Waras, sebuah kata yang mewakili makna sehat. Tak cuma sehat dalam rana fisik, namun juga rana psikologis dengan “tetap terjag...
Waras, sebuah kata yang mewakili makna sehat. Tak cuma sehat dalam rana fisik, namun juga rana psikologis dengan “tetap terjaganya kesadaran” ketika situasi dan kondisi terjangkiti kegilaan akan kebebasan HAM.
Lebih lanjut, sejak Januari 2009, Menlu
Clinton telah mengarahkan Departemen Luar Negeri AS untuk mendukung penuh
penciptaan sebuah agenda hak asasi manusia yang komprehensif – sebuah agenda
yang meliputi perlindungan terhadap kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual
(LGBT). Deplu AS menggunakan segala perangkat diplomatik dan
fasilitas-fasilitas bantuan pembangunannya untuk mendorong dihapuskannya
kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum LGBT di seluruh dunia. Tak lama agenda
tersebut diikuti pernyataan Sekjen PBB, Ban Ki-Moon1 atas nama Forum LGBTIQ
Indonesia di Nusa Dua (Bali), 13 Juni 2013 bahwa Hak-Hak LGBTI adalah Hak Asasi
Manusia.
Atas nama HAM pula komunitas LGBT meminta
jatah kebebasan di berbagai negara dunia. Hasilnya? Euforia keputusan pelegalan
kawin sejenis di beberapa negara bagian Amerika dan 20 negara lainnya yang
turut memberi imbas negatif terhadap negara Asia dengan mayoritas muslim
seperti Indonesia. Ironisnya, keputusan pelegalan tersebut diamini oleh
artis-artis made in America seperti Sherina Munaf.
“Banzai! Perkawinan sesama jenis kini ada
hukumnya di Amerika Serikat. Mimpi berikutnya, di dunia dimanapun anda berada
bangga siapa anda. #LGBT Rights”. Tak ketinggalan Anggun C Sasmi menulis status
serupa, “YES!!!! Mariage is between love and love??” (kutipan
www.republika.co.id)
Lalu, di mana kewarasan dan keberadaban
bangsa ini?
Entahlah, mungkin kewarasan dan keberadaban
akan tetap bersemayam dalam masyarakat yang senantiasa berpegang teguh dengan
agama dan nilai luhur bangsa ketimuran. Masalahnya adalah seberapa lama bangsa
ini mampu menyandang status tersebut?
Di satu sisi ada pihak-pihak tak kasat mata
yang berusaha meloloskan proyek legalisasi LGBT dalam skala global, tak
terkecuali di Indonesia sendiri. Meski sejatinya Indonesia adalah negara timur
yang cukup vocal menolak homoseksualitas2, namun tetap saja hal tersebut tidak
mengurangi pergerakan pegiat LGBT, malahan mereka semakin getol melakukan
“kampanye dan promosi” melalui seminar-seminar yang ditujukan untuk menarik
ruang simpati dan toleransi publik dengan menempatkan mereka sebagai “kelompok
populasi rentan”3, bukan perilaku penyimpangan.
Poin yang perlu diperhatikan dari kasus
seperti ini adalah jangan sampai ruang simpati dan toleransi tersebut
mengaburkan suara penegakkan syariat yang selama ini disuarakan oleh para imam
Islam, khususnya bagi umat Islam yang memegang dominasi populasi Indonesia. Ini
bukan masalah pembenaran umum atas nama dominasi, namun lebih kepada kesadaran
untuk membantu mempertahankan nilai-nilai bangsa ini, mencapai nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan yang beradab serta kehidupan yang
bermartabat. Pertanyaaannya, masihkah bangsa ini dianggap beradab jika praktek
homo dan lesbi dilegalisasi? Akankah bangsa ini dianggap waras jika nantinya
homoseksual menjadi tren gaya hidup?
Di sisi yang lain, tidak dapat dipungkiri
bahwa kemajuan teknologi informasi turut mengaburkan batas norma susila juga
ikut memicu semakin eksisnya kaum LGBT.
Karena memang informasi yang ada tidak hanya sekadar maju namun juga
sarat dengan muatan ajakan untuk meniru budaya yang tidak sesuai dengan budaya
bangsa. Imbasnya, tak sedikit orang yang ikut menjadi tidak waras karena tren
LGBT ini. Kutipan data republika.co.id menyebutkan bahwa jumlah LSL -lazimnya
disebut Gay- pada tahun 2011 telah mencapai tiga juta orang, padahal pada tahun
2009 hanya mencapai 800 ribu orang. Hal ini memberi artian bahwa ada
peningkatan lebih dari 300% dalam dua tahun. Masihkah berdiam diri?
Rasanya tidak, bangsa ini terlalu berharga
diserahkan begitu saja pada aktivis LGBT yang gila HAM. Dan umat Islam yang
menjadi bagian dari bangsa yang waras mesti ikut berteriak dan menyelamatkannya
melalui sikap dan menuver politik, sebagai bentuk tanggung jawab kolektif.
Harus ada kerangka hukum hukum yang kuat dan jelas, tidak hanya mengatasnamakan
HAM dan humanisme sepihak namun juga sudut pandang yang lebih kompleks mengenai
tujuan, siapa yang dilindungi dan tanggung jawab akan dampak yang dihasilkan.
Lebih jauh, bangsa ini harusnya berkaca
kepada sikap kepala negara Gambia, Yahya Jammeh yang dengan lantang menentang
pergerakan homoseksual di negaranya. Meskipun harus menerima konsekuensi
penyetopan kucuran dana dari negara Eropa dan Amerika untuk Gambia.
“If you do it [in Gambia] I will slit your
throat. If you are a man and want to marry another man in this country and we
catch you, no one will ever set eyes on you again, and no white person can do
anything about it.” (www.washingtonpost.com)
LGBT dan Kewarasan Syariat
Islam dengan metode preventif (sadd
adz-dzari’ah) yang diusung, jelas ingin mewujudkan kemaslahtan dan menghindari
kerusakan (mafsadah) kepada bangsa ini, termasuk dalam kasus LGBT. Islam telah
melarang penyerupaan laki-laki kepada perempuan dan sebaliknya baik dari
pakaian atau tingkah laku. Ditambah lagi tata cara dan sosialisasi syariat dan
pengawasan proaktif, semisal mengenai pemisahan tempat tidur ketika memasuki
usia sepuluh tahun sebagaimana redaksi hadits:
“Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat di
waktu dia berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka kalau sudah berumur sepuluh
tahun dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.”
Nabi Saw. memberi kecaman keras mengenai
praktek kaum Sodom. “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum
Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam as Sunan al
Kubra IV/322 No. 7337]
Dalam kesempatan lain, Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum
Luth.” [HR Ibnu Majah : 2563, 1457. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan Gharib,
Hakim berkata, Hadits shahih isnad]
“Barang siapa yang kalian dapati melakukan
perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya.”
Jika kita kaji sejenak mengenai akibat
hukum dari praktek homosexuil, maka Imam Malik, Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad
bersepakat mewajibkan pemberlakuan hadd sebagaimana pemberlakuan hadd zina
dalam al Quran, karena keberadaan makna zina dalam kasus tersebut. (al Fiqh al
Islami wa Adillatihi, Dr. Wahbi az Zuhaili, dar al fiqr juz 6 hal 66).
Para sahabat sendiri sepakat atas
penjatuhan eksekusi mati bagi para pelaku homoseksuil, hanya saja mereka
berbeda pendapat mengenai tata cara eksekusi tersebut. Para pengikut madzhab
Imam Hambali dan Imam Malik memberi hukuman rajam untuk kasus homoseks dalam
keadaan apapun, baik lajang atau janda berdasarkan redaksi hadits: “Barangsiapa
yang kalian dapatkan melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang
menyetubuhi dan yang disetubuhi.” (Hasyiah ad Daisuqi juz 4 hal 314).
Semua produk hukum tersebut tidak lahir
dari otoritas akal semata, namun dari komposisi wahyu dan kejernihan berfikir
untuk melindungi kewarasan akal (hifdzul aql), keturunan (hifdzul nasl) umat
secara menyeluruh. Dengan desain hukum semacam ini, tentu umat Islam yang
menjadi bagian dari bangsa yang waras akan terus berdiri di barisan terdepan
untuk mengecam proyek legalitas LGBT karena jelas proyek yang
digembor-gemborkan oleh para humanis tak lebih dari ekspresi penentangan hukum
Allah tanpa berpikir panjang mengenai
besarnya dampak yang akan dihasilkan. Keadaan ini, persis dengan apa yang telah
diwanti-wantikan oleh Allah :
“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al Maaidah
: 49].
Lalu, siapakah yang waras sebenarnya, para
humanis yang menyuarakan legalitas LGBT di Indonesia atas nama HAM? Atas nama
toleransi dan moral? Ataukah orang-orang yang lantang menolak agenda pencacatan
agama dan mental dengan merubah bangsa ini menjadi homoseksual? Hq
1. kutipan http://aruspelangi.org/
2. Laporan Global Attitudes Project oleh
Pew Research mengenai sikap terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya
penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden survei di dalam negeri
dan hanya ada 3% yang bersikap menerima.
3. Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup
Sebagai LGBT di Asia, hasil dokumentasi berbagai presentasi dan diskusi dalam
Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diselenggarakan pada 13-14 Juni
2013 di Bali.
Sumber:
1. al Fiqh al Islami wa Adillatihi, Dr.
Wahbi az Zuhaili, dar al fiqr
2. Hasyiah ad Daisuqi
3. LGBT di Indonesia, Perkembangan dan Solusinya,
Dr. Ardian Husaini, INSISTS Jakarta Selatan
COMMENTS