Sebagai Imam mazhab tersohor, Imam Syafi’i memiliki banyak murid yang yang cakap di setiap bidang ilmu pengetahun. Ternyata, ada salah ...
Sebagai
Imam mazhab tersohor, Imam Syafi’i memiliki banyak murid yang yang cakap di
setiap bidang ilmu pengetahun. Ternyata, ada salah seorang murid beliau memiliki
kecerdasan di bawah rata-rata yang sangat sulit menangkap pelajaran, namun keterbatasan
itu tidak mengurangi semangat murid ini dalam menggali ilmu kepada sang guru.
Bahkan pada akhirnya, ia menjadi ulama besar yang mampu menggantikan posisi Imam
Syafi’i. Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Qurasyiyyi Al-Buwaithi adalah nama beliau.
Serangga; Sumber Inspirasi
Keterpurukan terjadi ketika beliau belajar di depan
lentera. Subhanallah, kala itu beliau menyaksikan seekor serangga yang berusaha
merayap ke atas meja untuk meminum tumpahan minyak dari lentera tersebut. Pantang
menyerah, tujuhpuluh kali jatuh bangun bukanlah masalah, serangga terus mencoba
hingga akhirnya berhasil meminum tumpahan minyak lentera di atas meja.
Kejadian
itu membuat beliau merenung sejenak, bagaimana mungkin serangga kecil itu rela
jatuh berkali-kali hanya untuk mendapatkan “seteguk” minum, apalagi untuk
mendapatkan ilmu yang jauh lebih bernilai dari pada itu. Atas hidayah Allah, setelah
melihat perjuangan serangga itu tergugahlah hati Imam Al-Buwaithi terpacu untuk
terus menuntut ilmu dan agar tidak mudah putus asa atau tertekan meski harus
menghadapi berbagai rintangan.
Yusuf Al-Buwaithi memetik hasil jerih payahnya. Beliau
menjadi salah satu murid senior terdekat Imam Syafi’i, memiliki kesempurnaan
dalam ilmu hadits dan fiqih. Adz adzahabi memujinya sebagai pemimpin dalam
ilmu, panutan dalam amal, seorang yang zuhud, rajin bangun malam dan berpuasa,
senantiasa membasahi lisannya dengan dzikir dan akalnya giat bertafaqquh.
Khalifah tunggal
Imam Syafi’i
Jika
saat ini di Indonesia ada laskar pembasmi maksiat seperti FPI, ternyata di
Kairo dulunya ada lembaga penegak “Nahi Mungkar” yang dipimpin langsung
Imam Al-Buwaithi atas perintah gurunya, Imam Syafi’i. Bergotong-royong bersama
aparat setempat lembaga tersebut membasmi maksiat. Imam Al-Buwaithi juga memiliki
kebiasaan membangun fasilitas umum untuk masyarakat, dan tidak jarang beliau
mendapatkan kepercayaan dari Imam Syafi’i untuk berfatwa.
Suatu hari, datanglah seseorang kepada Imam Syafi’i untuk
meminta fatwa atas garis pembatas tanah namun Imam Syafi’i tidak menjawab tetapi
beliau membawa permasalahan tersebut kepada Imam Al-Buwaithi seraya berkata,“Orang
ini (Imam Al-Buwaithi) adalah lisanku ”.
Menjelang
detik-detik kepergian imam Syafi’i, Al-Humaidi sebagai murid yang dituakan
mendekat ke ranjang imam Syafi’i, dia memohon agar sang guru menunjuk pewaris
majlisnya sebab dia khawatir akan adanya perselisisihan kelak sepeninggalan
beliau. “Tidak ada yang lebih berhak atas majlisku selain Al-Buwaithi” ujar
Sang Guru. Beliau berwasiat pada para muridnya untuk terus berada di majlis
imam Al-Buwaithi. Oleh karena itulah Imam Al-Buwaithi selalu menggantikan
peranan Imam Syafi’i dalam segala hal setelah beliau wafat. Puncaknya, tidak
sedikit para murid Al-Buwaithi yang menjadi imam dan menyebar keseluruh penjuru
dunia.
Bersamaan
dengan derajat dan kemasyhuran Imam Al-Buwaithi yang terus naik daun, tidak
sedikit orang yang dengki dan ingin menjatuhkan beliau.
Ketakutan Mu’tazilah
Tatkala kota Baghdad jatuh dalam cengkraman Mu’tazilah,
mereka menyebarkan doktrin bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan menyiksa dengan
kejam bagi siapa saja yang berselih paham dengan mereka. Banyak ulama Baghdad
yang menyerah dan terpaksa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebab tak
kuasa menerima siksaan tersebut.
Abu Bakar Al-Asyam
sebagai hakim tinggi kaum Mu’tazilah menyurati hakim agung Ahmad bin Abi Daud untuk
menangkap Al-Buwaithi. Imam Al-Buwaithi menegaskan pada gubernur Mesir: ”Pengikutku
berjumlah ratusan ribu, sesatlah mereka jika aku berpura-pura hanya agar
selamat dari siksa”. Maka dibelenggulah Imam Al-Buwaithi dan digiring ke
Baghdad. Gubernur Mesir Al-Watsiq Billah yang sangat menghormati Al-Buwaithi
hanya dapat berpangku tangan melihat kembali kejadian yang pernah menimpa Imam
Ahmad bin Hambal hingga merenggut nyawanya atas Imam Al-Buwaithi.
Imam Robi’ bin Sulaiman (ini
siapa?) berkata: “Aku melihat Imam Al-Buwaithi
dinaikkan ke bighal, di lehernya terdapat belenggu seberat empatpuluh
pon. Tangan kakinya dililit dengan borgol, antara belenggu leher dan borgol
terdapat rantai besi terurai seberat empatpuluh pon, di saat itu Imam
Al-Buwaithi berkata: “Allah ciptakan makhluknya dengan berfirman ‘KUN’ maka
terjadilah, seandainya firman ‘KUN’ ini makhluk, berarti Kholiq menciptakan
makhluk yang akan menciptakan makhluk (lagi), andai aku bertemu Al-Watsiq, akan
aku sampaikan ini padanya”.
Sayangnya justru karena ucapan tersebut Imam Al-Buwaithi
dihalang-halangi agar tidak berjumpa Al Watsiq Billah. Salah seorang pengawal
Mu’tazilah mencatat ucapan dan hujjah beliau kemudian melaporkannya pada
Hakim Agung Ahmad bin Abi Daud, ia pun kaget mengetahui betapa cerdas Imam Al
Buwaithi hingga mampu merubah faham Mu’tazilah hanya dengan beberapa kalimat, maka Ahmad bin Abi Daud semakin menghalangi Imam
Al-Buwaithi untuk berjumpa Al-Watsiq Billah.
Mewarisi ketajaman logika Imam Syafi’i, kefasihan berbahasa
dan kesantunan akhlaknya menjadi sebab Al-Buwaithi diisolasi. Para pembesar Mu’tazilah
khawatir hal tersebut akan merenggut perhatian Khalifah yang selama ini mereka
nikmati. Sungguh berbahaya, Imam Al-Buwaithi dikurung dalam penjara bawah tanah
selama 4 tahun. Beliau paling tersiksa ketika tidak diperbolehkan beribadah dan
sulit menentukan waktu sholat, hingga beliau menjadikan waktu-waktu siksa
cambukan sebagai patokan waktu shalat karena sudah berbulan-bulan tidak pernah
melihat matahari.
Meski demikian, beliau masih melakukan kebiasaannya
seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir dan salat malam secara sembunyi-sembunyi,
tidak ada waktu kosong yang disia-siakannya.
Firasat Kepergiannya
Setelah
lama meringkup dalam gelapnya buih bawah, disiksa di penjara akibat tidak mau
merubah pendapatnya, Imam Al-Buwaithi masih sempat menuliskan surat bertintakan
darahnya di atas kain kumal yang beliau kirim pada seorang Imam, yang di
kemudian hari Imam tersebut membacakannya di depan majlis “Aku terhalang untuk
bersuci dan beribadah, berdoalah agar Allah memberi karunia jalan terbaik bagi
hamba lemah sepertiku.”
Tidak lama berselang,
Imam Al-Buwaithi dipanggil oleh Sang Khalik pada bulan Rojab tahun 231 H. Kepergian
pahlawan kebenaran itu membuat para tokoh agama dari penjuru dunia terlebih
ulama Mesir merasakan oase ilmu pengetahuan yang tak pernah kering ini hilang
tertimbun. Dan benarlah firasat Imam Syafi’i tentang murid-muridnya yang beliau
ungkapkan ketika masih hidup salah satunya Imam Al-Buwaithi, yang akan
menghembuskan nafas terakhir di dalam penjara menjadi kenyataan.
Perjalanan Imam Al-Buwaithi mulai dari nol hingga wafat dapat
menjadi suri tauladan bagi umat manusia bahwa mencapai kesuksesan itu memang
membutuhkan pengorbanan dan berton-ton cucuran keringat. Keberanian beliau untuk
menyatakan kebenaran sebagai sikap kepahlawanan juga merupakan hal yang sulit
ditiru oleh orang lain.
Referensi:
Tobaqoh Syafi’iyah, juz 2
http/www.google.com
COMMENTS