad.”
Musnad Imam Ahmad
Setelah fase shahifah dan fase ta`lif ’ala abwab al-fiqh, muncul terobosan
baru dalam menulis kitab hadist yang disebut musnad pada akhir abad
kedua dan awal abad ketiga Hijriyah. Diantara musnad pertama yang disusun, adalah karya imam Ahmad
bin Hanbal yang lebih dikenal dengan nama Al Musnad. Kitab ini adalah
hasil rihlah dan kerja keras beliau dalam mengumpulkan dan meneliti hadits.
Karya
ini adalah sebuah kumpulan hadits-hadits
Nabi Muhammad yang disusun berdasarkan urutan nama para sahabat yang
meriwayatkan hadits-hadits tersebut.
Hadits-hadits yang terkumpul disusun
berdasarkan klasifikasi sahabat-sahabat nabi. Klasifikasi tersebut dimulai dari
hadits-hadits sepuluh sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Nabi
Muhammad untuk masuk surga, sahabat-sahabat senior di luar sepuluh sahabat
tersebut, sahabat-sahabat yang tergolong ahlul bait Nabi,
sahabat-sahabat senior, juga sahabat-sahabat yang berdiam di
Makkah-Madinah-Syam-Bashrah-Kufah. Lalu dilanjutkan
dengan riwayat sahabat-sahabat Anshar dan ditutup dengan
hadits-hadits dari para sahabat nabi yang berasal dari kabilah-kabilah di luar
Makkah dan Madinah.
Tidak ada angka
pasti menyangkut berapa jumlah hadits yang tercantum di dalam Musnad Ahmad.
Beberapa orang menyebut angka 40.000. Sementara menurut Ibn al-Munâdî,
jumlahnya 30.000. Abu Bakr ibn Malik menyebut angka 40.000 hadits minus 30 atau
40 hadits. Derajat hadist
yang terkumpul disini ada yang shahih, hasan, dan dhaif yang hampir menyamai
hasan dan semua bisa dijadikan hujjah menurut imam Ahmad bin Hanbal.
Selain kitab al Musnad,
imam Ahmad bin Hanbal juga menulis kitab-kitab lain diantaranya Tafsir al Qur’an, An Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al
Qur’an, Jawabat al Qur’an, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash
Shaghir, Tha’atu Rasul, Al ‘Ilal, Al Wara’ dan Ash Shalah.
Fitnah
Mu’tazilah
Dua
periode setelah Khalifah Harun ar Rasyid, lebih tepatnya ketika Khalifah
al Makmun berkuasa, Mu’tazilah menjadi ideologi yang harus dianut oleh
seluruh warga negara. Hal ini dikarenakan kecenderungan al Makmun
terhadap ilmu filsafat sehingga membuatnya dekat dan banyak terpengaruh oleh
orang-orang yang berakidah Mu’tazilah seperti Bisyr bin Ghiyats
al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah terkenal saat itu. Diantara keyakinan sesat yang
dipegang oleh kaum Mu’tazili adalah keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Keyakinan ini dijadikan sebagai salah satu ideologi resmi pemerintah, sehingga siapa pun yang
berseberangan dengan ideologi tersebut berhak untuk dihukum oleh pemerintah.
Peristiwa fitnah dimulai pada tahun 218 H lewat selembar surat
edaran kepada wakil khalifah di Baghdad, Ishaq bin Ibrahim. Isi surat
tersebut adalah perintah untuk mengumpulkan sejumlah qadhi, muhaddits,
dan imam-imam masjid di Baghdad agar kemudian menguji mereka tentang
kemakhlukan (keterciptaan) Al-Qur’an. Pada prakteknya surat tersebut dibacakan di hadapan publik Baghdad.
Setelah itu, Ishaq bin Ibrahim mengumpulkan tokoh-tokoh
tertentu yang ditunjuk oleh al Makmun. Diajukanlah pertanyaan kehadapan mereka
semua tentang kemakhlukan al Qur’an. Dengan segala keterpaksaaan, mayoritas
dari mereka menjawab bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Atas perintah al
Makmun pula, jawaban mereka itu diumumkan ke khayalak luas
Namun di antara tokoh yang dipanggil, terdapat
beberapa tokoh yang menjawab bahwa al-Qur’an bukan makhluk diantaranya
adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh al- Jundaisapuri. Bersama
tokoh-tokoh lain, mereka bertahan dengan jawaban tersebut. Setelah melalui
berbagai macam siksaan, hanya tersisa dua orang yang mampu tetap bertahan
dengan jawaban tersebut. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin
Nuh al Jundaisapuri. Mereka bertahan dengan keyakinan bahwa al Qur’an adalah kalammullah,
salah satu dari sifat-sifat Allah dan bukan makhluk.
Fitnah kemudian dilanjutkan
pada pemerintahan dua Khalifah setelah itu, al-Mu’tashim
dan al-Watsiq. Pada masa-masa mereka berdualah,
hukuman fisik bagi yang menolak keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk
dikenakan secara luas, mulai dari hukuman penjara, cambuk, sampai dengan
hukuman mati. Semua itu dimulai dengan menyebarkan surat-surat edaran agar
semua rakyat mengakui keyakinan tersebut sekaligus memerintahkan para guru dan
pengajar agar mengajari murid-murid mereka seperti itu.
Imam
Ahmad bin Hanbal termasuk yang dihukum penjara dan dicambuk. Biasanya beliau
dipanggil menghadap Khalifah dalam keadaan terbelenggu. Untuk kesekian kalinya imam
Ahmad bin Hanbal dihina dan dicambuk di hadapan Khalifah dan para menterinya. Namun beliau tetap memegang teguh
keyakinanya.
Hukuman
tersebut dilaksanakan berkali-kali, selama pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim
dan al-Watsiq. Bukti hukuman tersebut dapat dilihat
dari bekas-bekas cambukan yang ada pada punggungnya sebagaimana yang
diceritakan oleh salah seorang anaknya di kemudian hari. Keadaan baru berubah
pada masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil. Pergantian Khalifah dari
al-Watsiq kepada al-Mutawakkil sekaligus menandai berakhirnya masa fitnah,
setelah menelan korban yang demikian banyak.
Phillip K. Hitti, salah seorang sejarawan Barat
yang menulis tentang masalah fitnah Mu’tazilah ini, dalam History of the Arabs,
menulis bahwa :
“Konservatisme
Ibnu Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap berbagai bentuk
inovasi kalangan Mu’tazilah. Meskipun telah menjadi korban fitnah dan pernah diikat
dengan rantai pada masa al-Makmun, serta dihina dan dipenjara oleh al-Mu’tashim,
Ibnu Hanbal tetap teguh pada pendiriannya dan tidak mengakui berbagai bentuk
modifikasi terhadap keyakinan tradisional.”
Ketika al-Mutawakkil
memerintah, negara kembali menerapkan ajaran akidah ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pada masa ini, banyak diberangus tulisan-tulisan tentang filsafat karena
bertentangan dengan akidah tersebut. Tidak sedikit
pula penerjemah naskah-naskah kuno Yunani yang ditangkap. Selain mereka, para
pengajar filsafat diawasi dan dipenjarakan. Khalifah tidak
ingin negara seperti ketika dipimpin tiga khalifah sebelumnya.
Khusus kepada Ahmad bin Hanbal,
khalifah meminta maaf atas perlakuan khalifah-khalifah sebelumnya. Tidak
berhenti sampai di situ, khalifah banyak memberikan penghormatan dan hadiah
kepada Ahmad bin Hanbal. Semua itu, pada akhirnya
menjadi semacam “ujian” yang menimpa Ahmad bin Hanbal di ujung hidupnya.
Setelah diuji lewat siksaan yang mendera-dera, ia diuji oleh kemasyhuran,
penghormatan, dan pemberian dari sang khalifah.
Dalam keadaan tua, Ahmad bin Hanbal
menyadari akan kelemahan dirinya. Ia tidak ingin rusak oleh itu semua. Karena
itu, adalah wajar jika ia pernah memboikot salah seorang anaknya hanya karena
mau menerima hadiah-hadiah dari khalifah. Ahmad bin Hanbal tidak mau salah
seorang keluarganya menerima hadiah-hadiah itu.
Akhir
Hayat Imam Ahmad
Efek dari penahanan dan penyiksaan
yang dialami beliau selama kurang lebih 28 bulan, membuat tubuh beliau melemah. Tidak lama setelahnya beliau pun jatuh sakit. Sewaktu mendengar berita bahwa beliau
sakit, rakyat kota Baghdad berbondong-
bondong menuju rumah beliau untuk menjenguknya.
Sembilan hari setelahnya, pada tanggal 12 bulan Rabi’ul
awwal 241 H bertepatan dengan hari Jum’at, sang imam besar yang juga terkenal
dengan kezuhudannya dan kewara’annya ini berpulang ke haribaan Allah swt dalam
usia 77 tahun. Seketika itu juga,
kota Baghdad diliputi kesedihan yang luar biasa. Puluhan ribu kaum laki-laki
dan perempuan menshalati jenazah beliau. Jumlah itu belum termasuk orang yang
terdapat di jalan-jalan dan
atap rumah. Pada hari itu juga, sekitar 20.000 orang dari kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi masuk Islam. Beliau
meninggalkan 3 orang anak Hanbal, Shalih, dan Abdullah. Semoga kita semua bisa
meneladani beliau.(Rn)
COMMENTS