Kecanduan akses situs-situs porno secara kompulsif atau yang biasa disebut dengan cybersexual addiction, merupakan salah satu potret...
Kecanduan
akses situs-situs porno secara kompulsif atau yang biasa disebut dengan cybersexual
addiction, merupakan salah satu potret miring dari teknologi gadget dan smartphone
saat ini. Agak miris memang, ketika teknologi yang seharusnya bisa berdampak
positif untuk peningkatan sumber daya manusia, malah membawa efek boomerang
bagi para penggunanya. Sebut saja
kutipan pemberitaan yang dilansir oleh inet.detik.com (Selasa,13/01/2015) yang menyebutkan
bahwa sepanjang tahun 2014, Indonesia telah menorehkan prestasi runner-up
sebagai pengunjung situs porno terbanyak setelah Turki. Mengapa harus
Indonesia?
Inveksi
Intelektual?
Dari sebuah
kasus “Dampak Teknologi di Desa Kami”: Fenomena ‘Seks Atas’ diketahui bahwa pemicu kedua pelaku (siswa
tingkat X SMK dan siswi tingkat VIII SMP) melakukan hubungan ‘seks atas’ adalah
akses rutin ke situs porno melalui smartphone milik Dika (nama samaran) setiap
kali keduanya bertemu. (Kutipan dari kompasiana.com)
Contoh kasus di atas menjadi bukti bahwa dampak negatif teknologi tidak
hanya melucuti lapisan demi lapisan moral dan mentalitas remaja saat ini, bahkan
telah mengoyak masa depan anak bangsa.
Meskipun secara totalitas, tidak semua orang menggunakan gadget
atau smartphone untuk alasan tersebut. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa generasi muda
masa kini jauh lebih cepat berkembang dalam penggunaan teknologi dibanding
orang tua mereka, dan tidak ada jaminan bagi mereka untuk mampu survive
dengan iming-iming konten pornografi yang menjamuri dunia akses mereka.
Masalah Gadget dan Smartphone
Ada beragam faktor yang memicu masalah adiksi pornografi ini.
Beberapa di antaranya:
Gadget dan smartphone merupakan device dengan aksesbilitas tinggi.
Hal ini tak lepas dari daya dukung perangkat teknologi yang senantiasa
terbarukan. Namun sayang, hal ini tidak dibarengi dengan kontrol dan kecerdasan
daya olah secara positif. Akibatnya, gadget
dan smartphone dijadikan sebagai media akses bebas secara privasi aneka konten
porno dengan beragam kualitas secara cepat dan biaya murah, kapanpun dan
dimanapun mereka inginkan.
Kenyamanan dan fleksibelitas penggunaan merupakan pilihan dari gadget
yang tidak bisa ditolak. Keadaan ini agak berbeda ketika seseorang memilih jasa
warnet. Perlu berfikir dua kali untuk mengakses konten pornografi di tempat
tersebut, karena takut adanya teguran
dari server atau sanksi hukum UU No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Lemahnya monitoring dan kepedulian orang tua terhadap
virus pornografi dan pornoaksi. Dari data tahun 2010 saja, BPS telah mencatat
bahwa sebanyak 80 juta anak-anak terbiasa mengakses situs pornografi1.
Sedangkan persentase untuk kalangan SD sebanyak 27% anak mengakses situs
pornografi karena iseng, 10% karena
terbawa teman dan 4% beralasan karena takut dibilang kuper2. Bagaimana
dengan saat ini?
Bagi anak-anak, pornografi merupakan hal baru dan sangat menarik
perhatian. Semakin menarik kemasan konten pornografi yang disajikan, semakin banyak
daftar kunjungan ke situs penyedia konten tersebut. Nah, alasan inilah yang seharusnya
menjadi PR bagi orang tua, untuk lebih peduli dan lebih mengontrol perkembangan
anak-anak mereka.
Lemahnya kontrol sosial akibat kentalnya budaya permisif
dan memudarnya budaya malu di masyarakat. Terkadang, seseorang enggan atau acuh
tak acuh ketika ada orang lain di sampingnya sedang mengakses pornografi di
tempat umum dengan gadget dan smartphone, terkendala masalah privasi atau banyaknya
orang yang melakukan hal serupa atau alasan lainnya. Sedangkan pengakses
tersebut hanya diam menikmati tanpa ada rasa malu atau tabu.
Banyaknya persepsi miring terhadap kebutuhaan situs
pornografi juga ikut menjadi pemicu cybersexual addiction. Sebagian besar
orang berasumsi bahwa situs porno merupakan salah satu solusi dari permasalahan
hubungan seksual yang mereka alami. Namun, tetap saja asumsi seperti ini tidak
bisa dibenarkan.
Leiblum dalam Jurnal of Sex Education and Therapy
berjudul “Sex and The Net: Clinical Implications”[3]
membedakan tiga karakter klinis para pengakses situs porno sebagai berikut:
Pertama adalah
looner. Para pemilik karakter ini menganggap bahwa situs porno adalah
alat yang mampu untuk mengakomodasi hal-hal yang tidak menyenangkan dalam
hidup. Kedua adalah partner. Mereka beranggapan bahwa situs porno
merupakan bagian dari pasangan hidup. Ketika mereka mendapat masalah, mereka
akan mencari solusi melalui situs porno. Ketiga adalah paraphilics.
Mereka mengalami ketergantungan pada situs porno dan untuk memberi stimulasi
dan kepuasan seksual.
Kepentingan
sistem politik dan kapitalis. Realitanya, perusahaan besar punya andil besar
dalam peningkatan trafik akses situs porno. Sehingga tak mengherankan jika pada
tahun 2010 saja, belanja akses situs porno membludak sampai $3.673 per detik
atau senilai dengan Rp. 33 juta lebih per detik[4].
Ketagihan Akut
dan Dampaknya
Layaknya
adiksi pada umumnya, adiksi pornografi dan pornoaksi akan berdampak luas, mulai
dari karakter individu sampai kepada hubungan sosial dengan masyarakat.
Kemungkinan
dampak secara perorangan dari kasus ini adalah kerusakan otak. Menurut ahli
bedah saraf, L Donal Hilton JR MD dari San Antonio bahwa semua kecanduan
(adiktif) berpengaruh pada kerusakan otak. Bahkan, dampak adiktif dari
pornografi memiliki tingkat kerusakan tertinggi dan lebih sulit untuk diatasi
dari pada kecanduan narkoba. Kecanduan ini mengakibatkan penyusutan otak dan
akan berakibat pada penurunan intelegensia seseorang.[5]
Bagaimana hal
itu bisa terjadi?
Secara bertahap, adiksi pornografi akan merusak 4 hormon
dalam tubuh kita. Yang pertama adalah dopamine. Pada dasarnya, ketika
hormon ini bekerja akan menimbulkan rasa senang dan puas. Namun, hormon ini
akan terus meningkat level demi level secara bertahap dan memaksa untuk terus
mendapatkan objek-objek tertentu dengan varian yang berbeda.
Sama halnya dengan masalah adiksi lainnya, adiksi pornografi
diawali dengan gambar porno secara tidak sengaja, kemudian timbul rasa
penasaran untuk membuka kembali gambar tersebut dan melihatnya lebih seksama
sampai pada pencarian video porno dari tingkat terendah hingga tingkat ekstrem.
Akibatnya, meski disadari bahwa perbuatan itu salah. Namun, si pecandu tidak
akan sanggup melawan dorongan dari dalam tubuhnya.
Yang kedua adalah neuropiniphrin (norepinefrin). Hormon
ini bekerja pada memori untuk selalu mencari-cari keterkaitan antara apa yang
sedang pecandu alami dengan objek ketergantungan ‘objek yang dicandu’. Sebagai
gambaran kecil, semua hal yang dilihat pecandu pornografi akan selalu nampak sebagai
inspirasi-inspirasi seksual yang kotor, meski pada dasarnya hanya melihat
wanita dengan busana sopan dan tertutup.
Yang ketiga adalah serotonin.
Layaknya para pecandu rokok. Mereka akan merasa ada yang kurang, bahkan gelisa
ketika tidak merokok. Begitu pula para pecandu pornografi, mereka akan terus
mencari dan mendapatkan konten pornografi sampai mereka menemukan kesenangan
dan kepuasan.
Yang keempat adalah oksitosin. Hormon ini
diproduksi ketika para pecandu mengkonsumsi konten pornografi sehingga ia akan
merasa ada ikatan antara dirinya dan pornografi. Inilah yang membuat para
pecandu tersebut merasa rindu ketika lama tidak mengakses konten pornografi.
Untuk dampak secara
sosial, masalah adiksi ini akan berimbas kepada peningkatan angka kejahatan dan
penyimpangan seksual seperti virtual rape. pedofilia, dan sodomi; pepping,
bestially , sadomasokisme & masokisme dll.
Sampai kapan anak negeri ini hidup dalam adiksi pornografi?
Yang jelas, jawaban
dari pertanyaan tersebut berawal dari sikap arif dan daya olah teknologi secara positif serta kepedulian untuk hidup lebih
sehat tanpa pornografi. Dan yang terpenting dari semua itu adalah peningkatan
kualitas iman sebagai filter dari beragam gempuran konten pornografi saat ini. (HQ)
Sumber:
Diah Viska Rahmawati, Noor Rochman Hadjam, Tina Afiatin. 2002.
“Hubungan Antara Kecenderungan Perilaku
Mengakses Situs Porno Dan Religiusitas Pada Remaja”. Jurnal Psikologi.(Yogyakarta:Universitas Gadjah
Mada).
Kompasiana.com
Siabangpedia.bliogspot.com dan berbagai sumber terkait.
COMMENTS