Oleh: Ahmad Kholili Hasib Tantangan pendidikan Islam saat ini menurut Prof. Sayyid M. Naquib al Attas adalah hilangnya adab ( loss of a...
Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Tantangan
pendidikan Islam saat ini menurut Prof. Sayyid M. Naquib al Attas adalah
hilangnya adab (loss of adab). Terjadinya loss of adab dalam
pendidikan karena dua hal; pertama gencarnya sekularisasi dalam
pendidikan Islam, kedua kebiasaan meninggalkan tradisi pendidikan para
ulama yang akibatnya menurunkan otoritas ulama Islam.
Sekitar awal
tahun 70-an terjadi gelombang besar-besaran pengiriman mahasiswa ke
negeri-negeri non-muslim (Barat) untuk mempelajari agama Islam (dirasah
Islamiyah). Cendekiawan muslim alumnus perguruan tinggi Barat kemudian
membawa metodologi studi agama yang baru. Dari sinilah sekularisasi pendidikan
Islam terjadi.
Para
mahasiswa ini belajar ilmu tafsir, ilmu fiqih, hadist, tasawwuf, kalam dan
lain-lain kepada ilmuan non-muslim (Yahudi, Nasrani dan Ateis).
Karena itu, pembelajaran ilmuan
non-muslim tentang studi Islam perlu dilihat, dikaji dan dibaca secara kritis. Ilmu
dalam pandangan Barat sekuler tidak dibangun di atas wahyu namun berdasarkan
spekulasi filosofis. Prinsip utama ilmu Barat tidak dikaitkan dengan agama.
Rasio menjadi sumber utama kebenaran, bukan wahyu. Relativisme dan skeptisisme
(keragu-raguan) diangkat menjadi metodologi ilmiah. Bahwa, untuk menguji suatu
objek ilmu misalnya harus menggunakan paradigma ‘keragu-raguan’ agar disebut
ilmiah, adil dan netral. Metodologi Barat yang seperti ini tidak akan bisa
diterapkan dalam studi Islam. Sebab, seorang muslim belajar Islam bertujuan
agar keimanannya kepada Allah Swt meningkat, dekat dengan-Nya, dan Dia ridha
kepadanya. Bukan sebaliknya menjadi ragu.
Jika paradigma
‘keragu-raguan’ diterapkan dalam studi syariah, mereka menjadi tidak yakin
terhadap prinsip-prinsip Islam. Bahkan konsep keimanan pun bisa diragukan.
Padahal, dalam konsep Islam antara syariah dan akidah saling terkait dan
merupakan satu jaringan konsep Islam. Ironisnya, pandangan sekuler ini dianut
sebagaian cendekiawan muslim dalam studi agama.
Pada dasarnya, poin mendasar
perbedaan metodologi Islam dan metodologi Barat sekuler adalah cara mendapatkan
kebenaran pengetahuan. Filsafat Barat sekuler menggunakan metode
rasionalis-empiris (mengandalkan akal dan fenomena belaka), menolak wahyu serta
menjadikan skeptisisme (keraguan) sebagai metode mendapatkan ilmu.
Dalam ajaran Islam, pencarian
ilmu dalam rangka untuk memenuhi keperluan spiritual dan meraih kebahagiaan (al
sa’adah) akhirat. Kebahagiaan yang hakiki adalah hakikat spiritual yang
kekal. Jika suatu ilmu justru menjauhkan dari jalan kebahagiaan akhirat, maka
ada kemungkinan, niatnya salah atau ilmunya yang keliru. Dua-duanya
mendatangkan kesesatan.
Imam al Ghazali dalam Bidayah
al Hidayah mengidentifikasi seorang pencari ilmu yang salah. Di antaranya
belajar semata-mata karena ingin mendapatkan popularitas dan memperbanyak
kepuasaan duniawi. Pelajar yang demikian menurut Imam al Ghazali berpotensi
kuat menjadi pemimpin yang tersesat.
Umar bin Khattab ra pernah
mengingatkan fenomena cendekiawan yang tidak beradab. Dikutip oleh imam al Ghazali
dalam Ihya’ Ulum al Din, beliau berkata: “Sesungguhnya yang paling
aku khawatirkan terhadap umat ini adalah orang pintar yang munafik.” Para
sahabat bertanya: “Bagaimana bisa seseorang itu menjadi munafik yang pintar?”
Umar menjawab: ”Yaitu orang yang pandai berbicara (bak seorang alim),
tapi hati dan perilakunya jahil.”
Orang yang disebut Umar ra
tersebut merupakan orang yang pandai, intelektualnya tinggi, akan tetapi
hatinya kotor. Niat berilmu bukan mencari kebahagiaan akhirat. Sehingga antara
ilmu dan amal tidak berkorelasi. Perawakannya berilmu akan tetapi perilakunya
tidak beradab. Fenomena seperti inilah yang oleh Umar ra. dikhawatirkan akan
merusak etika umat manusia. Seperti itulah gambarannya produk dari materialism
pendidikan yang asasnya adalah ideologi sekularisme. Inilah produk materialisme
pendidikan yang asasnya adalah ideologi sekularisme.
Sebetulnya, jika digali
secara serius, tradisi para ulama Islam kaya dengan metodologi canggih. Hanya
saja, dikarenakan hegemoni metode Barat sekuler yang mendominasi dunia
akademis, akhirnya metodologi para ulama Islam pelan-pelan tenggelam. Tidak
dikenal banyak oleh para akademisi.
Tugas calon ulama dan calon
intelektual adalah menggali kembali konsepsi-konsepsi Islam dalam tradisi ulama
dahulu. Kemudian disesuaikan dengan ‘nafas’ dan kebutuhan sekarang ini.
Tetapi, tidak semua dilarang
belajar Islam ke Barat. Banyak ilmuan muslim yang kebal terhadap ‘virus’
pemikiran non-Islami. Mereka misalnya, Muhammad Musthofa al A’zhami alumni Cambride
University, Sayyid M. Naquib al Attas alumni SOAS Londong dan lain-lain.
Harap dicatat, mereka yang tetap istiqamah meskipun bertahun-tahun studi Islam
di Barat. Karena tujuan mereka bukan ‘menelan’ mentah ilmu non-Islam, tetapi mengetahui
seluk-beluk orang non-muslim dalam belajar Islam, sehingga diketahui motif dan
tujuan sebenarnya.
Mereka tidak terpengaruh,
tetapi bahkan bersikap kritis terhadap studi Islam Barat karena tokoh-tokoh ini
memiliki bekal yang benar tentang ilmu Islam. Mereka juga tidak mengidap
penyakit ‘minder’, atau mudah terpukau. Bekal yang wajib dan paling dasar
adalah akidah kuat dan niat yang benar.
Tetapi jika hanya bekal
bahasa Arab “syukron”, “ahlan wa sahlan”, “kaifa haluk”
dan lain-lain sudah tentu tidak benar belajar Islam kepada non-muslim. Namun,
yang sering diketahui, belum tuntas ilmu akidah dengan bangganya belajar di
pusat-pusat studi Islam di negeri Barat. Ini ada dua kekeliruan. Pertama, niat
yang tidak betul. Untuk kebanggaan diri. Kedua, bekal ilmu akidah yang lemah.
Wal hasil,
bagi kita yang masih benar-benar awam,belajar sesuatu harus kepada orang yang
ahli dan kompeten. Belajar ilmu komputer tentu kepada ahli komputer, bukan ahli
teknik bangunan. Begitu pula belajar agama tepatnya kepada ulama yang diakui
keilmuannya. Kalau mau belajar, telitilah gurunya terlebih dahulu, agar nantinya
kita selamat.
COMMENTS