Replika candi dan patung merupakan dampak efek nativisasi Belanda Di saat kita bertanya kepada orang-orang tentang Majapahit ata...
![]() |
Replika candi dan patung merupakan dampak efek nativisasi Belanda |
Di saat kita
bertanya kepada orang-orang tentang Majapahit atau Gajahmada, maka bisa
dipastikan mereka akan tahu siapa yang pernah menguasai Indonesia dengan
kerajaannya. Namun, ketika Raden Patah yang kita tanyakan, sebagian dari mereka
menggelengkan kepala. Fakta ini menunjukkan bahwa popularitas Raden Patah tidak
sebesar Majapahit di kalangan masyarakat.
Jika
buku-buku sejarah Nasional ditilik, kita akan menemukan bahwa warga Indonesia
dulunya memegang erat budaya Budha. Ketika Islam datang ke tanah air, adat pun
berubah sedikit demi sedikit. Yang awalnya datang ke kuburan untuk memberi
sesajen pada para leluhur, sekarang datang memberi doa untuk keselamatan mereka
di kubur.
Sebagian
orang beranggapan bahwa masuknya Islam ke Nusantara merupakan sebuah ancaman
bagi budaya lokal Hindu-Budha yang dianggap sebagai identitas asli bangsa
Indonesia. Padahal, Hindu dan Budha sendiri merupakan agama pendatang dari
India. Bahkan, kebanyakan dari kita tidak mengetahui bahwa Majapahit meraih
kekuasaan di Nusantara dengan kekerasan. Berbeda dengan Islam yang mengajak orang-orang
dengan lembut. Pola pikir seperti ini disebabkan oleh Politik
Nativisasi Belanda.
Politik
Nativisasi Belanda adalah usaha mereka dalam menekankan dan menyanjung sejarah
budaya Hindu-Budha dan mengasingkan budaya Islam. Mereka menyebarkan opini
bahwa jati diri bangsa Indonesia adalah Hindu dan Budha, bukan Islam.
Contoh simpel usaha mereka dalam hal ini adalah
melewati media seperti yang tertulis dalam laporan utama majalah Media Hindu
(edisi 2011), “Kembali ke
Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit.” Menurut majalah
ini, Islam dianggap sebagai agama yang menggusur budaya, sehingga menghambat
kemajuan bangsa.
Dalam tulisan Prof. Naquib al Attas
yang berjudul Islam and Secularism, beliau membantu kita dalam membuka
mata bahwa ada kesalahan dalam pendidikan sejarah di sekolah-sekolah.
Hindu-Budha yang sudah lama di Indonesia diletakkan sebagai jati diri,
sedangkan Islam yang merupakan pendatang hanya diletakkan sebagai pelapis,
tidak meresap ke dalam bangsa. Bahkan, rezim orde baru pernah berusaha
menggusur berbagai identitas Islam dari kehidupan berbangsa dan bernegara
dengan cara menghilangkan istilah-istilah Islam dan menggantikannya dengan
istilah-istilah Hindu.
Dampaknya
bisa kita lihat di berbagai tempat penting di Indonesia seperti lembaga
pendidikan, kantor pemerintah, kedutaan dan lain-lain. Yang dapat kita jumpai
adalah replika-replika candi dan patung, bukan replika masjid-masjid
bersejarah. Kenyataannya, masjid-masjid lebih membekas di hati masyarakat
karena masjid menjadi pusat penyebaran ilmu pengetahuan, balai kesehatan,
sekolah dan basis perjuangan melawan penjajah. Sedangkan candi-candi hanya
dipakai untuk menyimpan abu para raja.
Hindu-Budha
sebenarnya tidak meresap ke dalam masyarakat. Ajaran Hindu-Budha yang diterapkan di
candi-candi hanya didatangi oleh para bangsawan. Sebab itulah, ketika kerajaan mereka hilang,
masyarakat tidak terlalu peduli dengan candi-candi peninggalan raja mereka.
Akhirnya, dapat kita saksikan candi-candi yang telah ditemukan berada di
pedalaman dan tak terurus.
Pada
masa Majapahit, sebuah karya sastra bernama Nagara Kartagama ditulis
oleh Prapanca, namun hanya untuk kepentingan kraton dan istana saja. Karya ini
tersimpan hanya dalam satu bentuk naskah saja, tidak diperbanyak. Contoh lain
adalah Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa yang merupakan karya sastra
mengandung falsafah, namun tidak ada syarah atau penafsirannya yang dapat dipahami rakyat. Ini
menunjukkan bahwa karya ini memang dikhususkan kepada para bangsawan. Memang,
karya-karya tersebut dinikmati oleh kalangan raja, namun gagal membumi di
kalangan rakyat jelata dan tidak memberi pengaruh apapun.
Pada
dasarnya, kebudayaan Hindu-Budha tidak mewariskan pandangan hidup yang
filosofis dan rasional. Mereka hanya mewariskan seni arsitektur India, candi
dan kesusastraan yang berbau mitos. Seperti yang terjadi di Sumatera. Menurut
al Attas, Sumatera merupakan pusat terbesar agama dan falsafah Budha. Namun,
para pemukanya tidak memberi kesan apa-apa dalam bidang falsafat, melainkan
seni. Hingga kini, rakyat Sumatera tidak mewarisi falsafah Budha itu, bahkan
mayoritas warga beragama Islam. Pengaruhnya pun tidak terlalu mendalam kepada
masyarakat. Orientalis belandalah yang terlalu melebih-lebihkan dalam
menekankan sejarah Hindu-Budha.
Masih
banyak lagi dampak-dampak dari politik nativisasi Belanda yang bisa kita
rasakan sampai sekarang. Namun, jika benar bahwa Islam adalah agama pemecah
Nusantara, lalu kenapa sekarang muslim menjadi mayoritas? Bukan Hindu-Budha
yang pernah menguasai sebagian besar Nusantara.
Tuan Roja
COMMENTS