Budaya merupakan kekuatan besar bagi suatu kelompok atau bangsa, sangat berpengaruh bagi kemajuan atau kemunduran negri ters...
Indonesia
sendiri kaya akan budaya, jumlah kebudayaan yang baik dan bagus tidak
terhitung, namun begitu pula budaya yang kurang baik. Belakangan ini banyak
yang merasakan pergeseran budaya di Indonesia. Untuk mengetahui lebih lengkap
proses pergeseran budaya pada masyarakat saat ini, mari kita simak pemaparan
Bapak Sipin Putra, Dosen Antropologi Universitas Brawijaya.
·
Sebenarnya bagaimana
proses terjadinya pergeseran budaya di Indonesia?
Para
antropolog dari berbagai aliran banyak yang mengatakan bahwasanya pergesaran
budaya yang dialami bangsa Indonesia terjadi karena ‘dampak globalisasi’. kalau
kita berbicara tentang globalisasi pasti tidak terlepas dari kata modernisasi.
Memang pada awalnya kejadian ini berangkat dari modernisasi yang mulai
menggeser budaya masyarakat yang tinggal di suatu tempat dan di dalam komunitas
tertentu.
Kita
hidup sebagai seorang manusia, khususnya sorang muslim, punya aturan, pegangan
dan hukum. Maka dari itu, di butuhkan filter yang kuat untuk menyaring
terjadinya modernisasi ini. Mana yang sesuai dengan budaya kita, kita adopsi
dan jika tidak sesuai ya kita tinggalkan. Karena kita hidup sebagai makhluk hablum
minannas yaitu makhluk yang bersosialisasi antara satu dengan lainnya.
Adaptasi ini terbagi menjadi tiga macam:
Yang
pertama, terjadinya Akulturasi, atau proses
percampuran antar kebudayaan. Contoh kecilnya, tatkala kita mondok di Bangil
misalnya, di sana banyak orang Madura. Dalam jangka waktu tiga tahun, tanpa
disangka kita bisa berbahasa Madura. Alasannya karena kita seringkali berkumpul
bersama mereka dan itu terjadi tanpa menghilangkan bahasa ibu kita. Jadi
dirumuskan dengan Akulturasi A+B = AB bukan A+B = A, atau A+B = B saja.
Artinya A dan B keduanya masih nampak. Ketika kita pulang ke Gresik, Akulturasi
ini akan membuat kita sedikit berbeda. ”kok kita jadi kemadura-maduraan.” Siapa
yang merasakan itu? Tak lain adalah lingkungan di sekitar kita.
Yang
kedua, yaitu terjadinya Asimilasi, yaitu proses perpaduan
antara budaya satu dengan yang lainnya hingga menjadi sama atau hampir sama.
Biasanya terjadi karena faktor pernikahan. Kita merasa bingung ketika kita ke Madura
dan mendapati seorang yang keturunan Madura tapi badannya tinggi, wajahnya
putih dan matanya sipit. Tidak seperti ciri-ciri kebanyakan orang Madura lainya
yang identik dengan kulit hitam dan kecil. Dirumuskan dengan asimilasi
A+B = C dan bisa juga menjadi A+B = D.
Yang
ketiga, yaitu menyangkut plularisme. Plularisme ini adalah
proses perubahan yang membuat kita tidak bisa mencirikan seseorang dengan
ciri-ciri yang sudah ia punya. Kita akan merasa kaget, misalnya ketika kita
shalat jum’at di sebuah masjid, ternyata di sebelah kita ada seorang Cina yang
sedang shalat juga. Berarti dia muslim, kita bertanya kepada diri kita sendiri?
Selama ini orang Cina identik dengan nonmuslim, tiba-tiba ada seorang cina yang
muslim. Misal lainnya, ketika kita menemui seorang Cina yang berprofesi sebagai
pelukis. Pada awalnya kita tidak menyangka kalau ada orang Cina yang menjadi seorang
pelukis. Karena pada umumnya, orang Cina bekerja sebagai pedagang yang diam di dalam
tokonya. Jadi budaya dalam suatu suku atau dalam suatu etnis sudah tidak dapat
di pertanggung jawabkan lagi. Inilah yang disebut dengan proses akulturasi,
asimilasi dan plularisme yang diakibatkan pernikahan dan
pendidikan yang dipicu faktor migrasi. Karena sudah menyerap adaptasi kebudayaan-kebudayaan
baru selama menjadi imigran tersebut, terjadilah proses akulturasi, asimilasi
dan plularisme. Sehingga seorang yang pulang dari migrasi dia akan berubah dari
potret budayahnya. Nah, ini adalah bentuk modernisasi dalam sorotan kacamata
positif. Karena akan meningkatkan kualitas hidup kita.
Selama
menjadi seorang yang bersosialisasi, kita butuh terhadap kualitas hidup.
Semakin kita modern semakin banyak manfaat-manfat dan pengalaman yang akan kita
dapatkan. Secara otomatis masyarakat akan memposisikan kita di atas mereka. Jadi,
kesempatan kita bekerja dan mengembangkan diri akan lebih terbuka luas.
Dibandingkan dengan teman kita yang se-daerah tapi dia tidak migran atau dia
tidak menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti kita. Sehingga
mereka tetap menekuni pekerjaan sebagai pedagang, petani, petamb
ak dan pekerjaan-pekerjaan lokal
lainnya. Berbeda dengan kita yang sudah mempunyai pengalaman luas karena
wawasan yang kita peroleh dari imigran tadi.
Sekarang kita
bahas sisi negatif dari globalisasi dan modernisasi. Kalau sisi negatifnya itu
sangat berlapis, karena akan ada pertumpahan dan perang dalam hati
masing-masing orang. Karena kita dilahirkan sudah mempunyai aturan main.
Sebagai mahkluk antropos (manusia) ketika kita dilahirkan oleh ibu kita
dalam keadaan diam dan tanpa adanya tangisan, pasti kita akan dicubit oleh ibu
kita, kalau belum nangis juga akan dicelupkan ke air dingin hingga menangis
kemudian digendong. Itu merupakan simbol kalau kita hidup banyak yang mengatur.
Tidak bisa kita hidup bebas dengan tanpa aturan, karena kebebasan kita terbatas
oleh aturan orang lain.
Sisi
negatifnya, kalian akan berperang dengan diri pribadi kalian sendiri.
Kebudayaan itu dihasilkan dari cipta, rasa, dan karsa. Diciptakan, dirasakan,
dan dipikirkan dalam benak kita. Banyak TKW yang bekerja diluar negeri. Seperti
mereka yang pergi ke Hongkong. Berangkat dari rumah berkerudung, di sana bekerja
sebagai pembantu rumah tangga. Setiap hari libur minggu mereka berkumpul untuk bertemu
dengan sesama orang Indonesia di taman Victoria Park, karena di situ banyak
terjadi modernisasi dan mereka merasa jauh dari kota asal. Akhirya, mereka
terbawa arus dengan membuka jilbab, mulai memakai pakaian seksi, rambutnya diwarnai,
merokok dan lain sebagainya. Sebenarnya jiwa dan hati kecilnya sedang
berperang. Inilah yang disebut dengan proses CultureShock yaitu
kegagapan budaya yang akan dialami seseorang setelah menempuh jangka waktu
setahun-duatahun di dalam menjalani proses perubahan.
Sisi
negatif lainnya ketika orang-orang kita yang jadi TKW tadi merasa kalau dirinya
sudah menjadi bagian dari sana (budaya Hongkong). Ketika pulang ke Indonesia
dan bersosialisasi dengan warga di kampungnya, dengan santai dan tanpa ada rasa
malu mereka memakai pakaian seksi, rambutnya diwarnai dan bergaya hidup seperti
orang-orang Hongkong. Mereka ingin menunjukkan kalau mereka itu adalah bagian
dari sana. Tapi, ada sebagian dari mereka yang malu-malu, jadi mereka tetap
memakai kerudung. Ada juga yang karena terbiasa merokok dan sudah mengakar
dalam kehidupannya, dia tetap merokok, tapi dia melakukannya sembunyi-sembunyi.
Mereka sudah lupa kalau dulunya mereka adalah orang yang taat beragama, orang
yang tertutup dan tidak banyak tingkah.
Adakah
solusi yang bisa anda tawarkan untuk membendung dampak negatif globalisai dan
modernisasi yang terus menggerus budaya asli bangsa kita?
Oke,
mengenai kebudayaan asli dan keadaan kita sekarang. Tidak bisa menutup telinga
atau menutup mata, “no say anti globalisasi!” itu hanya gosip dan omong kosong.
Tidak ada yang mengatakan saya anti globalisasi, saya anti modernisasi.
Bagaimana
cara agar tetap melestarikan budaya-budaya itu? Sebenarnya, permasalahan ini
sangat kompleks. Ciri khas kebudayaan asli ditransfer dari generasi ke generasi
melalui tutur, lisan dan perbuatan. Ada yang lewat tulisan tapi sangat jarang
sekali. Sama seperti pelajaran yang ada di pondok. Seperti yang disampaikan Nabi
ﷺ
kepada para sahabatnya, semakin lama semakin berkurang generasinya dan
berbeda-beda. Sehingga harus ada penafsiran dari setiap generasi, seperti Bukhari
dan Muslim.
Ketika
generasi bapak saya melihat wayang kulit, mereka akan faham maknanya. Tapi
kalau generasi saya sekarang, pasti akan mengerutkan dahi dan akan kebingungan.
Jangankan faham dengan artinya, untuk mengenal nama-namanya saja tidak tahu.
Saya tidak tahu siapa yang menjadi Bima? dan siapa yang jadi Arjuna? Yang saya
tahu hanya Semar saja, karena bentukya gendut dan cebol. Mengapa saya tidak
sefaham dengan bapak dalam mengenal wayang-wayag tersebut? karena bapak saya
mentransfer hal itu kepada saya sedikit-sedikit. Sama dengan orang tua kita,
mereka mentransfer budaya yang mereka miliki kepada kita tidak seutuhnya
seperti kakek kita dulu mentransfer kepada ayah kita.
Dengan
adanya modernisasi, manusia sudah bisa memproduksi pulpen yang bisa membaca dan mengaji, dengan harga satu jutaan
masyarakat sudah dapat memilikinya. Atau tidak usah repot-repot mengajikan anak
ke rumah seorang ustad, tinggal memanggil ustad prifat saja sudah cukup. Jiwa
orang dulu sama jiwa orang sekarang sudah berbeda, jadi pemaknaannya juga
berbeda. Sekarang saja terasa seperti itu, bayangkan bagaimana keadaan itu jika
lima atau sepuluh tahun mendatang.
Bagaimana
mempertahankan kebudayaan daerah?
Dengan
mengaktifkan kebudayaan yang mulai jarang dipakai pada momen-momen tertentu seperti:
hari raya agama, berbagai event kebersamaan, ulang tahun desa dan pada
momen-momen lainya. Coba diaktifkan lagi isu-isu tadisional ini. Sehingga2
minimal orang akan me-rewaind, oh iya itu kanapa setahun sekali. Ini
saya kasih contoh ya, pati lele, balap karung dan lain-lain. Tiba- tiba hari
gini balap karung gndeng itu orang. Zaman saya masih kecil dulu, saya main
layang-layang kalau sore sama sapi ngerumput.kalau anak sekarang mana mau.
Mending maen hp aja, bbman aja atau naik motor kemana gitu. Mana mungkin mereka
nggelas benang sampai tangannya berdarah, mereka nggak punya pengalaman kayak
gitu.saya dulu rebutan layangan sampai ndresak ke sawah, sampai dimarahin .
padahal layangan itu tidak ada harganya. Itulah yang namanya keudayaan.
Tapi sekarang faktanya diaktivkan
moninsidentalsetahun sekali. Wyang kulit yang nonton sedikit sekali, yang
nonton paling orang-orang tua, sindenya sudah sangat jarang, dalangnya sudah
sangat jarang sekali.pemusiknya juga sangat jarang. Mereka sudah banyak yan g
meniggal. Terus sing nerusin siapa? Sedikit sekali yang belajar itu. Akhirnya
dimodifikasi, ada musik gamelan elektronik lewat laptop seorti yang ditemukan
mahasiswa semarang . kalau dulu masih pakai alat tradisional yang dipukul itu
dan hasilnya berbeda.
Bagaimana jika kita bingkai
dalam kurikulum untuk pendidikan?
Dalam
hal ini di indonesia kurikulum ini bisa dimasukkan di kurikulum lokal. itu
sekarang digerakkan lagi dan saya sangat mendukung, biar kalian mengerti, asal
kalian dari daerah sendiri. Jangan sampai orangg jawa tidak tau jawa. Tapi saya
akui budaya itu ibarat pisau. Dulu saya tau honocoroko, tapi setelah sepuluh
tahun ini saya jadi bingung mana yang HO mana yang NO mana yang CO, karena
jarang membukanya lagi. Seperti pisau setelah lama tidak dipakai akan berkarat.
Sama kayak kalian,budaya daerah
karya orang-orang dulu yang bagus kalau tidak di aktifkan harus rela tergerus
dengan yang baru. Seperti ketika memakai sarung ,lama-kelamaan sarung menjadi
ribet dan muncul sarung yang bermodel celana. Karena itu ana yang namanya in
ovasi . kenapa inovasi? Karena kalian makhluk berfikir menciptakan kebudayaan
sendiri.
Dulu
sebulum ada magic com, saya saya sampai kelaparan nunggu ibu yang masak masih
pakai cara trdisional harus melalui dua tahapan agar nasi bisa masak dengan
sempurna.kalau sekarng tinggal colokkan udah tinggal nunggu masaknya. Itulah
hasil berpfikir masusia dan hasil budaya manusia. Saya asli orang jawa yang
mulai kecil sampai SMA tinggal di jombang,saya kuliah di jakarta di UI. Di
jakarta sangat sibuk. Saya berbaur dengan banyak orang, dari batak , sunda,
sumatera dan lain-lain, akhirnya saya berubah, kok ilang jawanya, kok wis gak
lemah lembut,kok pola pikirnya berbeda. Secara pribadi saya tumuh bukan orang
jawa lagi dalam poin-poin tertentu. Tpi fisik tidak bisa dirubah, gen itukan
turunan, tujuh turunan baru bisa hilang. Walaupun kita operasi plastik.
Misalnya kita punya istri orang cina dia ber mata sipit dan minta utuk
dibelokin dengan operasi plastik, walaupuun punya anak tetap sipit.
Tapi
klau perilaku bisa berubah, yaitu seperti TKW yang mantan pekerja dari
hongkong, memakai pakaian seksi, gaya bicaranya di bhs igrisin, yang dari
malaysia di melayuin dan itu dia tidak sasdar.yang merasa orang lain lawan
bicaranya. Ini orang kok blagu banget sih, sombong banget sih. Bunkan sombong
karena kebiasaanseperti itu. Kebudayaan asli ini sekarang itu lagi Blursaya
bilang gitu karena sudah borderles socity, socity kan masyarakat. Kenpa
saya bilang borderles sehingga sehingga budaya asli itu sudah di
pertanyakan. Sekarang kita anak banyuwangi, kita anak gresik, kita anak bangil
dan semuanya mondok di bangil, ini seperti sudah tidak ada jarak antara kita dengan
orangtua kita yang ada di rumah. Karena sudah ada telpon, ada 3G-an tidak ada
jarak antara bangil dan banyuwangi.
Dulu
masih ada zamannya wesel dan telegram itu kabar duka baru tau dua hari
kemudian. Jenazah udah dikubur kita baru pulang. Sekarang udah ada sms, ketika
gunug kelud meletus saya lagi di Thailand,yang hawatir bukan hanya yang ada di
Kediri aja, saya yang juga di Thailand juga khawatir, saya khawatir orang tua
saya yang di jombang gimana? Yang khawatir bukan hanya di Indonesia aja tapi yang
di New york juga merasakan kekhawatiran. Yang komen di facebook aja banyak dari
mana-mana. Itu yang disebut Borles Societing timeingnya jam 22:53 hampir
jam 11 kemarin. Setelah satu menit kemudian Detik.com sudah meng update brita
tersebut sehingga saya langsung tahu kabar tersebut, 30 detik kemudian saya
langsung telpon orang tua. Hampir timing sama place itu tidak ada
batas-batasnya.
Yang
asli yang mana? Batik katanya punya orang jawa, tapi di Thailand dan di Malaysia
juga banya orang memakai batik, dan disana mereka juga bikin batik. Mereka
bilang ”saya lo tidak niru,ini motif asli sini. Terus mana yang asli? Kasus
lagi reok ponorogo di Malaysia. Kata orang Indonesia, Malaysia meniru dan mengakui
kebudayaan reok milik Indonesia. Tapi mereka bilang kalo reok adalah budaya
mereka yang sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun mengakar di sini. Terus orang
mempertanyakan “yang asli yang mana?”.
Apa
akar masalahnya? Tiga genersai sebulumnya ada orang ponorogo berdagang atau
dikirim belanda kesana. Yang namanya kebudayaan itu udah tertanam dalam benak
kita dan itu masih aktif walaupun saya di Thailand atau di australi. Begitu
pula orang ponorogo yang udah imigrasi ke Malaysia mereka kangen dengan budaya
daerah mereka , saya kangen ngereok, yowes saya nggawe reok nang kene. Sebagian
warga disitu akhirnya bermain reok disana, nikah sama orang Malaysia, karena
mereka kangen dengan bahasa jawa akhirnya mereka nurunkan baha jawa ke
anak-anak mereka, sehingga terbentuklah keluarga yang kental akan budaya jawa
dan mereka membuat pertunjukan disana dan muncullah isu bahwa reok itu bersal
dari Malaysia dan milik Malaysia. Sebetulnya mereka orang jawa tapikan mereka
jadi warga Negara Malaysia. Itu tiga generasi di atas kita.
COMMENTS