Kehadiran sesuatu hal dalam diri kita kadang membawa sebuah kedekatan hati pada hal itu. Namun manusia banyak yang terjebak dengan apa y...
Kehadiran sesuatu
hal dalam diri kita kadang membawa sebuah kedekatan hati pada hal itu. Namun
manusia banyak yang terjebak dengan apa yang mengalir di depan matanya, di
hatinya, dan di otaknya. Padahal hati diciptakan sebagai tempat bermunajat
kepada Allah, bukan tempat persinggahan warna-warni dunia. Karena mencintai
sesuatu yang bukan tempatnya, bukanlah cinta yang diridhoi-Nya.
Rosulullah SAW bersabda : “ Cinta dunia adalah biang segala kesalahan”(HR :
Thabrani) Makna eksplisit dari redaksi hadist di atas menjelaskan bahwa
semua kesalahan anak manusia bermuara dari cinta yang bersemayam dalam hati.
Sebab, bila diteliti ternyata perasaan cinta itu adalah motivator utama bagi
seseorang untuk berbuat maksiat. Begitu pula sebaliknya, cinta kepada Allah
Ta’ala dan Rosulnya adalah bahan bakar untuk berbuat ketaatan, berangkat dari
klasifikasi iman menjadi dua : aqli (rasional) dan athifi (emosional). Hal ini diaktensi
(dibahas) oleh hadist lain yang artinya ”Cintamu terhadap sesuatu itu selalu
membutakan dan membuatmu tuli”. (HR. Abu Daud)
Maka satu-satunya kiat untuk menghindari kesalahan terhadap sesuatu adalah
benci terhadap dunia, seperti dijelaskan oleh hadist diatas melewati arti implisitnya.
Benci disini menghapus rasa ketergantungan akan dunia kiranya dapat terkelupas
dari batin seseorang bila ia selalu menyakinkan dirinya tentang umur dunia yang
temporal (sementara) ini dan mengingat realita kematian, serta senantiasa menganggap
dirinya berada dalam embara hidup yang tak ubahnya suatu perjalanan singkat
menuju akhirat. “Anggaplah dirimu di dunia seperti orang asing atau orang yang
meniti suatu jalan” begitu sabda
Rosulullah SAW . Agaknya tamsil (permisalan) orang asing (gharib) yang dibawa
oleh beliau sangatlah tepat untuk dijadikan bahan renungan, klop dengan kondisi
kita sekarang ini yang jauh dari kampung halaman. Maka marilah kita posisikan
negeri asing tempat kita berdomisili inisebagai dunia, dan kampung halaman yang
jauh dari mata adalah akhirat, lalu mulailah sejenak kita renungkan !. Mungkin
terbersit di hati sebagian bahwa konsep benci terhadap dunia di atas, tidak
logis sekaligus tidak manusiawi, dengan alasan bahwa eksistensi (keberadaan)
manusia itu sendiri di dunia ini adalah untuk berkarya, maka bagaimana bisa
sinkron (nyambung) dengan perasaan benci terhadap dunia yang nota bene adalah
lokasi atau lahan untuk berkarya.
Namun ilusi tersebut -bila kita mau bijaksana- muncul ke permukaan pikiran
sebab kesalahan interpretasi (cara memaknai) terhadapa makna benci itu sendiri.
Perlu dipahami, benci dunia bukan berarti melepaskan diri dari realita hidup di
dalamnya, tapi berarti mencerabut ketergantungan hati darinya. Demikian pula
dengan term (pengertian) Zuhud yang dikenalkan oleh Nabi SAW dalam salah satu sabdanya
kepada Ibnu Abbas RA -menurut cerita para ulama- bukan bermakna kosongnya
tangan dari dunia, namun maknanya adalah kosongnya hati darinya (khuluw
al-qolbi min ad-dunya la khuluw al-yadi).
Ada satu hikayat; Di sebuah desa ada seorang Kiai yang hidup sangat miskin,
sehingga disebutkan bahwa hartanya hanya setengah batok kelapa. Sarana
satu-satunya untuk makan, minum dan kebutuhan lainya. Alhasil, ia adalah profil
Kiai yang anti dunia. Suatu hari, muridnya sowan (baca : Jawa) kepadanya untuk
pergi ke suatu tempat. Si Kiai lalu berpesan kepadanya agar sesampainya ia di
tujuan agar menemui gurunya yang kebetulan ada disana, sekaligus meminta
nasehat dari mahaguru tadi spesial untuk si Kiai. Berbekal alamat dari Kiai,
sang murid kemudian sampai di kediaman mahaguru. Namun seribu tanda tanya
membuat hatinya begitu masygul ketika ia lihat ternyata kediaman mahaguru itu
ternyata adalah rumah megah. Lengkap dengan perabotan yang “wah”, ditambah
dengan beberapa pelayan dengan berbagai profesi. Pemandangan yang membingungkan
tidak membuat ia mundur untuk menyampaikan salam Kiai batok berikut permintaan
nasehat. Dengan penuh was-was ia utarakan maksud kedatanganya setelah sedikit
basa-basi tentunya. Mahaguru itupun berpesan kepada murid itu guna
menyampaikannya kepada Kiai batok agar menjauhi dunia. Sontak saja sang murid
seperti ditampar sandal, hatinya bergumam, bagaimana mahaguru itu menganjurkan
sang Kiai yang super sederhana untuk menjauhi dunia padahal ia sendiri
berlimpah harta. Saat ia kembali ke desanya, ia langsung menemu si Kiai dan
menyampaikan pesan dari mahaguru
untuknya, meski dengan perasaan tak karuan. Tapi setelah mendengar pesan itu si
Kiai menangis tersedu-sedu. Lalu ia memikir teka-teki yang berada di benak
muridnya, seraya berkata : “ Tahukah engkau tentang guruku yang telah kau
ketemui kemarin, walaupun ia berlimpahan dunia tapi hatinya sama sekali tidak
memikirkannya, lain halnya dengan diriku yang ternyata masih selalu memikirkan
batok kelapa ini”. Sebagian menyebutkan bahwa sang Mahaguru di atas adalah Imam
Abu al Hasan as-Syadili. Ada baiknya jika renungan singkat ini ditutup dengan
profil salah satu sahabat sekaligus Ahlu Bait Nabi yang bernama Ali bin Abi
Tholib karramahu Allahu Wajhah. Yang mana pada suatu hari sahabat Muawiyah bin
Abu Sufyan RA berkata kepada Dhiror bi Dhomroh : Ceritakan kepadaku karakter
Ali !” tegas Muawiyyah,”Mohon jangan kau memaksaku !” jawab Dhiror, “Ceritakan”
Tegas Muawiyyah lagi, “Mohon jangan kau memaksaku” jawabnya untuk kedua kali,
“Bagaimanapun kau harus ceritakan !”, Dhiror lalu berkata “Bila memang harus
aku ceritakan, maka -demi Allah- ia adalah pribadi yang bersahaja, sangat kuat,
berkata benar, dan berlaku adil. Ilmu pengetahuan mengalir deras darinya”.
Akhirnya, marilah kita memohon
kepada Pencipta dunia dan alam semesta, dengan doa yang seringkali tergulir
dari lisan orang-orang saleh : “Allahummaj’al ad-dunya fi aydina wala
taj’alha fi qulubina” yang artinya : ”Ya Allah jadikanlah dunia di tangan
kami tapi jangan kau menjadikanya dalam hati kami”.
Oleh al Ustadz Makky Lazuardi
COMMENTS