Permasalahan pornografi menjadi topik bahasan yang tak kunjung padam. Termasuk silang pendapat sejumlah kelompok yang mempertanyakan rel...
Permasalahan pornografi menjadi topik bahasan yang
tak kunjung padam. Termasuk silang pendapat sejumlah kelompok yang mempertanyakan relevansi dan kejelasan
visi syariat mengatasi masalah pornografi di zaman ini.
Sebagaian
dari mereka beragumen bahwa syariat Islam saat ini, tidak sensitif dan
responsif terhadap perubahan zaman. Desain hukum yang digarap oleh fuqaha’ dan
para mufassir dirasa out of date (kuno), tidak mampu memenuhi kebaikan
dan kemaslahatan umat manusia di era kekinian. Apalagi klaim konsep hijab
sebagai pelindung kaum hawa hanyalah produk impor budaya yang hanya membuat
ruang diskriminasi baru bagi wanita. Benarkah demikian?
Seputar
Status Hukum

Siapa sih yang sebenarnya dilindungi?
Konsep ini menawarkan
visi hukum yang jelas untuk melindungi umat secara umum agar tidak
menjerumuskan diri mereka dalam bahaya (dengan mengakses pornografi), apalagi
sampai membahayakan bagi muslim lainnya, khususnya kaum hawa dan anak-anak yang
lazimnya dijadikan sebagai objek eksploitasi seksual akibat adiksi pornografi. Hal
ini didasari surah al Baqarah ayat 195:
”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. Dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.”
Kedua, melidungi
keturunan (حفظ النسل) akibat adiksi pornografi yang berujung kepada perbuatan zina
secara bebas dan berpotensi menghancurkan nilai martabat perempuan serta generasi
yang akan datang dengan kenaikan kasus
aborsi dan kelahiran anak tanpa kejelasan nasab.
Ketiga, proteksi akal (حفظ العقل). Inilah
dasar semangat penyelamatan moral yang digagas syariat untuk melindungi
umat dari dampak pornografi yang mampu merusak akal sehat (sebagaimana yang
dijelaskan pada uraian sebelumnya).
Persepsi kaum sekuler, esensialis[1] dan
liberal
Kalaupun masalah
pengaturan syariat diklaim sebagai bentuk intervensi agama dan melanggar HAM,
pemasungan dalam wilayah pribadi atau bahkan mengancam demokrasi, toh
hal itu tidak menjadi masalah. Bukankah kita juga mempunyai hak asasi untuk
hidup sehat tanpa pornografi?
Esensi dasar agama
Islam adalah mendidik emosi dan nafsu manusia secara global melalui kendali
akal dan syariat untuk menjadi pribadi yang luhur, berdiri di atas nilai-nilai
kesucian, kebersihan dan kebeningan jiwa.
Untuk itulah,meski pada
dasarnya akses pornografi sendiri merupakan kegiatan pribadi, namun tetap saja
imbas dari perbuatan tersebut memiliki dimensi sosial yang luas. Sejauh apapun
kegiatan tersebut, selama bertentangan dengan nilai-nilai fundamental dalam
Islam maka dianggap patut untuk diatur dalam rangka memberi perlindungan masyarakat
(social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Alasan itulah yang menjadi dasar
mengapa penaatan ketentuan-ketentuan hukum dapat dipaksakan dengan suatu cara
yang diatur dalam syariat Islam.
Sebagai realisasinya, Islam melarang
upaya untuk mendekati zina sebagaimana yang dipaparkan oleh al Qur’an (surah al
Isra’ ayat 32 وَلاَ تَقْرَبُواْ
الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً),
yang tak lain untuk mencegah beragam hal masuk kepada
titik awal perzinaan. Termasuk di dalamnya berbagai bentuk stimulus (suara,
gambar, sentuhan atau lainnya) yang mampu mendatangkan libido (hasrat seksual)
dari konten pornografi.
Lebih
dari itu, syariat juga melindungi orang lain untuk tidak terjerumus dalam dosa
akibat entertaining tubuh karena mengumbar aurat, baik itu dari pihak
laki-laki atau perempuan. Inilah nilai unggul syariat Islam yang tidak banyak
dipahami.
Solusi Cerdas
Pola hukum yang ditawarkan oleh syariat Islam
merupakan solusi cerdas untuk masalah adiksi pornografi saat ini. Pertama, ia
tidak serta merta memvonis secara frontal bagi mereka yang menampilkan suguhan
aurat (pornografi), apalagi sampai melakukan pengambinghitaman atas korban (viktimisasi). Namun, ia memberi sosialisasi
bertahap dengan kurun waktu yang cukup panjang. Dimulai dengan perintah menutup
aurat dari sebuah keluarga (dengan penjabarannya), memberi kefahaman tentang
batasan aurat dan dibarengi dengan perintah untuk menundukkan pandangan
terhadap hal-hal yang diharamkan (Q.S al Ahzab ayat 59 dan an Nur ayat 30-31) serta pengaturan
hubungan antar mahram secara terperinci. Tinggal bagaimana sebuah keluarga
mampu mensosialisasikan penekanan tentang kewajiban taat kepada
aturan tersebut.
Al Qur’an sendiri menyinggung beberapa peringatan tentang tanggungjawab
terkait masalah inderawi, seperti ungkapan ayat:
إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولاً
Setiap apa yang melekat
pada jasat kita saat ini, termasuk mata dan pendengaran menuntut sebuah
pertanggungjawaban kelak di hari penghakiman masal. Mengapa demikian? Karena
pada dasarnya segala fasilitas yang melekat pada tubuh kita adalah hak pakai
bukan hak milik.
Secara
bertahap, pola peringatan tersebut naik menjadi ancaman keras dan jika memang adiksi pornografi
tersebut direalisasikan dengan perbuatan zina (berjima’) sesuai redaksi
hadits
....فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ
ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ. إمام مسلم كتاب القدر باب قدر على ابن آدم حظه من الزنى وغيره
(7658)
maka hal itu akan berlanjut pada reaksi penjatuhan
hukuman had (jika memang terjadi perzinahan sesuai kriteria dalam pembahasan
fiqh), sebagaimana uraian pada Q.S an Nur ayat 2:
“Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Dan
sanksi hukum ini juga membawa kepada beban psikis karena memang disyaratkan
untuk disaksikan
oleh sekumpulan orang-orang yang beriman sehingga mampu membawa efek jera bagi
pelaku dan memberi pelajaran hidup bagi kaum mukmin yang menyaksikan hal
tersebut. Kalaupun pensyariatan
hukum cambuk (selain zina muhshan) dan rajam (bagi zina muhshan) merupakan
tindakan keras dan tidak manusiawi, bukankah memang unsur dari hukuman itu
haruslah keras (al Qaswah )?
Dr. Sa’id Ramadan al
Buti (1992: 103; Raysuni, 2000: 45-49) menjelaskan bahwa salah satu unsur
penting dari sesuatu hukuman adalah al Qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu
hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang
dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu
maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.[2]
Ketakutan kaum feminis, sekuler, esensialis[3] dan liberal yang tak beralasan (fobia) sebenarnya (dimungkinkan) muncul dari sempitnya
perspektif mereka dalam memahami syariat, adanya dikotomi antara objek dengan
hukum yang menjadi media penyampai tujuan (maqasid) atau memang adanya keengganan
atas penerapan syariat.
Namun,
yang terpenting adalah bagaimana memaknai syariat Islam, khususnya terkait
solusi permasalahan adiksi pornografi dengan persyariatan hijab, had dan
lainnya sebagai hal sesuatu yang mampu membuat kehidupan umat lebih positif.
Karena bisa dipastikan tidak ada pensyariatan hukum kecuali adanya maslahat,
meski terkadang tidak semua kemaslahatan tersebut bisa dijangkau oleh akal. Wallahua’alam (HQ)
Sumber:
روائع البيان تفسير الآية الأحكام من القرآن للشيخ محمد علي الصابوني.
المرأة بين طغيان النظام الغربي ولطائف التشريع الرباني لالدكتور محمد سعيد رمضان البوطي.
As Syech Ibrahim al Baijuri, “Hasyiah
al Baijur”i, kitab ahkam an Nikah h.190. Dar al Kutub al Islamia, Jakarta
Nirwan Syafrin Arma, Esai “Antara Ketetapan
Nass Dan Maqasid Syari’ah” dan berbagai symber terkait lainnya.
[1] Sebutan bagi kelompok yang memahami ayat-ayat al Qur’an
secara esensial bukan makna literal, yang penting tujuannya, bukan bentuk
hukumannya. Dr. Yusuf Qaradawi menggelar mereka sebagai kaum neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nash-nash al Qur’an).
[2] misterrakib.blogspot.com
[3] Sebutan bagi kelompok yang memahami ayat-ayat al
Qur’an secara esensial bukan makna literal, yang penting tujuannya, bukan
bentuk hukumannya. Dr. Yusuf Qaradawi menggelar mereka sebagai kaum neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nash-nash al Qur’an).
COMMENTS