Usaha sistematis Belanda untuk memarginalkan peran kesejarahan Islam di tanah Nusantara dilakukan dengan cara menyanjung budaya-budaya lok...
Usaha sistematis Belanda untuk memarginalkan peran kesejarahan Islam di tanah Nusantara dilakukan dengan cara menyanjung budaya-budaya lokal non-Islam |
Oleh: Kholili Hasib, MA*
Dalam buku-buku sejarah Nasional telah lama ditulis bahwa identitas asli
bangsa Indonesia mengesankan kekentalan kebudayaan Hindu-Budha.
Bangunan-bangunan berupa candi merupakan salah satu identitas fisik yang sering
ditonjolkan. Sementara warisan peradaban Islam Nusantara yang dibawa oleh para
penyebar agama Islam berupa karya-karya kitab, seni-seni Islami, masjid,
pesantren, tradisi-tradisi keislaman dan lain-lain tidak dianggap peninggalan
penting peradaban Nusantara - meski
pengaruhnya sesungguhnya mengakar kuat secara luas di Nusantara. Pengaruh kuat
yang berlangsung berabad-abad tersebut menurut Syed M. Naquib al Attas terhambat
oleh penjajahan Belanda.
Usaha sistematis Belanda untuk memarginalkan peran kesejarahan Islam di
tanah Nusantara dilakukan dengan cara menyanjung budaya-budaya lokal non-Islam.
Usaha Belanda ini disebut politik nativisasi. Orientalis Belanda mengkaji
sejarah Melayu dengan cara mengesankan seolah-olah produk kebudayaan Islam
Melayu adalah kebudayaan ‘asing’ yang mengancam eksistensi budaya
lokal Hindu-Budha. Kebudayaan Islam di sini ditampilkan sebagai produk
peradaban asing yang diposisikan berseberangan secara diametral dengan
Hindu-Budha yang selanjutnya diakui sebagai kebudayaan lokal asli pribumi.
Padahal, Hindu-Budha pun dibawa dari India, negeri di luar Nusantara. Tidak
murni produk Melayu-Nusantara.
Dominannya kajian orientalis Belanda tersebut berlangsung hingga
Indonesia merdeka. Kuatnya hegemoni politik Nativisasi penjajah Belanda itu
kini dapat dilihat dari buku-buku teks Sejarah, yang mayoritasnya masih
menjadikan paradigma Nativisasi tersebut dalam menulis sejarah. Hal tersebut
dapat dilihat dalam teks-teks sejarah Nasional. Masyarakat Indonesia lebih
mengenal nama Patih Gajah Mada daripada Syarif Hidayatullah. Lebih populer
Majapahit daripada Kerajaan Demak, Samudra Pasai dan lain-lain. Gadah Mada
dikenal dengan sumpah Palapanya dan tokoh Majapahit yang mampu menyatukan
Nusantara. Semantara Muballigh Islam atau Kesultanan Islam tidak dicatat
berhasil menyatukan Nusantara dalam satu bahasa, Melayu. Padahal Melayu pada
zaman itu menjadi lingua franca bagi mayoritas penduduk Nusantara.
Kita juga belum banyak tahu bahwa Majapahit melakukan invasi ke daerah
lain dengan kekerasan. Menarik upeti yang menyulitkan daerah yang ditaklukkan.
Mirip sistem penjajah. Pendekatan inilah menimbulkan kemarahan rakyat Sunda
yang melahirkan peristiwa Sunda pada tahun 1351 M. Sementara para Wali Songo dan
Muballigh Islam lainnya melakukan pendekatan kultural, seperti dengan menikahi
wanita pribumi, melakukan Islamisasi kebudayaan, dan lain-lain. Sehingga,
rakyat Melayu cepat menyerap Islam. Hingga orang Melayu mengenal pola-pola
pikir Islami, rasional dan menumbuhkan
karya-karya ilmu. Namun, oleh
orientalis Belanda peran Islam ini dinafikan.
Candi-candi peninggalan Hindu di mata pelajaran sejarah juga lebih populer daripada masjid-masjid sebagai warisan budaya
bangsa. Para siswa lebih diarahkan rekreasi budaya dengan cara mengunjungi candi daripada masjid-masjid kuno. Replika-replika candi dapat mudah ditemui di
tempat-tempat penting, seperti kantor pemerintah, lembaga pendidikan,
pintu-pintu gerbang di jalan-jalan dan gedung-gendung penting. Tapi, di tempat-tempat itu sulit
ditemukan replika masjid-masjid kuno bersejarah.
Padahal, masjid-masjid
dahulu menjadi pusat penyebaran ilmu pengetahuan ke masyarakat, pusat balai kesehatan, sekolah dan basis
perjuangan melawan penjajah. Sementara Candi menjadi tempat penyimpanan abu
raja-raja. Tempat ini pun jarang dikunjungi rakyat jelata pada zaman dahulu.
Pada zaman keemasan kerajaan Hindu, candi merupakan tempat elit dikhususkan
oleh raja-raja dan bangsawan untuk melakukan penyembahan. Karena itu,
sesungguhnya candi-candi tidak terlalu membekas kepada rakyat bawah. Tidak
heran kemudian, candi-candi di Nusantara ketika ditemukan di abad modern ini
ternyata telah terpendam tanah selama berabad-abad. Sebab, setelah kerajaan
runtuh, tidak ada yang merawat ataupun sembahyang di tempat itu. Orientalis
Belandalah yang mula-mula membangkitkan budaya candi itu.
Akibat dari nativisasi, masyarakat rantau Nusantara -khususnya kaum Muslim- kini telah lupa warisan budaya Islam dan
karya-karya keilmuan yang ditulis para ulama nusantara
seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al Raniri, Nawawi al Bantani, Syekh al Tirmasi, Daud Ibrahim bin Abdullah al Fatani dan lain-lain. Padahal, karya-karya
mereka tidak saja menasional tapi telah diakui internasional memberi kontribusi
kepada ilmu pengetahuan dan peradaban dunia.
Syed Muhammad Naquib al Attas,
pakar filsafat dan sejarah mengatakan bahwa politik nativisasi itu merupakan
rekayasa sarjana-sarjana Barat. Tujuannya untuk menghilangkan warisan Islam di
Nusantara, sehingga generasi selanjutnya tidak mengenal lagi identitas Islam di
rantau Melayu.
Dalam buku Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, al Attas menjelaskan: “Banyak sarjana yang
telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat
Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur
di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan
kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian
itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi
hanya merupakan angan-angan belaka”. (hal. 41)
Ahli-ahli sejarah Belanda,
sejak masa kolonialisme, sudah membuat rekayasa sejarah dengan mengutamakan
kebudayaan Jawa dan Bali sebagai puncak kejayaan Melayu-Indonesia. Di antaranya
sejarawan Belanda bernama Brandes dan Douwes Dekker. Keduanya menulis buku
tentang Nusantara dengan wawasan yang sempit.
Keduanya menggunakan kata Nusantara yang artinya kepulauan antara Jawa
dan Bali. Penggunaan ini memiliki tujuan khusus. Yakni memunculkan Jawa dan
Bali -yang beragama Hindu- sebagai pusat peninjauan utama kajian sejarah di
rantau Nusantara.
Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan
tetapi kebudayaan Hindu-Budha tidak memberi bekas terhadap masyarakat
Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam mengubah pandangan hidup rakyat
Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan mengakar. Pengaruh kuat Hindu
hanya terbatas kepada
keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu berpengaruh
bahkan tidak menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu.
Dalam hal ini al Attas menulis:
“Kita harus tahu bahwa kedatangan agama Hindu itu tidak merubah pandangan
hidup masyarakat Melayu-Indonesia, suatu weltanschaung atau pandangan hidup
yang berdasarkan seni dan bukan falsafah. Apabila agama Hindu tiba di kalangan
mereka, ajaran-ajaran yang mengandung unsur falsafah tiada dihiraukan, dan yang
lebih menarik hati mereka adalah ajaran-ajaran yang lebih sesuai dengan bawaan
jiwa asli masyarakat”.
Sejalan dengan analisis al Attas
tersebut, Van Leur juga berkesimpulan sama. Ia menyatakan bahwa masyarakat
Melayu-Indonesia itu bukanlah sebenarnya masyarakat Hindu. Tapi hakikatnya
hanya golongan bangsawan sajalah yang meresapi kebudayaan Hindu-Budha itu.
Konon, dulu banyak raja-raja beragama Hindu, namun rakyatnya tidak memeluk
Hindu secara baik. Mereka cenderung animis lokal dan sebagaian bahkan Muslim.
Karya sastra Nagara Kartagama yang ditulis Prapanca pada masa
Majapahit misalnya, ditulis justru untuk kepentingan keratin dan istana. Bukan
untuk dibaca rakyat jelata. Ia tersimpan dan terpelihara hanya dalam satu
bentuk naskah saja, tidak diperbanyak. Karya ini tidak menyorotkan falsafah
luhur yang menyerap akal budi. Karya lain seperti Arjuna Wiwaha karya
Empu Kanwa merupakan karya sastra yang mengandung falsafah namun tidak ada
syarah atau penafsirannya yang bisa dipahami rakyat, sehingga mengisyaratkan
karya ini khusus untuk elit raja-raja dan bangsawan.
Karya-karya tersebut dinikmati dan memang diingini oleh kalangan raja, namun gagal membumi
di kalangan rakyat jelata. Dan tidak membawa pengaruh dan kesan apa-apa.
Sehingga, keberagamaan rakyat sesungguhnya lebih cenderung kepada kebudayaan
animisme khas Jawa daripada Hinduisme.
Dalam catatan al Attas, sarjana-sarjana Barat keliru dalam mengesankan
kebudayaan asli pribumi itu Hindu-Budha. Beberapa mitologi dan teori kebudayaan
yang berlangsung di kalangan penduduk pribumi Nusantara telah wujud dalam
bentuk animisme sebelum Hindu-Budha datang. Animisme
bukanlah Hindu atau Budha. Ketika Hindu-Budha dianut raja-raja, para pemuka
agama membuat rekayasa mempersamakan dengan adat-adat pribumi. Dalam
legenda-legenda Hindu, cerita dibuat mirip. Lantas, kebudayaan tersebut diklaim
sebagai Hindu. Namun, tetap hal itu tidak melekat dalam pola pikir rakyat.
Van Leur cukup terbuka dan tegas menolak pandangan kebanyakan sarjana
Barat. Menurutnya, partisipasi masyarakat terhadap Hindu dilakukan dengan
paksaan raja. Sehingga ia berkesimpulan bahwa masyarakat Melayu-Indonesia
bukanlah masyarakat yang di-Hindukan. Adapun pengaruhnya terlalu
dibesar-besarkan oleh orientalis Belanda dan Inggris.
Kebudayaan ini tidak mewariskan sebuah pandangan hidup yang filosofis dan
rasional. Kebanyakan kebudayaan Hindu-Budha mewarisi seni arsitektur India,
candi dan kesusastraan yang berbau mitos. Hal itu dapat dilihat dari
karya-karya para cendekiawan Muslim Sumatra dan Jawa.
Menurut al Attas, selama abad ke-6 sampai 11 Masehi, konon Sumatera
merupakan pusat terbesar agama dan falsafah Budha. Namun, para pemukanya tidak
memberi kesan apa-apa dalam bidang filsafat, tapi justru bidang seni. Sampai
kini, rakyat Sumatera tidak mewarisi tradisi falsafah Budha itu, justru
mayoritas beragama Islam taat. Artinya, budaya Budha tidak terlalu melekat,
justru peradaban Islam yang mampu berabad-abad melekat dan menyatu dengan
masyarakat. Sampai akhirnya membentuk identitas tersendiri.
Sedangkan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari Jazirah
Arab telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat. Salah satu
kontribusi nyata di Nusantara adalah penggunaan bahasa Melayu, sehingga menjadi
bahasa pemersatu Nusantara. Ia menjadi lingua franca penduduk
Melayu-Indonesia, bahkan sampai kepada daerah Filipina dan Thailand.
Para pendakwah Islam sengaja memilih bahasa Melayu untuk diislamkan.
Banyak sekali istilah-istilah bahasa Melayu yang diambil dari bahasa Arab.
Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal
pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon (pego).
Jenis tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad
lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun sayang, jenis tulisan ini tidak lagi
populer di Indonesia –hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren. Tapi di Malaysia
masih digunakan dalam tulisan-tulisan di ruang publik.
Pengislaman bahasa ini berlanjut kepada pengislaman konsep-konsep
kehidupan masyarakat Melayu-Nusantara. Sehingga sedari dulu, bahasa Melayu
identik dengan Islam. Para mubaligh Arab juga mengenalnya sebagai salah satu
bahasa dunia Islam waktu itu, bahkan tercatat sebagai bahasa Islam nomor dua
terbesar setelah bahasa Arab.
Kehadiran Islam berlangsung sistematis, gradual dan terencana, tanpa
kekerasan. Revolusi besar kebudayaan Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui
tradisi keilmuan. Dari abad ke-15 sampai ke-17 Melayu-Indonesia mengesankan
perubahan pemikiran dalam pandangan hidupnya (worldview), yang
melahirkan filsuf, ulama’ dan pemikir tingkat internasional dengan karya-karya
yang berbobot. Dalam catatan al Attas, Islam di Nusantara ini hadir sejak lama,
sejak zaman kekhalifaan Islam abad ke-7. Islam lebih mudah diterima karena
pendekatannya kepada masyarakat bawah cukup hangat.
Selain itu, kebudayaan Islam melahirkan corak berpikir rasional tidak
mitologis, filosofis tidak animis -- serta membekas dalam benak masyarakat baik
kaum elit bangsawan maupun rakyat jelata. Semangat rasionalisme dan
intelektualisme inilah yang menarik minat semua kalangan, bahkan kalangan
istana dan keraton pun –yang telah lama dalam budaya Hindu. Maka, di sinilah
strategi pendakwah Islam kita lihat banyak yang menikah dengan putri-putri
raja.
Risalah-risalah tentang metafisika dan falsafah begitu mudah ditulis oleh
pendakwah Islam untuk dinikmati kalangan umum. Oleh sebab itu, karya sastra
Melayu-Islam, seperti yang populer di Aceh dan tanah Jawa, tidak berdasarkan
mitos dan dongeng tapi lebih bersifat saintifik, serius dan ilmiah. Inilah
salah satu kunci kenapa Islam mudah diterima masyarakat Melayu. Namun, ketika
penjajah Belanda dan Inggris datang, kebudayaan seperti ini berusaha
ditutup-tutupi perannya.
Belanda juga membuat rekayasa sejarah Indian-centris. Dipopulerkan
bahwa, tidak saja kebudayaan Nusantara ini Hindu dari India, tapi juga
berlanjut bahwa Islam juga di bawah oleh pendakwah dari Gujarat India. Al Attas
membantah teori Indian-centris ini.
Dalam penelitian al Attas, Islam datang langsung dari Arab. Memang benar
bahwa sebagian mubaligh yang datang itu datang melalui India. Namun harap
dicatat, mereka di India hanya mampir setelah berangkat dari tanah Arab.
Seperti seorang keturunan kedelapan Sayyid Ahmad bin Isa al Muhajir (leluhur
para habaib di Hadramaut), Sayyid Abdul Malik bin Alwi pindah ke India. Dan
menikah dengan putri raja India. Mereka asli berdarah Arab, bukan India. Salah
satu cucu Abdul Malik bernama Jamaluddin al-Husein atau terkenal Jumadil Kubro
hijrah ke Nusantara yang kemudian menurunkan para Wali Songo (Faris Khoirul
Anam, al Imam al Muhajir Ahmad bin Isa Leluhur Walisongo dan Habaib di
Indonesia, hal.132).
Sebagaimana mereka juga ada yang singgah di Persi dan China selatan.
Tempat-tempat tersebut merupakan tempat singgah saja. Persi waktu itu juga
masih mayoritas Sunni. Jadi ini sekaligus membantah teori bahwa Islam dibawa
mubaligh Syiah. Begitu pula karya cipta yang dihasilkan merupakan karya
Arab-Islam bukan berbau India.
Jadi, politik Nativisasi Belanda ini bertujuan untuk mempertahankan
penjajahan dan mengesankan ketiadaan budaya Islami, rasional dan filosofis di
bumi Nusantara. Maka, jika ingin peradaban Nusantara ini berjaya, maka kaum
Muslim Melayu-Nusantara harus kembali kepada pandangan hidup Islam, sebagaimana
yang telah ditanamkan oleh para muballigh Wali Songo dahulu.
COMMENTS