Sebelum Islam tiba, tasbih sudah digunakan oleh agama-agama lain Mungkin tasbih sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Alat yang ...
Sebelum Islam tiba, tasbih sudah digunakan oleh agama-agama lain |
Mungkin tasbih sudah tak asing lagi di telinga
masyarakat. Alat yang terdiri dari tali atau benang yang dikaitkan dengan
biji-bijian atau kayu ini berfungsi sebagai alat penghitung jumlah dzikir yang
diucapkan seseorang, baik dengan lidah maupun hati. Namun, banyak yang masih
belum tahu tentang sejarah di balik penggunaan tasbih. Hukum penggunaannya pun
masih banyak diperdebatkan kebolehannya. Lalu, bagaimana rinciannya?
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, tasbih
adalah untaian butir manik-manik yang dipakai untuk menghitung ucapan tahlil,
tasbih dan sebagainya. Dari segi bahasa, tasbih dalam bahasa Arab merupakan
bentuk masdar dari asal kata sabbaha yang berarti bertasbih atau
mengucap subhanallah. Namun, orang Arab menyebutnya subhah atau misbahah.
Berbeda dengan bahasa sansakerta kuno yang menyebut tasbih dengan jibmala
yang berarti hitungan dzikir.
Tasbih dalam Agama Lain
Sebelum Islam tiba, tasbih sudah digunakan oleh
agama-agama lain. Menurut penelusuran, Hindu bersekte Brahma adalah agama yang
pertama kali menggunakannya. Di antara mereka, tasbih dikenal dengan nama japa
mala. Japa adalah mengulang nama dewa atau mantra. Sementara mala
berarti karangan bunga, baik untuk dekorasi maupun untuk diletakkan di makam.
Berfungsi untuk mengulang bacaan mantra atau suatu latihan spiritual dan
meditasi. Berjumlah sekitar 108 biji, umumnya terbuat dari biji rudrakhsha
dan tanaman ruku-ruku batang.
Kemungkinan agama Budha juga meminjam konsep
dari agama Hindu. Mereka menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara
perbuatan dan ucapan ketika sedang melakukan persembahyangan. Budha Theravada
di Burma juga menggunakan tasbih yang mereka sebut dengan badi.
Biasanya terbuat dari kayu harum, dengan serangkaian tali berwarna cerah pada
ujungnya. Sementara dalam Katolik, biji tasbih disebut Rosario. Biji
tasbih mereka hanya terdiri dari 50 biji.
Tasbih dalam Islam
Tasbih dalam Islam tidak sama dengan yang
lainnya. Bukan bermaksud meniru agama lain, tasbih dalam agama Islam digunakan
untuk menghitung jumlah dzikir yang diucapkan secara dhahir maupun
batin. Umumnya berjumlah 99 biji. Adapula yang berjumlah 33 hingga 11 biji.
Angka-angka tersebut berhubungan dengan jumlah-jumlah dzikir yang dianjurkan
Nabi. Beberapa berpendapat bahwa angka 99 mewakili jumlah asmaul husna.
Awalnya, tasbih tidak pernah digunakan pada
zaman Nabi. Dahulu, Nabi hanya menggunakan ruas jari jemari untuk menghitung
setiap dzikir yang dilontarkan. Sebagaimana sabda beliau:
عن عبد الله بن عمرو بن العاصي رضي الله عنهما قال: "رأيت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يعقد التسبيح بيمينه) . رَواه أَبو دَاوُد(
“Saya melihat Rasulullah bertasbih (berdzikir) dengan (jari-jari)
tangan kanannya.” (HR. Abu Daud)
Seiring berjalannya waktu, para sahabat mulai
berinisiatif dalam menghitung tasbih. Beberapa di antara mereka menggunakan
biji kurma ataupun batu kerikil. Sebagaimana dalam hadits:
عن صفية – رضي الله عنها - قالت: "دخل عَليَّ رسول الله وبين يدي أربعة
آلاف نواة أُسَبِّح بهن, فقال: يا بنت حيي, ما هذا؟ قلت: أُسبح بهن. قال: قد
سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ على رأسك أكثر من هذا, قلت: علمني يا رسول الله, قال:
قُولي: سبحان الله عدد ما خلق الله من شيء." (رَواه الترمذي)
“Dari Shafiyyah, ia berkata; Pada suatu saat, Rasulullah datang ke
rumahku. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa kugunakan untuk
menghitung dzikir. Beliau bertanya, ‘Hai binti Huyay, apakah itu?‘ Aku
menjawab, ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir. ’ Beliau berkata
lagi, ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Aku
menyahut, ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku.’ Rasulullah kemudian berkata,
‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’.” (HR Tirmidzi)
Kini, penggunaan tasbih tidak harus berupa biji
kurma ataupun batu kerikil. Perkembangan zaman memberikan solusi yang lebih
mudah sehingga manusia dapat beribadah dengan lebih sempurna. Tasbih saat ini
terbuat dari biji-bijian atau kayu yang diikat pada seutas benang atau tali.
Sehingga memudahkan pemakainya dalam menghitung jumlah dzikir yang ia sebut.
Perselisihan
Pendapat
Terlepas dari itu, beberapa kalangan masih
mempermasalahkan hukum penggunaan tasbih zaman ini. Mereka berpendapat bahwa
hal itu termasuk bid’ah atau pekerjaan yang belum pernah dilakukan oleh
Nabi. Bahkan, ada yang menyematkan penggunaannya dengan tasbih yang digunakan
non-muslim.
Namun, mestinya kita telaah kembali sebab dan
manfaat penggunaan tasbih di zaman ini. Meski belum pernah digunakan Nabi,
penggunaan tasbih dapat memberi manfaat bagi seorang hamba dalam berdzikir.
Dengan hitungan yang memiliki keistimewaan tersendiri, tasbih saat ini menjadi bid’ah
hasanah atau sesuatu yang tidak dilakukan Nabi, tapi memberi kebaikan bagi
agama.
Di samping itu, penggunaan tasbih bisa dikiaskan
dengan biji kurma atau kerikil yang digunakan para sahabat di zaman Nabi. Saat
Nabi mengetahuinya, beliau tidak melarang atau mencacinya. Beliau malah memberi
amalan yang lebih baik. Hadits bahwa Nabi menggunakan jari juga tidak menafikan
hukum kebolehan untuk menggunakan selainnya.
Bagaimanapun, penggunaan tasbih sebenarnya tidak
memberi madharat atau kejelekan sama sekali bagi penggunanya. Maka tidak
perlu diperselisihkan lagi hukum kebolehannya bagi orang yang berdzikir. Yang
perlu dibenahi adalah orang yang mempermasalahkan hukumnya, sementara ia
sendiri tidak berdzikir.
(TQ)
Referensi:
1. Al Subhah Tarikhuha wa
Hukmuha, Bakar bin Abdullah Abu
Zaid
2. https://salafytobat.wordpress.com
4.
https://id.wikipedia.org
COMMENTS