Pernahkah kita berpikir, mengapa ada sensasi modern saat meneguk coca cola, makan di KFC atau McD? atau berbusana sesua...
Pernahkah
kita berpikir, mengapa ada sensasi modern saat meneguk coca cola, makan di KFC
atau McD? atau berbusana sesuai fashion mutakhir? Mengapa perempuan merasa
"cantik" tatkala bertubuh langsing, semampai, berambut lurus dan
berkulit pucat? Mengapa ada sensasi menjadi orang shaleh, membela Allah dan
menjadi pemegang otoritas kebenaran tunggal tatkala berpenampilan ala Abu
Jahal, berwajah garang disertai rentetan kalam Allah?
Itulah
varian mitos paling mutakhir! Mitos klasik tentang dongeng-dongeng irasional
telah kita dengar. Kini, dalam modernitas, mitos tetap ada namun dalam kemasan
fashion mengikuti dinamika zaman. Mitos berasal dari bahasa Yunani, mutos
yang berarti cerita. Biasanya kita pakai untuk menunjuk cerita yang tidak
benar, yang tak mempunyai kebenaran historis.
Terlepas
dari statusnya sebagai mitos, dalam ilmu psikologi hal di atas disebut sebagai
sensasi dan persepsi. Dalam konteks pakaian “Islami”, jilbab, gamis, kopiah dan
sejenisnya ternyata sedikit banyak telah mempengaruhi perilaku pemakainya untuk
lebih menjaga diri dalam tindak tanduknya. Seorang yang berpakaian “khas
Syariat” akan merasa malu dalam melakukan tindakan maksiat, terlebih hal-hal
yang menurunkan martabat dirinya, melebihi ketika ia mengenakan “pakaian
biasa”.
Kini,
dalam modernitas, “pakaian syar’i” mulai mendapatkan posisinya dalam kemasan
fashion sesuai dinamika zaman. Kesadaran berpakaian syar’i yang pada awalnya
bermuara dari menjalankan kewajiban syariat, mulai bergeser menjadi ajang pamer
keindahan sebagaimana lumrahnya dunia fashion. Dalam dunia fashion, “pakaian
syar’i” menjadi “madzhab baru” dengan munculnya beberapa desainer pakaian
muslim ternama sebagai “imamnya”. Madzhab inipun berpartikulasi kembali menjadi
beberapa madzhab yang -amat disayangkan- semakin menjauh dari esensi
disyariatkannya pakaian tersebut. Pakaian yang semulanya memiliki tujuan utama
menutup aurat, kini berubah menjadi pakaian glamour yang hanya membalut aurat. Tentu saja dengan nilai estetika yang tak
kalah ‘wah’ dengan “madzhab” fashion lainnya. Sebut saja fenomena
Jilboob. Kesadaran yang tidak sepenuhnya dalam berpakaian syar’i, bercampur
dengan keinginan untuk selalu tampil trendy mengikuti fashion terkini,
melahirkan beberapa budaya yang ternyata nuansa hedonis dan glamour lebih
mendominasi ketimbang nuansa syariat di dalamnya.
Dari
sisi psikologis pun, model pakaian tersebut tidak memiliki pengaruh yang cukup
signifikan, sebagaimana pakaian muslimah pada asalnya. Remaja berjilbab yang
terlibat dalam pacaran bahkan hubungan di luar nikah merupakan hal yang biasa
di zaman ini, tak jauh berbeda dengan mereka yang tidak mengenakannya.
Tentu
saja fashion seperti ini mendapat kritikan dari berbagai kalangan muslim, sebut
saja MUI yang memberikan tanggapan berupa fatwa tentang keharaman Jilboob
tersebut. Meski sangat disayangkan ada beberapa golongan yang entah karena
disengaja atau minim pengetahuan, berbalik menimbulkan permasalahan baru dengan
merendahkan martabat wanita muslimah yang sebagiannya baru belajar cara
berpakaian syar’i.
Estetika Wanita Dalam Pandangan
Syariat
Pada
dasarnya, syariat tidak menganggap estetika wanita sebagai hal yang diharamkan.
Lebih dari itu, syariat bahkan menganjurkan agar para wanita tetap menjaga penampilannya.
Dalam hal ini, Rasulullah r bersabda
:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " خَيْرُ النِّسَاءِ امْرَأَةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ , وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ , وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا
“Sebaik-baiknya wanita adalah sosok yang
jika engkau memandangnya engkau merasa senang, jika engkau menyuruhnya ia
menaatimu, dan jika engkau sedang tidak ada dia akan menjaga dirinya dan
hartanya”.
Namun
dengan kebijakannya, syariat membatasi ruang lingkup keindahan tersebut kepada
mereka yang berhak menikmatinya, dalam hal ini adalah keluarga khususnya suami.
Sebagaimana seorang putri, tidak sembarang orang bisa memandang dan menikmati
keindahannya selain ia yang bersumpah untuk tanggung jawab senantiasa
menjaganya.
Dalam
hal ini, Sayyidah Fathimah al Zahra, putri Rasulullah r pernah ditanya : ‘’Hal apakah yang
paling baik bagi wanita?”maka Sayyidah Fatimah menjawab:
أن لا ترى رجلا ولا يراها رجل
“Perempuan
yang tidak pernah melihat seorang laki-laki dan tidak pernah dilihat oleh
seorang laki-laki.”
Maka
dari itu, fashion syariat tak perlu diberanguskan sebagaimana yang
dikoar-koarkan oleh sebagian kalangan yang ekstrim dan cenderung kaku dalam memandang
nilai-nilai agama. Akan lebih bijak apabila budaya tersebut diarahkan sesuai
dengan porsinya yang diridhai oleh syariat. Kesadaran dan usaha untuk
menyadarkan kalangan muslimah tentang hakikat dari estetika yang mereka miliki
serta untuk siapa seharusnya keindahan tersebut diperlihatkan merupakan hal
yang sangat urgen sebagai tema dakwah agar budaya Islami terus berkembang dan
tidak keluar dari rel syariat yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu
wata’ala. Wallahu A’lam (SY)
COMMENTS